PERAYAAN ulang tahun, apalagi untuk usia seratus tahun atau satu abad, mestinya diwarnai rasa gembira tanpa melupakan rasa syukur. Namun, umur seratus tahun industri tekstil dan garmen Indonesia justru diwarnai keprihatinan banyak pelaku usaha di bidang ini.
Usia satu abad itu dihitung dari mana? Menurut sejarah yang ditulis oleh Kementerian Perindustrian, Balai Besar Tekstil (BBT) berdiri sejak tahun 1922 dengan nama Textiel Inrichting Bandoeng (TIB). Pada tahun 1966 lembaga ini dikenal sebagai Institut Teknologi Tekstil (ITT). Pada tahun 1979, lembaga ini mengalami perubahan struktur dan pemisahan kelembagaan menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Tekstil (BBPPIT) dan Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (STTT).
Pada tahun 2002, BBPPIT berubah namanya menjadi BBT di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Industri dan Perdagangan (BPPIP), Departemen Perindustrian dan Perdagangan. (kemenperin.go.id)
Masih di situs Kementerian Perindustrian RI edisi Kamis, 14 Juli 2022, siaran persnya memberi judul, “Menperin: Satu Abad Industri Tekstil Indonesia, Dari Zaman Kolonial Hingga Berjaya di Era Digital”.
Tercatat banyak rangkaian kegiatan untuk memperingati satu abad tekstil di Indonesia ini. Semuanya tentu mengandung makna positif dan bagaimana langkah selanjutnya menuju kemajuan serta kejayaan industri tekstil dan garmen Indonesia.
Menurut Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional. Daya saing industri TPT di Tanah Air didukung dengan stuktur industri yang telah terintegrasi dari hulu hingga hilir, serta semakin kompetitif dengan tingginya permintaan dalam negeri serta ekspor. Industri TPT juga berkontribusi menyerap tenaga kerja sebesar 3,65 juta orang berdasarkan data pada Agustus 2021.
Di akhir rilis tersebut tertulis begini, “Melalui peringatan 100 Tahun Industri Tekstil, Kemenperin berupaya menumbuhkan semangat memajukan industri tekstil di nusantara untuk bisa dikenal dunia”.
Lalu di mana letak keprihatinan dan kesedihan yang mewarnai peringatan Satu Abad Industri TPT di Tanah Air itu?
Kerugian besar
Coba kita simak isi berita berikut ini di bawah judul “Kerugian Besar Akibat Penyelundupan Produk Tekstil”. (Pikiran Rakyat, Senin, 3/4/2022)
Indonesia kehilangan pendapatan hingga Rp 19 triliun akibat impor tekstil dan produk tekstil (TPT) ilegal sejumlah 320.000 ton yang terjadi sepanjang tahun 2022. Banyaknya jumlah pakaian ilegal yang masuk, serta kerugiannya yang ditimbulkan ini, membuat sejumlah asosiasi mendukung penuh langkah pemerintah yang melarang impor pakaian bekas.
Isi berita itu sebetulnya ingin mengatakan bahwa pada saat industri tekstil atau TPT di Indonesia satu abad pada tahun 2022 itu, dalam tahun yang sama terjadi penyelundupan poduk TPT senilai Rp 19 triliun. Dengan terbongkarnya kejadian itu, maka wajar jika banyak pelaku di bidang usaha ini yakni pabrikan (produsen), pekerja, pedagang yang bergelut dalam bidang usaha TPT domestik itu mengalami keprihatinan dan kesedihan yang mendalam.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Wiraswasta mengatakan, selama 2022 impor sektor TPT termasuk pakaian bekas ilegal mencapai 320.000 ton.
Jumlah itu lebih banyak dibandingkan impor pakaian legal yang berjumlah 250.000 ton. Jumlah tersebut setara dengan 16.000 kontainer per tahun atau 1.333 kontainer per bulan.
“Kalau dihitung 320.000 ton nilainya sekitar Rp 32 triliun. Kalau pemerintah kasih PPN, PPh, bea masuk, dan BMTP, seharusnya pemerintah dapat Rp 19 triliun. Artinya pemerintah kehilangan pendapatan Rp 19 triliun dari sektor pajak pakaian ilegal ini,” ucapnya seperti dikutip dari Antara, Minggu (2/4/2023).
