Oleh Wina Armada Sukardi*
DALAM pemilihan presiden (pilpres) 2024 nanti, siapa pilihan Anda? Memang bebas dan rahasia. Tapi yakinkah Anda, jika Anda memang memilih salah satu dari tiga pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) yang tersedia, Anda benar-benar memilih mereka?
Secara harfiah kita memang betul memilih salah satu pasangan capres dari tiga pasangan yang tersedia itu. Tetapi secara “hakiki, ”sebenarnya, Anda tidak hanya memilih mereka. Kok bisa?
Jika pilihan Anda pasangan No 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, hakekatnya Anda tak (hanya) memilih mereka. Lho kenapa? Kalau Anda memilih pasangan Anies dan Muhamin, Anda hakekatnya memilih (juga) Surya Paloh. Mengapa? Lantaran Surya Palohlah aktor intelektual di belakang pasangan Anies-Muhaimin.
Begitu pula, seandainya Anda memilih pasangan No 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabumi Raka, hakekatnya Anda tak sekedar memilih mereka, melainkan terutama (pula) memilih Joko Widodo atau Jokowi. Kenapa? Hal ini lantaran di belakang pasangan Prabowo-Gibran ada juga aktor utamanya yang tak lain Jokowi.
Sama halnya jika Anda memilih pasangan No 3, Gandjar Pranowo dan Mahfud MD, Anda sudah pasti tak melulu memilih Gandjar dan Mahfud, tetapi yang utama kita memilih (juga) Megawati sebagai pengatur laku di belakangnya.
Dengan kata lain, dalam Pilres kiwari, kendati secara fisk kita memilih tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang nama dan fotonya terpapang resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), sejatinya kita memilih dan menentukan orang-orang di belakang para calon resmi itu. Meminjam istilah anggota DPR dari Fraksi PDIP, Bambang Pacul, tak kala menyinggung RUU Perampasan Aset yang sudah diajukan pemerintah, namun tak kunjung dibahas di DPR, kata Bambang Pacul, karena anggota DPR cumalah “korea-korea” saja. Maksudnya, cuma para anak buah. Para wayang saja. Sedangkan pengendalinya, dalangnya, adalah para ketua umum partai.
Faktanya, negeri ini memang “dikendalikan” oleh hanya 11 ketua partai saja. Lebih spesifik lagi, oleh beberapa partai yang besar. Presiden terpilih calonnya harus disodorkan partai yang mempunyai minimal 20% suara pemilih. Ketua KPK, OJK, BPK, Dewan Pengawas TVRI dan sebagainya semuanya dipilih oleh anggota DPR melalui fraksi sesuai pembidangan masing-masing. Sedangkan fraksi tak lain adalah kepanjangan tangan partai. Adapun kebijakan partai ditentukan oleh ketua umum partai.
Hal serupa terjadi pada pasangan calon presiden dan wakil presiden. Di belakang pencalonan mereka, ada pengendali yang tak kalah pentingnya.
Sistem Politik
Sistem politik ketatanegaraan Indonesia memang demikian. Hampir di semua aspek politik, partai politiklah yang menentukan. Siapa yang bakal menjabat ketua MPR, ketua DPR, Ketua KPK, Gubernur BI dan sebagainya,ditentukan oleh ketua partai. Tak terkecuali pasangan calon presiden dan wakil presiden. Para petinggi partailah yang paling menentukan siapa yang berhak dicalonkan menjadi pasangan presiden dan wakil presiden dalam Pilpres, termasuk untuk tahun depan.
Dalam sistem seperti ini, Anies pasti tunduk dan menurut sepenuhnya kepada Surya Paloh. Prabowo juga “manut dan patuh” kepada Jokowi, termasuk pilihan duetnya dengan Gibran. Demikian pula Gadjar sudah jelas hormat dan tunduk “tegak lurus” kepada Megawati.
Ketiga pasangan capres dan cawapres yang ada sekarang tiada lain tidak bukan adalah kepanjangan tangan dari aktor-aktor berpengaruh di belakangnya. Maka otomatis jika mereka terpilih pastilah para “dalang” di belakangnya akan memberikan warna yang sangat berpengaruh dalam pemerintah yang kelak menang.
Dalam sistem politik Indonesia calon presiden dan wakilnya, harus dicalonkan oleh dan melalui partai politik. Sehebat dan sepopuler apapun seorang pemimpin tak akan menjadi calon presiden jika tidak dicalonkan oleh partai. Maka peranan partai yang mencalonkan diri sang calon presiden dan pasangan samgat besar, baik sebelum, pada saat maupun setelah pemilihan.
Politik Sangat Cair
Sistem politik ketatanegaraan Indonesia sangat dinamis dan cair. Tidak adanya sistem formal “oposisi” dalam ketatanegaraan Indonesia menyebabkan perpolitikan di Indonesia menjadi contoh paling baik yang menegaskan, tidak ada partai yang selalu berkawan atau selalu bermusuhan. Hari ini sebuah partai dengan partai lainnya menempati posisi bersilangan yang tajam. Namun dalam sekejap dapat saja berubah justeru menjadi teman koalisi yang kental. Dulu Jokowi dan Prabowo menjadi seteru, kini menjadi sekutu yang sangat karib. Dulu Megawati dan Jokowi “teman satu rumah” yang paling intim, kini keduanya menjadi lawan yang paling seru.
