Oleh Widodo Asmowiyoto*
BELAKANGAN ini nama Elon Musk semakin akrab dengan publik Indonesia. Setidaknya hal itu berkat pertemuan Presiden Joko Widodo dengan orang terkaya nomor satu di dunia tersebut di lokasi produksi roket SpaceX di Boca Chica, Amerika Serikat, Sabtu 14 Mei 2022 lalu. Sebelum menerima Presiden Jokowi, Elon Musk juga menerima Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan di Giga Factory Tesla di Austin, Texas, AS pada 25 April 2022 lalu.
Nama Elon Musk yang kini mempunyai kekayaan USD 207,3 miliar atau sekitar Rp 3.041 triliun itu (Kompas.com, 23/5/2022) tentu akan semakin berkibar di sini karena dia ingin mengunjungi Indonesia. Jika tidak ada aral melintang, kunjungan Elon Musk atas undangan Presiden Jokowi itu akan berlangsung November 2022 nanti.
Menurut Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, perusahaan mobil listrik ternama milik Elon Musk, Tesla Inc, akan berinvestasi di Indonesia tahun ini (kumparanBISNIS, 19/5/2022). Tesla akan masuk ke Indonesia dengan dua investasi besar yakni bidang ekosistem baterai mobil dan mobilnya.
Saat konferensi pers di Solo, Rabu, 18 Mei lalu, Bahlil memastikan Elon Musk akan menanamkan modalnya di Indonesia tahun 2022 ini. Namun dia belum bisa mengumumkan secara spesifik karena menunggu tanda tangan kesepakatan antara pemerintah dan Tesla.
“Berapa investasinya masih juga dirahasiakan, masih tunggu. Tapi barang ini barang bagus dan barang gede, dan saya sudah merayu mereka kemarin dan Pak Menko Marves sudah memberikan informasi bahwa sebagian akan kita lakukan di Jateng, yaitu di Batang,” ungkap Bahlil.
Sebelum diumumkan Bahlil, negosiasi kesepakatan investasi Tesla sudah intens dilakukan sebelumnya. Tak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi Menko Marves Luhut Binsar yang langsung turun tangan untuk meyakinkan Elon Musk menyuntikkan dananya di Indonesia.
Seperti apa masa kecil Elon Musk?
Mumpung tanggal 1 Juni 2022 ini merupakan Hari Anak-anak Internasional dan Hari Susu Sedunia, layak kiranya kita menyimak seperti apa masa kecil Elon Musk sehingga kini dia berhasil menjadi “super-konglomerat” atau orang terkaya nomor satu di dunia. Mudah-mudahan informasi ini mampu menginspirasi para orangtua di Indonesia sehingga mampu memetik sisi positif yang dapat ditularkan kepada generasi mudanya.
Elon Musk lahir pada 28 Juni 1971 dan tumbuh di Pretoria, sebuah kota yang berada di bagian timur laut Afrika Selatan (Afsel), hanya berjarak satu jam perjalanan dari Johannesburg. Sepanjang masa kecilnya, dia dihantui oleh ketakutan apartheid, karena Afsel sering dipanaskan oleh ketegangan dan kekerasan. Orang kulit hitam dan kulit putih bentrok dan berselisih, seperti halnya sesama orang kulit hitam yang berasal dari suku yang berbeda.
Musk berumur empat tahun tepat sehari setelah terjadi Pemberontakan Soweto, saat ketika ratusan pelajar kulit hitam mati ketika memprotes surat keputusan dari pemerintah kulit putih. Selama bertahun-tahun, Afsel menghadapi sanksi yang dijatuhkan oleh negara-negara lain karena politiknya yang rasis. Musk memiliki kemewahan untuk bepergian ke luar negeri selama masa kecilnya dan memiliki kesempatan untuk merasakan bagaimana pandangan orang luar terhadap Afsel.
Namun yang lebih berpengaruh terhadap kepribadian Musk adalah budaya Afrika kulit putih yang sangat umum di Pretoria dan beberapa area sekitarnya. Mereka sangat memuja-muja perilaku kelaki-lakian yang jantan dan kuat. Ketika Musk menikmati sebuah hak istimewa, dia justru hidup sebagai orang luar yang memiliki kepribadian yang pendiam dan suka menyendiri dan cenderung menjadi kutu buku yang membosankan – bertentangan dengan tingkah laku yang berlaku pada umumnya. (Ashlee Vance, ELON MUSK Pria di Balik PyaPal, Tesla, SpaceX, dan Masa Depan yang Fantastis, The New York Times Best Seller, HarperCollins-Penerbit Kaifa PT Mizan Pustaka, September 2017).
Pandangan Musk bahwa ada yang salah mengenai dunia ini pun mendapatkan penguatan yang terus menerus, dan Musk, hampir sejak awal masa mudanya, merencanakan sebuah pelarian dari lingkungan sekitarnya dan mengimpikan sebuah tempat yang mengizinkan kepribadian dan mimpinya untuk berkembang.
