Oleh Wina Armada Sukardi*
JEMAAH Jemaah salat subuh di masjid dekat rumah hamba, pada umumnya “itu-itu jiga.” Penambahan “jemaah baru” memang selalu ada, tapi jumlahnya tidak signifikan, dalam artian tidak banyak.
Hamba perhatikan, jemaah salat subuh di masjid kami hampir datang dari semua kalangan: baik strata pendidikan, ekonomi, sosial dan budayanya. Jemaah yang beragam itu semua, di subuh hari diberikan nikmat okeh Allah untuk salat berjemaah di masjid. Tentu tujuan akhirnya semua sama: mengharapkan masuk surga dari Allah, dan menghindari neraka.
Seperti juga hamba ini, para jemaah datang ke masjid melawan rasa kantuk dan malas, dan menembus dingin untuk menyerahkan diri kepada Allah.
Semua ingin dimasukan ke dalam surga.
Di masjid, kami berlomba-lomba memberikan yang terbaik kepada Allah. Salat dengan khusuk. Berdoa dengan sepenuh batin dan berharap diberikan yang terbaik. Diberikan Surga. Amin.
Pertanyaannya, siapa di antara kami yang bakal diberikan keberuntungan oleh Allah boleh masuk surga, dan siapa pula yang terpaksa harus masuk neraka jahanam?
Kita, mungkin, merasa kitalah yang terbaik. Kitalah yang paking berhak masuk surga. Banyak alasan yang dapat dipakai masing-masing orang bahwa dirinya yang paling layak masuk surga, setidaknya termasuk deretan orang yang patuh masuk surga. Dari mulai bacaannya yang terlengkap dan terbaik, paling rajin salat, selalu baca Al Quran, dan bahkan sampai katam, tata cara salatnya merasa paling benar, berprilaku sesuai perintah dan larangan Allah dan sebagainya, dan sebagainya. Padahal, sejatinya, kita belum tentu lebih baik dari yang lain.
Belum tentu kita masuk surga, sedangkan mereka tidak masuk surga. Sama pula belum tentunya mereka masuk surga, kita tidak. Bisa saja sama-sama masuk surga, atau sama-sama masuk neraka. Satu sama lain tidak pernah ada yang mengetahuinya. Semua rahasia Alllah.
Tentu, selain salat subuh di masjid, masih banyak pertimbangan variabel lain yang dapat menggantarkan kita, berat ke timbangan kebaikan, ataukah berat ke timbangan keburukan. Apakah, misalnya, di luar salat subuh berjemaah di masjid, diri kita selama ini dalam kehidupan sehari-hari berperilaku sebaik dalam salat subuh berjemaaah?
Apakah diri kita telah memberikan kemanfaatan kepada orang lain? Apakah benar kita sering membantu orang, dalam hal apapun, diketahui orang atau tidak? Apakah kita bekerja sungguh-sungguh demi Allah dan tidak semata-mata menghitung keuntunga belaka? Apakah kita yakin, sadar atau tidak, kita tidak memakan uang haram? Apakah kita selalu menjalankan amanah yang diberikan kepada kita dengan baik dan jujur.
Kita pun perlu merenung, benarkah kita tidak pernah merugikan orang lain? Kita tidak pernah menfitnah orang? Benarkah kita tidak serakah? Tidak tamak? Benarkah kita rela berkorban demi kebaikan? Sudahkah kita berani bersikap adil dan jujur? Apakah kita berani melawan orang kaya yang batil, ataukah kita justeru jadi kaki tangan mereka?
Betulkah kita tidak hanya memikirkan diri sendiri? Bagaimana perhatian sikap kita kepada tetangga? Apakah cuek atau care dan penuh perhatian serta bersilahturahmin dengan mereka? Dan sebagainya, dan sebagainya.
Ada berjuta pertanyaan yang jawabannya dapat menjadi pertimbangan Allah mau menempatkan kita di surga atawa di neraka.
Siapapun kita, kita tak dapat jumawa, kitalah yang bakal masuk surga. Semuanya otoritas tunggal dari Allah.
Selama Allah belum memanggil pulang kita menghadapNYA, selama itu pula berbagai kemungkinan dapat menggiring kita ke surga atau neraka. Bisa saja dalam sisa hidup kita, sadar atau tidak, kita membuat blunder yang menyebabkan kita yang sebelumnya punya potensi ke surga, menjadi lebih berat condong ke neraka.
