Oleh Widodo Asmowiyoto*
TAHUN 2023 belum lama berlalu. Namun saya –dan mungkin juga Anda—sudah mendapat laporan catatan tentang rekap perjalanan kita di tahun 2022 lalu. Istilah resminya rekap linimasa dari Google Maps Timeline.
Catatan dari Google itu antara lain begini, “Anda menerima email ini karena telah mengaktifkan Historasi Lokasi, yaitu setelan tingkat Akun Google yang menyimpan tempat yang Anda kunjungi di Linimasa pribadi Anda”.
Pendek kata, selama 2022 lalu saya tercatat melakukan perjalanan 37 persen mengelilingi dunia. Wah, hebat benar catatan Google ini. Rinciannya, saya tercatat melakukan total perjalanan 14.830 km, 640 km di antaranya rendah emisi. Rendah emisi ini maksudnya termasuk berjalan kaki, bersepeda, transportasi umum, dan opsi rendah emisi lainnya.
Rincian angka 14.830 km tersebut terdiri atas perjalanan dengan mobil atau mengemudi 6.183 km (290 jam), bersepeda motor 85 km (11 jam), belanja 31 jam (44 tempat), mengunjungi tempat makan & minuman 51 jam (46 tempat). Sisanya berarti perjalanan ditempuh menggunakan pesawat terbang.
Tempat-tempat yang tercatat saya kunjungi tahun 2022 lalu terdiri atas 1 negara/wilayah, 30 kota (9 di antaranya baru), dan 210 tempat (160 di antaranya baru). Kota di luar Jawa yang saya kunjungi adalah Manado dan Kendari, keduanya di Pulau Sulawesi.
Adapun kota/kabupaten tingkat II yang tercatat baru saya kunjungi adalah Kendari, Wonogiri, Gresik. Adapun obyek wisata yang baru saya datangi adalah Curug Cipanas (Lembang-Kabupaten Bandung Barat), The Lawu Park (Tawangmangu, Jawa Tengah), Pantai Baru (Bantul, Yogyakarta), dan Alun-Alun Gresik.
Istilah tempat yang baru saya kunjungi versi Google itu adalah untuk tahun 2022. Sebab, pada tahun-tahun sebelumnya saya pernah beberapa kali ke Kota Manado. Selain itu, sewaktu masih tinggal di Kota Solo saya sering ke Kabupaten Wonogiri, Kecamatan Tawangmangu-Kabupaten Karanganyar, dan juga sudah beberapa kali ke Kabupaten Gresik untuk silaturahmi dengan keluarga di sana.
Sejak saya mengaktifkan Histori Lokasi di Google Maps itu beberapa tahun lalu, tercatat saya telah mengunjungi 2 negara/wilayah, 80 kota, dan 778 tempat. Kalau saja teknologi digital/telepon pintar (smartphone) ini sudah ada sejak saya muda dan aktif sebagai wartawan, entah sudah berapa ratus ribu kilometer saya tempuh baik melalui perjalanan darat, laut, maupun udara. Sebab saya sudah melawat ke belasan negara dan puluhan kota di dunia. Juga mengunjungi hampir semua ibu kota provinsi di Indonesia ini.
Mencari makna di balik rekam digital
Seiring dengan perkembangan umur (kini sudah lansia), saya menangkap banyak makna di balik penerapan era digital itu. Apalagi kini di mana-mana terpasang CCTV (Closed Circuit Television), “Televisi Sirkuit Terutup” atau alat perekam/pengawas modern.
Kini yang mulai marak dipasang adalah ETLE (Electronik Traffic Law Enforcement) atau Tilang Elektronik. Alat perekam ini sangat membantu petugas kepolisian mengikuti perilaku para pengemudi kendaraan bermotor di jalanan. Polri telah menerapkan ETLE ini sejak 23 Maret 2021 lalu dan kini semakin banyak dipasang di jalanan banyak kota di Tanah Air.
CCTV telah banyak membantu aparat berwenang dalam membongkar kasus-kasus tindak kejahatan. Dengan keberadaan CCTV, kasus-kasus kejahatan yang sebenarnya sulit dibongkar kemudian menjadi relatif mudah diungkap. Para pelakunya pun kesulitan untuk berkelit, mengelak, atau beralibi.
Demikian pula dengan pemasangan ETLE, sangat memudahkan petugas kepolisian khususnya polisi lalu lintas untuk mengungkap pengemudi kendaraan bermotor yang melakukan pelanggaran. Dengan demikian oknum pelanggar pun tidak mudah berkelit dan harus siap menerima sanksi.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kehadiran alat perekam teknologi modern ini, baik rekap linimasa, CCTV, maupun ETLE? Setidaknya berikut ini tafsiran subyektif saya dan semoga ada benarnya.