Musk melihat Amerika dalam bentuknya yang paling klise, sebagai tempat yang menyediakan kesempatan dan wahana yang paling mungkin untuk mewujudkan impiannya menjadi nyata. Hal inilah yang kemudian menjadikan seorang bocah laki-laki penyendiri yang kikuk dari Afsel yang berbicara dengan ketulusan yang mendalam untuk memgejar “pencerahan kolektif” dan berakhir sebagai industriawan Amerika yang paling berani mengambil risiko.
Ketika Musk akhirnya tiba di Amerika Serikat saat usianya dua puluhan tahun, hal itu menandai kembalinya Musk ke tempat nenek moyang dan para leluhurnya. Pohon keluarganya menunjukkan bahwa leluhurnya yang berdarah Swiss-Jerman dengan nama belakang Haldeman (dari sisi ibu Musk) meninggalkan Eropa menuju New York ketika perang revolusi berlangsung. Dari New York, mereka tersebar ke padang rumput yang luas di Midwest –Illinois dan Minnesota, lebih tepatnya.
“Rupanya kami memiliki orang-orang yang berperang di kedua sisi ketika perang saudara berlangsung, dan kami adalah keluarga petani,” kata Scott Haldeman, paman dari Musk dan sejarahwan keluarga yang tidak resmi.
Bagi Musk, saat-saat perenungan di masa kecilnya merupakan momen-momen yang menakjubkan. Pada saat usia lima tahun, dia telah menemukan suatu cara untuk membatasi diri dengan dunia sekitarnya dan mendedikasikan seluruh konsentrasinya untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Bagian dari kemampuan ini terbendung dari cara kerja pikiran Musk yang sangat visual. Dia dapat melihat suatu gambaran dengan sangat detail dan jelas dengan mata di pikirannya yang mungkin sekarang bisa kita asosiasikan dengan gambar yang dihasilkan oleh seorang insinyur dengan menggunakan perangkat lunak komputer.
“Hal ini sepertinya terjadi karena bagian otak yang biasanya digunakan untuk memproses hal-hal visual –bagian yang digunakan untuk memproses gambar-gambar yang datang dari mata—diambil alih terlebih dahulu oleh bagian yang memproses pemikiran internal,” jelas Musk.
Lanjut Musk, “Aku tidak dapat sering melakukannya saat karena terlalu banyak hal yang meminta perhatianku, namun ketika aku masih kecil, hal itu seringkali terjadi. Sebagian besar bagian dari otak yang digunakan untuk memproses gambar-gambar yang datang digunakan untuk pemikiran internal”.
Komputer membagi pekerjaan terberat mereka di antara dua chip. Chip pertama adalah chip grafik yang menangani pemrosesan gambar yang dihasilkan oleh sebuah siaran pertunjukan televisi atau video game dan chip komputasi yang menangani pekerjaan-pekerjaan yang umum dan operasi matematis. Seiring berjalannya waktu, Musk akhirnya berpikiran bahwa otaknya memiliki fungsi yang hampir sama dengan chip grafik. Hal ini membuatnya mampu melihat benda-benda di dunia, mereplikasinya di dalam pikirannya, dan membayangkan bagaimana mereka akan berubah atau berperilaku ketika berinteraksi dengan objek yang lain.
“Untuk gambar dan angka, aku dapat memproses keterhubungan antara mereka dan hubungan algoritmis,” kata Musk. “Percepatan momentum, energi kinetik –bagaimana hal-hal tersebut akan terpengaruh oleh berbagai objek muncul dengan jelas”.
Bagian yang paling menarik perhatian dari karakter Elon Musk ketika dia masih lelaki muda adalah keharusannya yang besar untuk membaca. Sejak Musk masih kecil, di terlihat selalu memegang buku di tangannya di setiap waktu. “Bukanlah hal yang tidak biasa baginya untuk membaca sepuluh jam per hari. Di akhir pekan, dia dapat membaca sebanyak dua buah buku dalam satu hari,” ungkap Kimbal, adik Elon Musk.
Saat bersama keluarga – Errol Musk (ayah), Maye (ibu), Kimbal (adik), Tosca (adik Musk)—bepergian dalam kesempatan untuk berwisata sambil berbelanja dan di tengah perjalanan mereka tersadar bahwa Elon Musk telah menghilang. Maye atau Kimbal akan mendatangi toko buku terdekat dan menemukan Elon di suatu tempat di ujung toko, duduk di lantai sambil membaca—dalam kondisinya yang seperti kerasukan.
Ketika usia Elon semakin bertambah, dia akan mendatangi toko buku sepulang sekolah pada pukul 2 siang dan bertahan di sana hingga sekitar pukul 6 petang, ketika orangtuanya kembali ke rumah dari pekerjaan mereka. Dia membajak di antara buku-buku fiksi dan kemudian komik-komik dan kemudian judul-judul nonfiksi. “Beberapa kali mereka menendangku keluar dari toko…,” kenang Elon Musk.***
*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id