Menu

Mode Gelap

Apa Siapa · 2 Agu 2023 07:41 WIB ·

T Subarsyah Sumadikara: Warisan Ilmu

 T Subarsyah Sumadikara. (Foto: Ist).* Perbesar

T Subarsyah Sumadikara. (Foto: Ist).*

ADA inspirasi tersendiri di pengujung Prof Dr T Subarsyah Sumadikara, SH, S.Sos, Sp-1, MM  (63) menyampaikan orasi ilmiah pada pengukuhan dirinya sebagai guru besar ilmu hukum pidana Universitas Pasundan, belum lama ini. Tak pelak hadirin pun semat tercekat dalam keharuan tatkala mendengarnya.

Rasa bakti pada kedua orang tua yang sudah tiada serta kecintaannya pada “basa indung” Bahasa Sunda mendorongnya menyampaikan beberapa baik sajak dalam bahasa ibunya tersebut dalam epilog orasi bertajuk “Reposisi Orientasi Penegakan Hukum di Indonesia” (Hukum Akomodatif Sebagai Tawaran Pendekatan Penegakan Hukum Bhinneka Tunggal Ika).

Nyangkaruk keneh dawuhna, Cenah elmu mo beurat mamawa. Beda jeung dunya barana. Elmu mah bisa mawa indung-bapa ka sorga. Kitu pisan saestuna saenyana, Pidawuhna meneran henteu nyalahan.

 Hanjakal gusti kieu nyatana kieu ayana, Indung bapa teu kungsi nyaksian heula. Kiwari tingtrim tos mulang deui ka gusti. Aduh gusti nu suci nu maha Agung, Pangjajapkeun panganteurkeun, Kaindung bapa sanggakeun sapuratina. Aranjeuna nu ngalarapkeun pidawuh gusti. Ka abdi para putra rundayanana.

Dalam bahasa Indonesia, Subarsyah hendak menyampaikan betapa kedua orangtuanya (Almh. Hj. Atjih S Salya Sumadikara dan Alm. Kol.Purn. H. Barkah Supriatna Satjapati) telah menanamkan benih-benih kecintaan pada ilmu sejak lama. Keduanya memberi petuah betapa ilmu jauh lebih berguna alih-alih sekadar harta benda. Kini, ibunda dan ayahanda telah tiada hingga tak bisa menyaksikan sang putra meniti puncak tertinggi gelar kependidikan.

“Hanya doa yang kini bisa dipanjatkan kepada kedua orang tua agar mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Semua nasihat dan petitih ayah dan bunda semoga menjadi amal jariah yang mengalir kepada keduanya. Warisan ilmu dari kedua beliau jauh lebih mulia dan berharga daripada warisan harta. Ini yang selalu saya camkan dan kemudian disampaikan kepada generasi yang lebih muda,” ungkap pria ramah kelahiran Sumedang 8 Mei 1960 ini.

Wakil Direktur III Pascasarjana Unpas ini menegaskan tema orasi yang ditulisnya bermula dari kegelisahan dirinya. “Pertama, menegakan dan membentuk  Hukum positif Indonesia saat ini ibarat menegakkan benang basah, dianggap tidak merepresentasikan kebhinekaan nilai hukum yang hidup, tumbuh dan dianut masyarakat,” ungkap Mantan Warek Unpas dua periode ini.

Kedua, hukum sebagai instrumen kehidupan masyarakat, diperlukan untuk mewujudkan tatanan harmonis secara akomodatif; tanpa  hukum akomodatif. Tidak akan ada persatuan dan kesatuan masyarakat dalam ikatan hukum.

“Pembentukan dan penegakan hukum dipandang terlalu condong pada banyaknya kepentingan di luar kepentingan hukum dan belum nyata memperjuangkan nilai hukum kebhinekaan yang mengalir dari Pancasila sebagai sumber hukum,” ujarnya menguraikan.

Prof. Subarsyah menambahkan, jika masyarakat ingin berbuat untuk bangsa dan negara ke depan, maka hukum yang ada di masyarakat mesti diangkat, dimodifikasi, dan diakomodasi menjadi hukum positif.

Prof. Subarsyah merupakan alumnus Unpas. Ia menuntaskan studi S1 di Prodi Ilmu Hukum Unpas tahun 1986, lalu melanjutkan Program Pendidikan Spesialis Notariat di Universitas Padjadjaran. Ia juga mengambil studi magister di Universitas Winaya Mukti dan memperoleh gelar doktornya tahun 2009 di Universitas Islam Bandung pada konsentrasi Hukum Pidana.

Beberapa buku yang pernah ditulisnya antara lain Pengantar Filsafat Ilmu, Kejahatan Politik (Kajian dalam Perspektif Kejahatan Sempurna), dan Politik Hukum Tata Kelola Kepelabuhan Nasional. Subarsyah juga dikenal produktif sebagai penulis di berbagai media massa, termasuk Harian Umum Pikiran Rakyat. (EK/TB)***

Artikel ini telah dibaca 113 kali

badge-check

Redaksi