Oleh Wina Armada Sukardi*
SELAMA ini hamba hampir tidak pernah melihat dirinya ketika salat subuh di masjid. Rasa-rasanya dia bukanlah jemaah salat subuh, setidaknya di masjid dekat rumah hamba. Makanya hamba tak dapat mengenalinya.
Namun, alhamdullilah, belakangan ini, hamba malah selalu melihat dirinya rajin ikut salat subuh di masjid. Kalau hamba melihat ke arahnya, terkadang dia tersenyum ke hamba. Mau tak mau hampa pun balik tersenyum kepadanya.
Tak hanya itu, beberapa hari kemudian dia malah sudah salat dekat hamba. Tentu, jika ada orang yang menjadi ”anggota baru” jemaah salat subuh di masjid, hamba ikut senang, karena berarti tambah lagi manusia pencinta Allah, pencita salat subuh di masjid.
Setelah sekitar dua minggu terus menerus salat subuh di masjid, sewaktu bubar salat subuh, dan sudah di depan pekarangan masjid mengambil mengambil sandal, seorang tetangga memperkenal dirinya kepada hamba. Kami pun saling bersalaman. Kami ngobrol-ngobrol sejenak sebelum pulang ke rumah.
Tahulah hamba dia tinggal masih satu RW dengan hamba. Dia pensiunan PNS dan kini memiliki beberapa rumah kontrakan.
Mungkin inilah salah satu gunanya salat subuh di masjid: memperoleh teman baru. Apalagi lebih kesini, dia juga beberapa kali jika salat subuh di masjid, sudah duduk bersebelahan dengan hamba.
Beberapa hari setelah orang yang memperkenalkannha kepada hamba, seusai salat subuh seperti pertemuan pertama sebelumnya, menjelaskan, jemaah baru salat subuh berjamaah di masjid ini berminat membeli salah satu tanah milik hamba.
Memang kebetulan manakala anak gadis hamba masih SMA, dia termasuk “Abas” alias “Anak Basket.“ Untuk latihannya kebetulan saat itu ada sebuah rumah tetangga yang letaknya sangat dekat dengan rumah hamba, mau dijual, dan pas hamba pun sedang diberikan rejeki oleh Allah.
Singkat cerita, lantaran antara pemiliknya dengan hamba sudah saling mengenal, perundingan berjalan lancar. Sebagai sesama tetangga, waktu itu hamba memberikan harga yang memadai buat dirinya. Dalam artian, harganya sedikit di atas rata-rata nilai pasar. Memberikan rezeki ke tetangga merupakan hal yang membahagiakan hamba.
Setelah rumah itu hamba beli, bangunannya lantas hamba hancurkan. Lantainya hamba perkuat dan pleaster dengan semen. Di ujung kiri kanan, hamba pasang ring basket. Jadi sebuah lapangan basket. Disitulah anak gadis hamba sering berlatih basket.
Begitulah mungkin cinta seorang ayah kepada anak gadisnya. Sepanjang mampu, dan memberikan kegiatan yang positif, apapun yang diperlukan sang anak gadis, sejauh mungkin bakal dipenuhi ayahnya.
Hal yang sama terjadi pada diri hamba. Lantaran sewaktu SMA anak gadis hamba hobi main basket, sebagai Ayah yang kebetulan saat itu diberikan kemampuan, hamba pun menyediakan lapangan basket buat anak gadisnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, anak gadis hamba lulus SMA dan kuliah di fakultas hukum. Dia mulai tak aktif lagi di dunia basket dan tak lagi memakai lapangan basket yang dibuat khusus ayahnya buat dia. Jadi lahan tersebut menjadi kurang bermanfaat.
Makanya kalau memang ada orang yang berminat membelinya lahan itu, hamba dapat “memikirkannya“ untuk melepaskannya (baca: menjualnya).
Beberapa tetangga hamba mengetahui hal ini. Disinilah kelebihan tetangga lingkungan hamba yang banyak berasal dari etnis Betawi. Urusan ketersediaan jual beli tanah mereka amat piawai. Kalau kita mau membeli tanah, di daerah manapun, pasti mereka bakal memperoleh informasi dan datanya. Begitu pula jika kita ingin menjual tanah, mereka pasti mampu mencarikan pembelinya.
Kenapa begitu? Jika transaksi jual belinya berhasil, tentu mereka sebagai mediator memperoleh hasil juga. Umumnya 2,5% dari nilai transaksi.
Demikian pula dengan lahan lapangan basket milik hamba. Dengan cepat mereka sudah memperoleh informasi dari hamba dan, entah dengan cara bagaimana, mereka selalu saja dapat mencari pembelinya. Termasuk jemaah salat subuh berjemaah di masjid yang baru ini.
Sebagai sesama jemaah salat subuh di masjid, hamba berpikir, kami harus saling melengkapi. Saling menolong. Maka perundingan tak berlangsung lama.
Hamba memberikan kepadanga harga yang relatif murah. Maklumlah sesama jemaah salat subuh di masjid yang sama, hamba tidak terlalu melulu berhitung untung rugi lagi. Membantu memberikan kebahagian kepada sesama jemaah salat subuh di masjid, merupakan sesuatu yang membahagia hamba. Apalagi tetangga satu RW.
Di notaris semua kelengkapan dan keabsahan tanah diperiksa. Tak ada masalah sama sekali. Semuanya sah. Semuanya lengkap. Oleh sebab itu transaksi berjalan mulus. Tanah pun berpindah tangan.
Adapun yang terutama hamba sesungguhnya ingin kisahkan, bukan soal transaksi jual beli llahan lapangan basket milik hamba. Namun soal ini:
Beberapa hari sesudah transaksi rampung, hamba masih melihat pembeli tanah hamba itu salat subuh di masjid, tapi duduknya sudah agak jauh dari hamba. Sesudah sekitar seminggu, hamba tidak pernah lagi melihatnya salat subuh di masjid.
Hamba tanya kepada para tetangga, apakah mungkin dia sakit atau bagaimana? Ternyata dia sehat-sehat saja. Cuma sudah tidak salat subuh berjemaah di masjid lagi. Begitu pula, setelah pembeli tanah dari hamba, dia sudah tidak pernah berkomunikasi dengan hamba.
Disinilah pepatah lama masih berlaku: dalamnya laut dapat diukur, hati manusia siapa yang tahu?
Tak ada satu pun yang saling mengetahui apa niat jemaah yang salat subuh di masjid. Hamba yakin sebagian besar jemah salat subuh di masjid dekat rumah hamba, memang ingin mengabdi dan mewujudkan rasa tunduk dan patuh kepada Allah. Kendati begitu, barangkali selalu ada satu dua orang yang salat subuh di masjid hanya dengan niat ingin menerapkan strategi bisnis, atau pendekatan terhadap sesama jemaah saja. Setelah hal itu tercapai, mereka pun kembali meninggalkan salat subuh berjemaah di masjid.
Kata orang, niat ingsun, atau niat orang, memang siapa yang faham? Termasuk niat masing-masing salat subuh di masjid? Kalaulah niatnya bukan semata-mata menyerahkan diri kepada Allah, tentu meninggalkan salat subuh di masjid bukanlah perkara yang luar biasa bagi mereka. Jika tujuan sudah tercapai, boleh jadi mereka tak peduli lagi dengan salat subuh di masjid.
Astagfirullah.
Tabik!***
(Bersambung)
*Penulis, wartawan dan advokat senior serta Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan reportase/opini pribadi yang tidak mewakili organisasi.