Kerugian sangat besar di luar pajak
Lalu berapa besar kerugian yang dialami nonpemerintah atau selain pajak sebesar Rp 19 triliun tersebut?
Dalam berita tadi disebutkan bahwa impor ilegal tersebut juga membuat kehilangan potensi serapan 545.000 tenaga kerja langsung dan 1,5 juta tidak langsung dengan total pendapatan karyawan Rp 54 triliun per tahun.
Tak hanya itu, daya rusak atau destruktifnya mencapai 29,6 persen atau setara 6 miliar dolar AS total turn over lokal sehingga menjadi hambatan investasi dan menekan utilisasi produksi industri TPT nasional menjadi hanya tinggal 50 persen.
Redma menyampaikan saat ini banyak ditemukan perusahaan impor bodong yang menyalahgunakan izin impor untuk menyelundupkan barang.
Banyak perusahaan dengan persetujuan impor angka pengenalan importir untuk produsen (API-P) dan API-U (untuk pedagang umum) yang hanya punya izin usaha industri (IUI), namun tidak punya mesin dan kapasitas produksi.
Sementara, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut volume pakaian bekas impor yang masuk Indonesia sepanjang 2022 mencapai 25.808 ton per tahun atau setara 350.000 potong pakaian per hari.
“Ditotalkan dari 7 negara itu 25.808 ton. Kalau dikonversikan 1 kilogram bisa 5 potong baju, kalau kita bagi itu jatuhnya 70 ton per hari dikalikan 5 pieces per hari, bisa 350.000 potong baju per hari, bisa menggerakkan berapa banyak tenaga kerja,” kata Ketua Umum API, Jemmy Kartiwa Sastra Atmaja.
Volume pada 2022 tersebut didominasi Malaysia dengan jumlah mencapai 24.544 ton. Sedangkan sisanya diikuti Korea Selatan dan Cina yang masing-masing sebanyak 588.000 ton dan 358.000 ton. Lalu ada Taiwan dengan jumlah 188.000 ton, Jepang 92.000 ton, dan Thailand 38.000 ton.
Menghadapi problem tersebut, Kementerian Perdagangan memusnahkan pakaian impor bekas. Salah satu contohnya adalah pemusnahan 824 bal pakaian impor bekas senilai Rp 10 miliar di salah satu gudang di Balongbendo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Senin 20 Maret 2023 lalu. Pemusnahan ini merupakan yang kedua dalam sepekan. (PR, 21/3/2023)
Solusi tersebut rupanya menimbulkan dilema bagi para pedagang khususnya pedagang kecil yang telanjur keluar modal. Karena itu pemerintah memberi kelonggaran kepada pengecer atau reseller untuk menjual pakaian bekas impor selama Ramadan hingga Lebaran. Saat ini, pemerintah akan terlebih dulu menghentikan penyelundupan pakaian bekas impor, yang di dalamnya termasuk alas kaki impor.
Hal itu disampaikan Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki dan Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan dalam konferensi pers tentang kesepakatan kelonggaran penjualan pakaian bekas impor di Jakarta, Senin (27/3/2023).
Permasalahan penyelundupan pakaian bekas berikut berbagai cara jalan keluarnya yang dilematis tersebut, pada hakikatnya merupakan gambaran sikap bangsa Indonesia yang tidak konsisten atas sikap sebelumnya bahwa “aku cinta buatan Indonesia” atau “aku cinta produksi dalam negeri”.
Slogan itu –dengan semangat “berdikari” atau berdiri di atas kaki sendiri– sebetulnya sudah diteriakkan sejak rezim Orde Lama, Orde Baru, hingga Era Reformasi. Namun niat dan tekad serta semangat yang membara itu ternyata realitasnya hanya berhenti di bibir. Buktinya pemerintah semakin hobi impor, meskipun produk yang diimpor itu sebetulnya telah tersedia di dalam negeri karena telah diproduksi oleh rakyatnya sendiri. Sikap yang mendua itu pun dimanfaatkan oleh para oknum penyelundup, termasuk penyelundupan pakaian impor bekas. (Widodo A, TuguBandung.id)***