TUGUBANDUNG.ID – Tanggal 8 Maret adalah Hari Perempuan Internasional. Pada tahun ini, Perempuan Perserikatan Bangsa Bangsa (UN Women) mengusung tema “Kesetaraan gender hari ini untuk masa depan yang berkelanjutan”. Mereka juga menyerukan aksi iklim untuk perempuan, oleh perempuan.
Dengan data terbaru,lembaga tersebut menegaskan semain memahami hubungan penting antara gender, kesetaraan sosial, dan perubahan iklim. Organisasi tersebut juga menyadari bahwa tanpa kesetaraan gender saat ini, masa depan berkelanjutan dan setara tetap tidak terjangkau.
Perempuan dan anak perempuan mengalami dampak terbesar dari krisis iklim. Di seluruh dunia, perempuan lebih bergantung pada — tapi memiliki lebih sedikit akses ke — sumber daya alam. Kelompok rentan ini sering memikul tanggung jawab yang tidak proporsional untuk mengamankan makanan, air, dan bahan bakar.
Karena perempuan dan anak perempuan menanggung beban dampak iklim, mereka juga penting untuk memimpin dan mendorong perubahan dalam adaptasi, mitigasi, dan solusi iklim. Tanpa keterlibatan setengah dari populasi dunia, kecil kemungkinan solusi untuk planet yang berkelanjutan dan dunia yang setara gender di masa depan akan terwujud.
Dalam sebuah diskusi virtual yang diselenggarakan Pusat Kajian dan Pengembangan Peranan Wanita, Gender, dan Perlindungan Anak (PKP2WGPA) LPPM Universitas Pendidikan Indonesia beberapa waktu lalu, Desy Pirmasari, PhD (Research Fellow, University of Leeds) menegaskan, contoh termudah, ketika sumber daya alam semakin langka akibat perubahan iklim, perempuan kerap menempuh jarak yang lebih jauh dari biasanya untuk menjangkau makanan dan minuman, yang kemudian dapat membuka peluang resiko terpaparnya perempuan pada resiko kekerasan berbasis gender seperti pelecehan seksual, pelecehan fisik, dan lainnya.
“Selama cuaca ekstrem seperti kekeringan dan banjir, perempuan cenderung bekerja lebih banyak untuk mengamankan mata pencaharian rumah tangga. Konsekuensinya, hal ini akan menyisakan lebih sedikit waktu bagi perempuan untuk mengakses pelatihan dan pendidikan, mengembangkan keterampilan, atau mendapatkan penghasilan,” katanya menegaskan.
Desy menambahkan, kondisi ini juga terkait dengan urbanisasi. Potensi urbanisasi dari desa ke kota akan semakin meningkat di masa mendatang. Oleh karena isu perubahan iklim, lingkungan hidup, urbanisasi, akan sangat terkait dengan isu tentang kesetaraan gender. “Inilah isu yang harus selalu kita bahas dan dicarikan solusi implementatifnya,” ucapnya.
Dr (Phil) Dewi Candraningrum dari Komunitas Jejer Wadon mengungkapkan urgensi ekofeminisme. Istilah ini mengacu padaa gerakan yang melihat hubungan antara eksploitasi serta degradasi lingkungan hidup dan subordinasi dan opresi terhadap perempuan.
“Di tengah krisis lingkungan hidup dan meningkatnya konflik sumber daya alam di negara ini, peran ekofeminisme jadi lebih penting. Perempuan adalah yang paling terdampak dalam konflik lingkungan hidup. Posisi perempuan semakin rentan dalam lingkungan dan kehidupan sosial,” ungkap Dewi Candraningrum.
Ia menegaskan ekofeminisme memandang bahwa perempuan dan alam memiliki keterkaitan yang erat, karena keduanya dalam sistem patriarkal diposisikan sebagai objek yang pantas dan layak untuk didominasi dan dieksploitasi. “Ekofeminisme menegaskan bahwa bukan hanya tugas perempuan dalam aksi penyelamatan alam dari kerusakan, akan tetapi, menjaga kelestarian alam sudah semestinya menjadi tanggung jawab manusia,” katanya menegaskan.
Dewi menambahkan harus semakin dikuatkan gagasan bahwa perempuan dan laki-laki tidak harus disamakan, tetapi kualitas hidup keduanya harus sama. Kesamaan kualitas ini kemudian harus mengubah dunia menjadi lebih baik tanpa menyebabkan kerusakan. “Para aktivis ekofeminisme kemudian mulai mengkritik budaya patriarki dan kapitalisme. Selain itu, mereka juga mengkritik tentang budaya produksi dan reproduksi dalam kaitannya dengan bahaya dari perkembangan teknologi industri dan keamanan perempuan,” ujarnya.***