Oleh Wina Armada Sukardi*
“APA yang paling dicari selama bulan ramadan?” tanya seorang penceramah, dalam tausiah setelah salat wajib subuh di masjid dekat rumah kami.
Jawaban para jemaah macam-macam, mulai dari mencari keridaan Allah sampai mencari ampunan. Setelah itu penceramah menyela, “Jujur aja deh! Selama bulan ramadan ini yang paling dicari-ceri oleh kita, cuma azan magrib!” Jemaah tertawa, dan ada yang cengar-cengir.
“Buktinya berdasarkan survei, azan magrib selama bulan puasa menempati posisi paling tinggi yang ditonton atau didengar masyarakat!”
Di masjid dekat rumah kami, seusai salat subuh, setiap hari ada tausiah atau ceramah. Bisa cuma 7 menit, tapi bisa juga sampai ada yang satu jam. Rata-rata 15 -30 menit.
Ceramah atau tausiah di masjid memang menyangkut masalah-masalah religius. Dari keimanan, ketaqwaan sampai manfaat puasa. Perkara ini tentu urusan serius. Oleh sebab itu sebagain besar penceramah menyampaikannya dengan serius pula.
Kendati begitu, ada penceramah yang menyelipkan humor-hunor atau lelucon dalam ceramahnya. Nampaknya mereka faham, jemaah mungkin sudah capai dan sebagian masih atau sudah mengantuk, padahal pesan-pesan keagamaan harus tetap diberikan. Tapi bagaimana supaya misi itu sampai dengan efektif kepada jemaah?
Disinilah beberapa penceramah menyelipkan humor. Meskipun hnumor ini biasanya tetap dikaitkan dengan pesan yang ingin disampaikan Sang Penceramah. Ada yang untuk menyindir, ada yang untuk memperlihatkan Keagungan Allah, atau betapa mulianya ahlak Nabi Muhammad.
“Coba perhatikan, semua bulu di kepala kita, cepat tumbuhnya, tapi kenapa alis ya segitu-gitu saja?!” kata seorang penceramah beretorika.
Pada bagian lain dia mengambil contoh gigi. ”Ayo kenapa setelah dewasa gigi gak tumbuh lagi? Bagaimana kalo gigi kita tumbuh terus, kayak rambut! Bisa serem dan bahaya tuh!” kata seorang penceramah memancing.
Lantas akhirnya dia “menembak” dengan “klimaks.” Si Penceramah menuturkan, Allah sudah mengatur semuanya dengan baik. “Dia menciptakan ASI buat para bayi. Dari kecil orang udah dikasih rejeki masing-masing. Apa gak hebat tuh? Hebatnya lagi, susu manusia cuma dua, dan letakannya udah diatur di sana. Coba bagaimana kalo kayak kucing atau anjing. Susunya banyak, berlerot dari atas ampe bawah? Gimana kalo manusia seperti itu? Susunya lebih dari dua dan letaknya dimana-mana,” ujarnya.
Anggota majalis jemaah subuh di masjid ada yang tertawa dan ada yang cuma senyam senyum saja. Relevansinya penceramah ingin memberitahu Allah dengan segala kekuasaanNYA telah membentuk manusia menjadi mahluk terbaik.
“Masuk barang” itu. Maksudnya, dengan cara humor seperti ini memungkinkan jemaah salat subuh di masjid menjadi lebih mudah mencernanya, di samping menjadi tidak mengantuk.
Penceramah lain berbeda pula. Manakala sedang serius-seriusnya membahas suatu topik, tetapi dengan tiba-tiba dia berujar, ”Waduh, kok dingin bener disini!” Rupanya dari tadi dia sudah sangat kedinginan.
Salah satu AC di masjid tempat kami salat subuh memang terpasang di dinding di belakang mimbar atau dengan kata lain, letaknya tepat di belakang penceramah. Rupanya dia kedinginan, tapi tak ada yang mengetahuinya.
Jadi, waktu dia tiba-tiba bilang kedinginan, jemaah agak terkejut dan terasa lucu.
Ikwal ada unsur humor dalam kotbah di masjid, hamba ingat saat masih kuliah di Fakultas Hukum UI di Rawamangun. Sekarang kampusnya sudah dipakai oleh UNJ. Waktu itu kalo salat Jumat, para mahasiswa salat di masjid dekat asrana Daksinapati itu.
Di masjid itu para penceramah salat jumat kalau sedang kotbah sangat sering mengemukan materinya dengan humor. Ini dilakukan untuk mengeritik pemerintah Orde Baru waktu itu.
Rezim di bawah pimpinan Pak Harto pemerintahnya sangat represif. Untuk mengeritiknya harus berhati-hati, termasuk di lembaga keagamaan. Humor menjadi salah sarana untuk dapat masuk memgeritik pemerintah. Kalau tidak lewat cara humor, lelucon atau tawa mungkin para khotib waktu itu sudah masuk black list atau daftar hitam pemerintah. Konsukuensinya bisa dihukum atau bahkan “dihilangkan.” Tetapi melalui humor mereka tidak dianggap menghina pemerintah, tapi pesan agamaya tetap tersampaikan.
Secara teoritis humor tidak sekedar menghasilkan tawa belaka. Humor atau kelucon berdasarkan teori-teori psikologi diinilai sebagai fenomena sosial. Dalam hal ini, tawa membawa pesan, mengampaikan misi. Di balik tawa, ada sesuatu yang ingin disampaikan dan dapat sampai pada taraf untuk mempengaruhi. Dengan begitu humor tidak sekedar menghasilkan tawa.
Dalam bukunya “Sense of Humor and Dimention of Personlity,” Lefcourt dan Martin (Woshington : 1993) sudah menegaskan, tertawa tidak selalu dipicu rasa lucu. Sebaliknya tragedi dapat menghasilkan senyum dan tawa.
Rasa lucu, kata psikopog Elizabeth E. Hurlock, dapat mengubah persepsi kita mengenai sesuatu hal. Sedangkan menurut John Sorey dalam bukunya “Cultural Studies and The Stydt of Populer Culture: Theoriea and Method,” jelas ada makna di balik kelucuan
Lebih jauh lagi, Arhur Koestler setelah melalukan penelitian panjang, dalam bukunha “The Art of Creation” yang terbit tahun 1989 menyimpulkan, lelucon adalah proses intelektual.
Maka kehadiran humor pastilah memiliki alasan yang kuat. Sementara bagi Arthur Koestler humor bukan untuk merendahkan manusia, tetapi sebaliknya untuk mengangkat harkat martabat manusia.
Para penceramah atau khotib mungkin tidak membaca teori-teori humor atau lecucon yang berasal dari barat tersebut, namun beberapa dari mereka telah mmenerapkannya secara intinktif.
Lewat humor atau lelucon yang mereka selipkan di antara ceramah atau kotbah mereka, merupakan bagian dari dakwah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan para pendengarnya. Di balik tawa mereka memberikan pesan dan misinya untuk menyakinkan, Allah Maha Kuasa.
Tabik!***
(Bersambung)
*Penulis, wartawan dan advokat senior serta Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan reportase/opini pribadi yang tidak mewakili organisasi.