Sistem politik ketatanegara di Indonesia jelas mencerminkan “doktrin” politik: tak ada teman atau musuh yany abadi, yang ada adalah kepentingan yanga abadi. Hari ini atau lusa menjadi teman utama, tapi bulan depan atau enam bukan atau setahun kemudian lantas dapat menjadi musuh berat.
Kata banyak orang, sistem politik ketatanegaraan di Indonesia bagaikan telenovella, atau drama Korea alias drakor. Kita tidak perlu khawatir kehilangan jiwa cerita. Kapan saja kita menonton atau berhenti menonton, dapat tetap mengikutinya. Menikmatinya dengan segala dramanya. Ceritanya berputar-putar disitu saja, dan akhirnya pun mudah ditebak.
Mosaik ini menyebabkan para pendukung yang membela calon presiden dan wakil presiden habis-habisan, setelah pemilihan presiden masih tetap berkelahi sampai ke hati. Mungkin sampai luka hatinya. Sampai dendam. Sampai pada beberapa bagian ada penyimpangan kejiwaan. Padahal calon yang didukung malah sudah bisa sudah duduk satu meja dengan lawan sambil bersama makan yang lezat.
Disinilah, setelah Pilpres usai. Setelah pesta demokrasi berlalu. Setelah jagoan pasangan kita menang atau kalah, loyalitas kita harusnya hanya ditujukan kepada negara. Loyalitas kita kepada bangsa. Tidak lagi secara sempit kepada pasangan yang kita dukung dan pilih. Siapapa pun pasangan calon presiden dan wakil presiden yang kita pilih dan dukung, hanya sarana perantara dalam bakti dan sumbangsih kita kepada negara dan bangsa Indonesia.
Dengan memilih dan mendukung salah satu pasangan calon pasangan presiden dan wakil presiden, sekaligus melakukan pengawasan terhadap kejujuran dan keterbukaan pelaksanaan Pilpres, kita sudah membantu berjalannya proses mekanisme demokrasi.
Hasil selebihnya kita harus siap menang dan siap kalah. Sewajarnya apapun hasilnya kelak, selama penyenggaraannya jujur, adil dan demokratis, perlu kita terima dengan lapang. Tak perlu ada rasa dendam kesumat di hati kita.
Bukan Memilih Malaikat
Dalam pemilihan politik, acap kali kita memang memilih primus inter pares: memilih yang terbaik di antara yang baik. Tetapi itu kondisi ideal yang hampir jarang terjadi lagi di dunia. Kini kita sering dihadapakan kepada kenyataan, kita harus memilih di antara calon yang banyak kekurangan. Dengan kata lain, kita memilih yang paling sedikit kekurangan untuk mengendalikan Indonesia lima tahun ke depan.
Tegasnya, kita harus menyadari kita bukanlah memilih malaikat yang bersih suci tanpa kekurangan. Kita tidak memilih malaikat yang tidak punya nafsu apapun juga. Kita memilih manusia dengan segala sifatnya.
Demikian pula dalam pilihan pilres Indoensia kali ini. Kita tidak memilih malaikat yang suci tanpa kelemahan. Memilih yang tidak punya nafsu berkuasa, apalagi memilih yang tidak punya kemungkinan menyeleweng. Kita mendukung presiden dan wakil preaiden manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Kita haruslah menerima kelebihan dari pasangan presiden dan wakil presiden yang kita dukung. Sama halnya kita harus pula menerima kekurangan yang mereka miliki. Kita memilih dan mendukung calon presiden dan wakil presiden lengkap dengan kelebihan dan kekurangan mereka masing-masing.
Dengan menyadari hal ini, kita bakal terhindar dari histeria yang berlebihan. Jika calon kita menang, kita pastilah menerima dengan suka cita. Plong rasanya. Tapi kita tidak bakalan menyambutnya dengan berlebihan. Andai kelak dalam memerintah ada kekurangan dari calon yang kini pilih, kita tak perlu sakit hati. Apalagi sampai sakit jiwa. Kita harus menyadari hal tersebut bukanlah sesuatu yang istimewa, yang luar biasa, melainkan sesuatu yang wajar saja. Biasa saja.
Jadi tak ada kegoncangan jiwa pada kita. Adapun yang kita perlukan tetap waspada. Tetap kritis. Terus mengawasi dan menunjuk hal-hal yang tidak benar.
Begitu juga andai jagoan kita kalah, kita harus menangggapinya dengan legowo. Lapang dada. Kekalahan pasangan yang kita dukung bukan berarti kiamat. Bukan berarti tak ada jalan lagi buat kita mengabdi kepada negara dan bangsa. Tak perlu sakit hati kepada yang menang. Apalagi sampai benci dan dendam.
Kita perlu menanamkan kepada diri kita perspektif, pemilihan presiden adalah sesuatu yang rutin terjadi. Suatu bagian dari mekanisme peralihan atau mempertahakan kekuasaan. Para calon adalah mereka yang memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Pilres bukanlah perang antara anak bangsa. Perang yang dilakukan dengan kebencian yang mendalam. Perang yang dapat menghancur luluhkan negara dan bangsa. Pilpres bukanlah dimaksudkan seperti itu.
Siapapun yang Anda dukung dan pilih pada pilpres kali ini, adalah upaya kita memberikan yang terbaik kepada negara dan bangsa Indonesia. Sebuah kecintaan kepada bangsa dan negara Indonesia. Menang atau kalah, selebihnya kita masih bersaudara yang tetap harus saling menghormati. Saling menghargai. Saudara yang sadar perlunya negara kesatuan Republik Indonesia tetap dirawat bersama-sama.***
*Penulis, Wartawan Senior