TUGUBANDUNG.ID – Perempuan dan anak selalu menjadi korban paling dirugikan dalam setiap peristiwa konflik. Termasuk dalam konflik berkepanjangan di Papua, khususnya di Kabupaten Nduga. Diperlukan langkah solusi yang menyentuh akar masalah untuk menyelesaikannya.
Hal itu disampaikan Peneliti Hukum dan HAM LP3ES yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Milda Istiqomah, Phd pada Webinar “Perempuan dan Anak di Wilayah Konflik”, Selasa 8 Maret 2022. Kegiatan memperingati Hari Perempuan Internasional ini diselenggarakan Pusat Kajian dan Pengembangan Peranan Wanita, Gender, dan Perlindungan Anak (PKP2WGPA) LPPM Universitas Pendidikan Indonesia. Webinar dibuka Ketua LPPM UPI Prof Dadang Sunendar, M.Hum dan Kepala PKP2WGPA Vina Adriany, PhD. Narasumber lainnya adalah Dosen FPIPS UPI Dr Siti Nurbayani K, SPd, MSi yang memaparkan risetnya tentang konflik antaretnis 1999 di Kalimantan Barat.
Mengutip hasil riset LIPI (sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN), Milda mengungkapkan konflik bernuansa kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, terdapat beberapa akar konflik yang belum diselesaikan. Akar masalahnya adalah sejarah integrasi yang belum selesai, kekerasan politik dan HAM kerap terjadi (tidak hanya melibatkan KKB tapi juga TNI/Polri), kegagalan pembangunan bahkan sampai saat ini, marganilasasi orang Papua, serta inkonsistensi otonomi khusus.
“Pembicaraan tentang akar konflik ini penting karena bagaimana mau bicara tentang pemberdayaan anak dan perempuan jika sumber masalahnya tidak diselesaikan. Tanpa menyelesaikan akar masalah maka pemenuhan hak-hak primer kelompok perempuan dan anak ini juga terhambat,” ungkap Milda yang juga melakukan riset terhadapan kelompok perempuan yang menjadi korban dari kasus terorisme.
Milda Istiqomah juga menjelaskan beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah justru mengekskalasi konflik. Hal ini semakin memperpanjang derita kaum perempuan dan anak yang harus mengungsi. “Hal-hal mendasar seperti minimnya akses kesehatan, hilangnya kenyamanan dan keamanan, kemudian kehilangan hak bermain dan belajar, gizi yang tidak memadai semakin jauh dari pemenuhannya,” katanya menegaskan.
Milda mempertanyakan bagaimana melibatkan perempuan dalam proses penyelesaian konflik serta menjadikan perempuan sebagai agen perubahan dan agen penjaga perdamaian, jika pemenuhan hak dasarnya tidak dilakukan. Ia berharap pemerintah tak hanya menyodorkan penyelesaian politis tanpa menyentuh aspek kemanusiaan.
Di sisi lain, dalam paparannya, Siti Nurbayani menyinggung tentang trafficking yang juga menjadi bagian dari kekerasan terhadap perempuan. Perdagangan manusia merupakan perbuatan melanggar hak asasi manusia. Hal tersebut dikarenakan dapat membuat diri seseorang baik secara psikologis maupun fisik tertahan dalam sekap yang membuat ruang gerak manusia menjadi terbatas.
“Faktanya, dalam setiap kasus trafficking, perempuan dan anak adalah korban senyatanya. Maka, sejak di lingkungan pendidikan paling dasar, isu keseteraan gender dan perlindungan perempuan harus menjadi muatan utama. Alhamdulillah, Universitas Pendidikan Indonesia sudah memiliki pusat kajian khusus untuk isu perempuan dan anak ini. Hal ini menjadi bukti nyata kepedulian universitas pada isu yang belakangan justru semakin meningkat kasusnya,” ucap Siti Nurbayani.
Sementara itu, Dadang Sunendar mengatakan peringatan Hari Perempuan Internasional menjadi momentum penyebaran informasi kesetaraan gender. “Webinar semacam ini menjadi penting sebagai sarana edukasi. Peringatan Hari Perempuan Internasional menjdi momentum pengingat semua kalangan tentang masih tingginya kasus kekerasan yang kemudian berdampak sangat buruk bagi kelompok rentan, seperti perempuan dan anak,” katanya menegaskan.***