Pertama, bagi pemeluk agama Islam, sudah sejak Nabi Muhammad Saw diajarkan bahwa Allah Swt menugaskan dua malaikat (Raqib dan Atid) untuk mencatat amal baik dan amal buruk setiap manusia. Hal ini menyangkut keimanan atau ketauhidan. Catatan amal itu yang kelak diperlihatkan kepada pelakunya di Hari Kiamat. Dengan demikian umat Islam, terutama yang keimanannya sangat kuat, sangat meyakini kebenaran ajaran itu sehingga harus menjalani kehidupan di dunia ini dengan hati-hati. Esensi ajaran takwa dalam Islam adalah harus bersikap hati-hati.
Kedua, dalam Islam pula terdapat pelajaran bahwa sangat sedikit ilmu yang Allah berikan kepada umat manusia. Ibarat kita mencelupkan telunjuk jari ke air lautan, maka air yang menempel di jari tangan kita itulah ilmu yang manusia peroleh. Sedangkan volume air laut selebihnya adalah ibarat ilmu Allah Yang Mahacerdas. Hal ini mengandung pesan bahwa manusia jangan suka menyombongkan diri. Tetapi di lain pihak, Islam sangat menjunjung tinggi ilmu demi kemajuan hidup manusia.
Ketiga, dengan “sedikit ilmu” tersebut kenyataannya manusia sudah dapat menemukan dan menguasai beragam ilmu. Termasuk yang mutakhir adalah penemuan teknologi digital sehingga manusia pun mampu membuat alat perekam perjalanan atau perilaku manusia seperti Google Maps, CCTV, maupun ETLE.
Keempat, dengan temuan teknologi “perekam jejak digital manusia” tersebut, telah memudahkan manusia itu sendiri –dalam hal ini penegak hukum dan keadilan– untuk menelusuri bukti telah terjadinya tindak kejahatan sehingga pelaku kejahatan tidak mampu berkelit lagi.
Kelima, dewasa ini dengan semakin banyaknya CCTV dan ETLE yang dipasang oleh pihak berwenang, idealnya telah menambah kehati-hatian manusia atau masyarakat untuk saling berinteraksi positif. Bukan interaksi negatif yang bahkan seringkali berakhir dengan kekerasan atau hilangnya nyawa manusia.
Keenam, fenomena dewasa ini bertolak belakang dengan poin lima tersebut. Yakni semakin banyak manusia melakukan tindak kriminal terutama pembunuhan termasuk kepada kerabat dekat sendiri, bahkan ibu atau ayah kandungnya. Dalam kacamata ajaran Islam, hal itu merupakan tanda-tanda zaman bahwa era sekarang kini sudah semakin mendekati akhir zaman atau kiamat. Tetapi kapan terjadinya hari kiamat hanya Allah yang tahu.
Ketujuh, kalau dihitung dengan jumlah jam misalnya, sebetulnya sejak dulu hingga kini sama saja yakni sehari semalam terdiri atas 24 jam atau seminggu terdiri atas 7 hari. Namun seperti yang kita alami saat ini, perjalanan waktu terasa begitu cepat. Manusia sering mengatakan seperti menyesali diri, “ah sudah azan lagi, ah sudah hari Jumat lagi, ah sudah datang lagi bulan Ramadan…” Ucapan seperti itu mengesankan kurang ikhlasnya manusia ketika dihampiri momentum kebaikan.
Kedelapan, perjalanan waktu yang terasa sangat cepat itu juga merupakan tanda semakin dekatya hari kiamat. Jika direnungi dengan pendekatan keimanan dan ketakwaan, sebaiknya waktu yang berlangsung sangat cepat dan singkat –termasuk umur manusia– itu, diisi dengan beragam kegiatan yang mengandung kebaikan atau amal saleh.
Kesembilan, dalam konteks masih banyaknya orang miskin di negeri tercinta Indonesia ini, sebaiknya orang-orang kaya apalagi “superkaya” segera menyisihkan hartanya untuk mereka. Bukan sebaliknya menumpuk-numpuk kekayaan dengan cara-cara yang tidak wajar atau melanggar peraturan. Apalagi menempuh cara-cara kolusi dengan pihak berwenang sehingga peraturan yang dibuat sangat menguntungkan diri, perusahaan, dan kelompoknya.***
*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id