Sebaliknya pun dapat terjadi. Dalam sisa hidup kita, ternyata kita membuat berbagai pikiran dan tidakan yang menyebabkan kita yang sebelumnya sudah condong ke arah neraka, akhirnya ditepkan masuk surga. Segalanya sesuatu masih serba mungkin.
Kisah seorang pelacur, yang sudah hampir pasti masuk neraka, tiba-tiba menolong seekor anjing yang kehausan dengan memberikan minum dari sumur memakai sepatunya, dan kemudian disebut membawaya masuk ke surga, dalam kehidupan nyata dan versi yang berlainan dapat pula terjadi pada kita.
Siapa sangka Umar bin Khattab, yang sebelumnya kafir penyembah berhala dan pembenci utama Nabi Muhammad sertab sudah berkali-kali berniat membunuh Nabi Muhammad, tiba-tiba setelah mendengar ayat suci Al Quran, mendapat hidayah langsung memeluk islam. Belakangan bahkan dua menjadi khalifah atau pimpinan kedua Islam sewafatnya Nabi Muhammad.
Umar bin Kattab yang sudah di ujung neraka, terselamatkan menjadi pejuang islam.
Kita, orang muslim, masih ada kemungkinan mendapat hidayat dalam versi lain. Barangkali hidup kita yang sebelumnya berlumur dosa, dengan hidayat itu dapat masuk surga. Siapa yang faham?
Namun sebaliknya, kita yang kelihatan begitu alim, sholeh, taat dan tunduk kepada Allah, salat wajib dan sunnah tak pernah terlewatkan, sebenarnya ada tindakan kita yang tercela yang tersembunyi yang menghalangi kita ke surga?
Pada salat subuh berjemaah di masjid, kita tidak dapat menikaib derajat seseorang di hadapan Allah dari penampilan semata. Kita tidak dapat memandang tinggi rendah orang bakal masuk surga atau neraka dari busana yang dikenakan masing-masin jemaah. Kalau pakaiannya rada belel, butut, berarti dari kalangan ekonomi menegah bawah, kita pikir kemungkinan besar masuk neraka. Belum tentu.
Sebaliknya yang pakiannya perlente, berarti dari golongan ekonomi menengah atas, bakalan masuk neraka. Juga belum tentu.
Kaya atau miskin, semuaya belum tentu masuk surga atau masuk neraka.
Begitu pula yang memiliki jabatan tinggi, atau beduit selangit, belum dapat dipastikan masuk surga atau neraka. Sama yang hamba sahaya, pun belum tentu masuk surga atau neraka.
Kita tidak dapat pula menduga-duga seseorang masuk surga hanya dari semata-mata mereka rajin datang salat subuh berjemaah di masjid paling awal, doanya paling, posisinya sebagai imam, bilal, pengurus atau rakyat sahaya. Kita tidak pernah tahu.
Maka kita tak boleh pongah. Tak boleh memandang rendah kepada jemaah lain. Penilaian hanya ada di mata Allah.
Salat subuh berjemaah di masjid, memang tak menjamin seseorang bakalan pasti masuk surga. Meski sudah begitu banyak efort atau “pengorbanan,” kita untuk setiap hari salat subuh berjemaah di masjid, tak menjamin jalan lapang kita ke surga.
Kendati demikian setidaknya, salat subuh berjemaah di masjid, memberikan kredit point kepada kita sebagai manusia pendamba surga. Bagaimana pun melaksanakan salat subuh berjemaah di masjid termasuk menjalankan perintah Allah. Sejelek-jeleknya kita, dengan salat subuh berjemaah di masjid, setidaknga sudah menunjukkan kepada Sang Maha Kuasa, terlepas dari kelemahan yang ada, kita sudah berupaya mewujudkan perintah Allah.
Kita harus berkeyakinan, salat subuh berjemaah di masjid, setidaknya dapat memberikan kita tambahan ke timbangan yang baik. Soal masuk surga dan neraka, memang sepenuhnya Alllah yang menentukan. Kita tidak dapat mengintervensi otoritas Allah.
Kita hanya berkeyakinan, siapa yang menjelankan perintah Allah dengan sebaik-baiknya, oleh Allah bakal dibukakan pintu surga, termasuk yang menjalankan salat subuh berjemaah di masjid. Walaupun kita sadar sadar-sesadarnya, semuanya hak mutlak Allah.
Nah, jika kita saja tidak dapat menentukan kita masuk surga atawa neraka, bagaimana pula kita dapat menentukan orang lain masuk surga atau neraka?
Tabik.***
(Bersambung)
*Penulis, wartawan dan advokat senior serta Dewan Pakar, Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan reportase/opini pribadi.