Oleh Wina Armada Sukardi*
SAAT serangan covid-19 menggila, bukan hanya berdampak terhadap kebiasaan sosial, tetapi berpengaruh pula terhadap kebiasaan salat subuh di masjid, setidaknya yang hamba alami.
Dari segi sosial, kehadiran covid-19 sempat memporakporandakan jalinan sosial. Manusia tidak boleh berkumpul, jika pun ada pengecualian, hanya boleh beberapa orang saja. Itupun jarak antara orang dibatasi.
Kantor pun banyak yang tutup. Kalau pun ada aktivitas, lebih banyak work from home (WFH) atawa bekerja dari rumah.
Proses belajar mengajar tidak lagi di kelas, melainkan melalui zoom, atau online via HP. Banyak anak yang sudah mulai bersekolah selama sekitar dua tahun, tapi tak pernah punya teman sama sekali, karena memang tak pernah berkumpul layaknya sekolah normal.
Untuk melawan virus, kita dianjurkan divaksin. Dua kali vaksin dan dua kali booster. Mereka yang tidak vaksin tidak boleh masuk mal, naik peswat terbang atau kereta api. Sampai sekarang jika kita masuk stasion dan naik kereta MRT, masih diwajibkan pakai masker. Petugas masih sering menegur yang tidak memakai masker. Demikian puka di MRT masih tetap tak boleh bicara sama sekali, termasuk memakai HP. (Banyak yang menggugat kebijakan ini, karena dimana-mana sudah boleh tak memakai masker, termasuk di pesawat udara, kenapa di MRT masih menerapkan peraturan yang berbeda?)
Begitu juga jika mau ketemu pejabat tinggi di kantor, kala itu, harus lebih dulu PCR atau setidaknya antigen, maksimal berlaku 2X 24 jam sebelumnya.
Munculah peradaban baru. Manusia dimana-mana memakai masker. Sementara dalam hubungan sesama manusia tak ada lagi kebiasan salaman saat bersua.
Industri kesehatan bermunculan dimana-mana. Apalagi pada awal-awal muncul covid-19, untuk tes PCR mencapai harga Rp 1,5 juta. Sedangkan tesn atigen sekitaran Rp 700 ribu. Dapat dibayangkan berapa cuan yang mereka raup dari kasus ini. Belakangan diketahui, modal PCR tak lebih dari Rp 150 ribu, antigen pun tak lebih dari Rp 25 ribu. Belakangan alat antigen malah dapat dibeli lewat online, cuma Rp 250 ribu dapat dipakai 50 orang. Makanya terakhir-terakhir harga tes PCR cuma Rp 250 ribu dan antigen Rp 90 ribu.
Kiwari industri ini sudah hancur kembali sejak tak ada lagi pembatasan sosial.
Industri yang ikut berkembang pada masa pandemi covid-19 kuliner rumahan. Sementara restoran bertumbangan karena pembatasan sosial dan orang enggan keluar, industri kuliner rumahan menjamur. Pemesanan melalui online melonjak. Banyak yang sempat “cuti” dari pekerjaannya untuk membantu isteri menangani pesanan kuliner (kini industri ini juga sebagian besar sudah tutup seiring tata sosial yang mulai normal).
Perabadan baru terjadi dalam proses pemakaman sebelumnya. Para penderita covid-19 dimakamkan di pemakaman khusus para penderita covid. Itu pun kalau meninggal di rumah sakit, jenazahnya harus dibawa langsung dari rumah sakit ke kuburan. Petinya pun masih dibungkus plastik pula. Ketika di kubur, keluarga harus berada dalam jarak jauh dari liang lahat sehingga keluarga tidak dapat menyaksikan, apalagi masuk, ke rumah peristirahatan terakhirnya.
Baju yang dipakainpara pekerja untuk upacara pemakaman lantas dibakar. Maksudnya supaya tidak menularkan penyakit.
Keadaan tak berbeda terjadi pada salat subuh di menjid. Ketika masjid masih baru tutup, tak ada jemaah yang datang. Cuma pengurus masjid saja yang betugas di tempat ibadah itu. Ini berlangsung sekitar 1,5 – 2 tahunan. Masjid sejak subuh melompong.
Manakala pembatasan sosial mulai dikurangi, sedikit demi sedikit kemaah mulai datang lagi ke masjid, termasuk salat subuh di masjid. Jemaah sebagian besar datang masih memamakai masker. Jarak antara jemaah juga sengaja direnggangkan.
Selama serangan covif-19, baik periode delta maupun omicron, terus terang saja hamba tidak ke masjid. Bukan hanya tidak salat subuh di masjid, tapi juga sama sekali tidak salat lainnnya di masjid. Baik ketika covid-19 masih era delta maupun era omicron saya salat di rumah saja.
