SIAPA yang tidak kenal dengan terasi, produk khas hasil fermentasi perikanan yang berasal dari udang atau ikan-ikan berukuran kecil, dikenal memiliki aroma yang kuat dan rasa gurih yang memikat. Produk olahan perikanan ini dalam kuliner Indonesia telah diketahui berada selama berabad-abad lalu, bahkan sebelum terbentuknya negara Indonesia dan runtuhnya kerajaan seperti Cirebon dan Sunda. Istilah “Terasi” diyakini berasal dari “terasih” atau “asih,” dengan awalan “ter-” menunjukkan rasa kasih sayang atau “yang paling disukai”. Secara historis, penciptaan bumbu terasi dikaitkan kepada Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, pendiri Kesultanan Cirebon pada abad ke-15.
Saat ini, wilayah-wilayah penghasil terasi utama di Indonesia meliputi Cirebon, Purworejo, Lampung, Bangka-Belitung, Madura, Puger, Tuban, Rembang, dan Lombok. Meskipun prinsip metode pengolahan memiliki kemiripan di berbagai wilayah, tradisi ini dijaga melalui praktik turun-temurun, sering kali dilakukan oleh rumah tangga nelayan atau para pengolah hasil perikanan tradisional. Terasi tidak hanya populer di Indonesia tetapi juga di negara-negara Asia lainnya. Produk ini dikenal dengan berbagai nama seperti Bagoong di Filipina, Belacan di Malaysia dan Kamboja, Ngapi di Myanmar dan Vietnam, Kapi di Thailand, Mamtom di Brunei, Nappi di Bangladesh, Shajiang di Tiongkok, dan Saewoojeot di Korea.
Menurut Standar Nasional Indonesia, terasi adalah produk perikanan yang berasal dari udang atau ikan-ikan berukuran kecil, yang difermentasi dengan atau tanpa penambahan bahan lain. Fermentasi merupakan tahap penting dalam produksi terasi dimana pada proses ini terjadi pemecahan protein kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana, memberikan cita rasa dan aroma yang khas. Secara tradisional, terasi udang mengalami fermentasi alami tanpa penambahan kultur starter mikroba, sehingga memungkinkan pertumbuhan mikroba yang beragam dan perkembangan flavor yang khas dibandingkan dengan produk fermentasi lainnya.
Terasi umumnya memiliki warna coklat kemerahan hingga hitam, bergantung pada bahan baku yang digunakan dan mikroba alami yang terlibat selama fermentasi. Terasi berbahan dasar udang cenderung lebih disukai oleh konsumen karena warnanya yang merah dan penampakannya lebih disukai, sementara terasi berbahan dasar ikan mungkin memerlukan penambahan pewarna karena warnanya yang abu-abu kusam sehingga akan lebih menarik di pasaran. Terasi memiliki ciri khas berupa tekstur yang padat, sedikit kasar, aroma yang tajam, dan rasa yang gurih. Aroma terasi yang khas berasal dari senyawa volatil yang dihasilkan selama pemecahan protein dan lemak menjadi senyawa-senyawa karbonil, asam lemak, amina dan berbagai sulfida. Sementara rasa khas terasi dihasilkan dari berbagai asam amino dan terutamanya berasal dari asam glutamat dan nukleotida. Senyawa-senyawa ini berkontribusi pada pembentukan rasa umami sehingga membuat terasi banyak digunakan sebagai bumbu penyedap berbagai jenis hidangan.
Tekstur terasi dapat dipengaruhi oleh jumlah garam yang ditambahkan dan lamanya waktu fermentasi. Garam memiliki efek mengeraskan dan membentuk rasa terasi yang disukai. Semakin tinggi konsentrasi garam dan semakin lama fermentasi, maka tekstur terasi yang dihasilkan akan semakin keras. Sementara jika kadar air terasi terlalu tinggi maka produk akan menjadi terlalu lunak. Garam dalam fermentasi terasi berperan ganda yaitu dalam pengawetan dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk aktivitas mikroba selama fermentasi, memastikan atribut produk yang diinginkan.
Terasi udang biasa digunakan sebagai penyedap rasa atau flavor enhancer terutamanya pada sambal, dimana sambal dikonsumsi secara luas sebagai pelengkap dan senantiasa menyertai berbagai masakan Indonesia atau dapat juga ditambahkan dalam hidangan sayuran dan petis. Terasi dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu semi-padat, padat, dan bubuk atau butiran. Terasi di Indonesia memiliki berbagai variasi regional, masing-masing dengan karakteristiknya sendiri. Berdasarkan daerah pembuatnya, terasi di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa jenis utama yaitu: terasi Belitung, terasi Toboali, terasi Lombok, terasi Puger, terasi Tuban dan terasi Cirebon.
Terasi udang merupakan produk yang kaya akan protein, dengan kandungan protein berkisar antara 20% hingga 45%. Selain itu, terasi juga mengandung nutrisi penting lain seperti air, lemak, fosfor, kalsium, zat besi, serta vitamin B dan A. Komponen nutrisi ini berkontribusi pada manfaat kesehatan dan keserbagunaan fungsi terasi pada makanan. Pembuatan terasi tradisional melibatkan serangkaian tahapan pengolahan, termasuk pembersihan, pencucian, pengukusan, penggaraman, penumbukan, fermentasi (waktu beragam mulai 1-4 minggu), pengeringan, dan pengemasan. Metode yang lebih modern dilakukan untuk menyederhanakan proses pengolahan terasi tradisional, yaitu dengan menggabungkan kemajuan teknologi seperti penggilingan dan pemanasan menggunakan berbagai peralatan pengolahan yang lebih modern.
Terasi udang memiliki makna budaya di Indonesia, dimana terasi diapresiasi sebagai penambah rasa tradisional dalam berbagai hidangan utama. Beberapa menu makanan Indonesia yang menggunakan terasi diantaranya ialah aneka macam sambal cabai, sup, sayur dan nasi goreng. Walaupun terasi hanya digunakan dalam jumlah sedikit tapi perannya cukup penting dalam memunculkan aroma dan rasa khas yang dapat dibedakan dengan bahan lainnya. Aromanya yang menyengat dan rasanya yang gurih meningkatkan pengalaman sensori berbagai hidangan, mulai dari sambal pedas hingga kari yang kaya rasa. Sebagai bumbu serbaguna, terasi terus memainkan peran penting dalam tradisi kuliner, yang mencerminkan warisan gastronomi yang kaya di kawasan Indonesia bahkan Asia Tenggara.***