Kalau salat jumat, hamba dan anggota keluarga membentuk jemaah sendiri di rumah. Belakangan sesudah ada pelonggaran pembatasan sosial, lantaran suara masjid sampai dengan jelas ke rumah dan masjid terlihat dari rumah, kami salat jumat di rumah tapi mengikuti salat dari masjid. Dalam keadan darurat, soal sah tidaknya salat semacam itu, kami serahkan kepada Sang Pencipta.
Sebelum pandemi covid-19 hadir, tak begitu banyak “ritual” untuk salat subuh. Sebaliknya setelah pelonggaran pembatasan sosial dan hamba ini mulai salat subuh di masjid lagi, proses sebelum dan sesudah salat subuh di masjid lebih “ruwet.”
Berangkat salat subuh di masjid awalnha masih selalu memakai baju lengan panjang. Tutup kepala yang sejauh mungkin menutup rambut sampai batas ke kuping. Ditambah lagi masker, sehingga yang terlihat dan terbuka cuma mata saja. Layaknya seperti ninja saja. Hehehe.
Tak ketinggalan, hamba membawa sajadah sendiri, biar lebih aman.
Di masjid pun ketemu jemaah lain cuma mengangguk tanpa salaman.
Selesai salat subuh langsung segera pulang. Di rumah seluruh pakaian langsung masuk cucian. Jadi, sekali pakai langsung cuci. Tak ada cerita pakian yang sudah dipakai salat subuh di masjid masih disimpan untuk dipakai esok atau lusanya.
Di rumah pun, begitu sampai dan ganti baju, langsung disambung mandi. Mau tidur lagi, nyantai atau pergi, pulang salat subuh dari masjid “wajib” mandi.
Kebiasan di masjidpun agak berubah. Semula setelah salat subuh, jamaah dan imam serta sesama jemaah berbaris bersalaman-salaman, silahturahmi. Sejak covid-19 menyerbu, “tradisi” salam tersebut tak ada lagi.
Sedikit demi sedikit pandemi covid-19 mulai berkurang. Terjadi pula proses perubahan pada diri hamba pribadi dan juga di masjid. Baju tak lagi selalu lengan panjang. Masker pun sudah dilepas.
Pulang dari masjid tak lagi harus selalu mandi, tapi cukup cuci seluruh tangan, muka dan rambut. Untuk praktisnya hamba membeli pembersih “3 in 1” yaitu pembersih yang dapat dipakai untuk mencuci rambut, muka dan tangan (dan badan). Ini karena kebetulan rumah saya bertingkat. Waktu pulang, hamba mandi di kamar atas. Jadi semua perlengkapan mandi ada di atas. Setelah memasuki priode “mencuci” tangan, muka dan rambut, saya lakukan di kamar mandi bawah. Maklumlah setelah itu mau tidur dengan cucu yang tidur di kamar bawah.
Baju pun, yang sama sudah mulai berani dipakai dua tiga hari, hanya saja baju tersebut sebelumnya begitu pulang masjid masih disemprot dengan disinfektan spray dan ditempatkan terpisah.
Suasana masjid pun sudah mulai menuju normal sepenuhnya. Jemaah sudah boleh menempati posisi normal dan tidak lagi harus ada jarak. Sebagian besar jemaah subuh sudah pula tak memakai masker. Hanya mereka yang memiliki komorbid dan atau sedang merasa tidak enak badan, masih memakai masker. Seusai salat, khususnya serelah penceramah selesai, telah mulai ada barisan yang saling bersalaman, meski jumlahnya belum banyak.
Kalau salat Jumat pun masjid sudah penuh kembali. Kami pun keluarga sudah pula salat Jumat di masjid.
Sejatinya islam mengajarkan kita menjaga kebersihan, baik diri maupun lingkungan. Memgambil wudu atau air sambayang, misalnya, jelas mendidik kita untuk menjaga kebersihan diri. Bukan hanya tangan saja, tetapi juga hidung, kuping, muka, rambut dan kaki. Itu artinya sejak mula islam sudah mewanti-wanti umatnya agar menjaga kebersihan. Selain mejalankan perintah Allah, ternyata kebersihan juga untuk mencegah datangnya penyakit, termasuk menampik virus, virus apapun, juga covid-19. Kebersihan merupakan upaya mencegahan, menghindari dan juga mengatasi penyakit, tak terkecuali covid-19.
Ajaran islam dalam hal ini sudah lebih dahulu “menembus” dimensi yang sebelumnya tidak begitu diperhatikan manusia. Kehadiran covid-19 lebih menyadari kita betapa hebatnya jangkauan nilai-nilai islami.
Tabik!***
(Bersambung)
*Penulis adalah wartawan dan advokat senior serta Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan reportase/opini pribadi yang tidak mewakili organisasi.