 OLEH RIANY LAILA NURWULAN
OLEH RIANY LAILA NURWULAN
Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Unpas
AKADEMISI di bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial yang menaruh perhatian pada pendekatan Green Social Work menyambut baik langkah-langkah serius yang kini ditempuh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam menata kembali kawasan-kawasan yang mengalami tekanan ekologis.
Banyak masalah lingkungan yang harus ditangani secara bersamaan. Isu sampah, kerusakan bantaran sungai, banjir yang kerap terjadi, serta penambangan ilegal yang merusak hutan menjadi sorotan besar. Gubernur Dedi Mulyadi, melalui kebijakan dan langkah-langkah tegasnya, telah memfokuskan upaya pemulihan ini dengan menyoroti kawasan-kawasan yang kerap menjadi tempat penumpukan sampah, serta wilayah rawan banjir akibat kerusakan lingkungan dan penyempitan ruang terbuka hijau. Sementara itu, penambangan ilegal di sejumlah daerah di Jawa Barat, termasuk yang berada di dekat kawasan konservasi, semakin memperburuk kondisi alam dan mengancam kehidupan masyarakat setempat.
Salah satu kebijakan yang cukup menyita perhatian publik adalah penertiban tempat wisata ilegal di kawasan Puncak, Bogor. Meski tidak selalu populer, kebijakan ini merupakan bagian penting dari upaya pemulihan ruang hidup yang telah lama mengalami degradasi.
Kawasan Puncak, yang merupakan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan menyuplai air bagi jutaan warga Jakarta dan sekitarnya, sudah sejak lama menjadi kawasan yang tertekan. Alih fungsi lahan yang tidak terkontrol, pembangunan akomodasi wisata, serta lemahnya pengawasan tata ruang memberikan dampak buruk yang tidak hanya mengarah pada bencana ekologis seperti longsor dan banjir, tetapi juga pada menurunnya kualitas hidup masyarakat lokal. Ironisnya, banyak warga yang justru menggantungkan hidup pada aktivitas-aktivitas yang dianggap merusak lingkungan, bukan karena pilihan, melainkan keterpaksaan.
Dalam setiap kebijakan lingkungan seperti ini, penting untuk melihat bahwa alam dan manusia adalah dua entitas yang tak bisa dipisahkan. Di balik penertiban tersebut, ada ribuan masyarakat yang kehidupannya menggantung pada sektor informal wisata. Ketika penataan dilakukan secara sepihak atau teknokratis, kelompok rentan berpotensi menjadi korban baru dari pembangunan yang ironisnya bertujuan untuk memperbaiki ketimpangan lingkungan.
Peran Pekerja Sosial
Dalam konteks ini, penting untuk melihat bahwa masalah lingkungan bukan hanya persoalan ekologis, tetapi juga persoalan kesejahteraan sosial. Pekerja sosial memiliki berbagai peran penting dalam masyarakat, termasuk sebagai konselor, motivator, mediator, pelindung, edukator, dan fasilitator. Mereka membantu individu, keluarga, kelompok, dan komunitas dalam menghadapi berbagai masalah sosial, termasuk ketika masalah tersebut bersumber dari atau berdampak pada kerusakan lingkungan.
Lebih dari itu, pekerja sosial juga berperan sebagai advokat, aktivis, dan agen perubahan. Dalam situasi penataan kawasan, seperti pembongkaran wisata ilegal di Puncak, pekerja sosial dapat menjembatani komunikasi antara pemerintah dan masyarakat lokal, memastikan bahwa proses berlangsung secara adil, tidak represif, dan memberikan solusi alternatif bagi penghidupan warga.
Inilah yang menjadi inti pendekatan Green Social Work: memadukan kesadaran ekologis dengan kepekaan terhadap isu-isu keadilan sosial. Dalam pandangan ini, pekerja sosial tidak hanya bertugas mengurusi kemiskinan atau masalah keluarga secara mikro, melainkan juga harus peka terhadap persoalan lingkungan yang memperparah kerentanan sosial.
Green Social Work adalah pendekatan pekerjaan sosial yang menempatkan isu-isu ekologi sebagai bagian integral dari kesejahteraan sosial. Pendekatan ini menuntut pekerja sosial untuk tidak hanya fokus pada hubungan antarindividu, tetapi juga relasi manusia dengan lingkungan hidupnya. Pekerja sosial harus mampu membaca konteks sosial-ekologis secara utuh, dan membantu masyarakat dalam beradaptasi maupun bertransformasi menuju pola hidup dan struktur ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Peran PT
Perguruan tinggi memiliki peran sentral dalam mendorong integrasi antara teori dan praktik keberlanjutan. Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial UNPAS, telah memasukkan mata kuliah “Pekerjaan Sosial dengan Lingkungan” sebagai bagian dari upaya menjembatani dua dunia ini. Tantangannya adalah memastikan bahwa mahasiswa tidak hanya menguasai konsep, tapi juga memahami konteks lokal dan mampu bekerja lintas isu—dari kemiskinan hingga krisis iklim.
Kegiatan pengabdian masyarakat, riset kolaboratif, dan praktik lapangan bersama komunitas adalah bagian dari strategi itu. Dalam beberapa kegiatan, kami mendampingi desa wisata yang mencoba bangkit dari tekanan pembangunan masif. Mahasiswa belajar langsung bagaimana isu konservasi, partisipasi warga, dan keadilan sosial bertaut secara nyata. Ini dapat membentuk karakter pekerja sosial masa depan yang lebih inklusif dan adaptif.
Kontribusi Dunia Usaha
Tak hanya negara dan masyarakat, dunia usaha juga memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan tatanan lingkungan yang berkelanjutan. Di Jawa Barat, tak sedikit perusahaan yang beroperasi di dekat kawasan konservasi, sungai, dan ruang hijau strategis. Mereka memiliki kapasitas finansial dan teknologi yang jika dimanfaatkan dengan tepat, dapat mendorong percepatan pemulihan lingkungan, melalu program Corporate Social Responsibility (CSR). Dimana program CSR merupakan kewajiban bagi dunia usaha, yang disamping bertujuan untuk mencari keuntungan (profit) juga harus memperhatikan pelestarian lingkungan (planet), juga kegiatan kemanusiaan (people).
Terdapat ruang yang luas untuk mengembangkan program CSR agar lebih kontekstual dan berdampak nyata. CSR idealnya menjadi upaya strategis yang melibatkan komunitas lokal, mengadopsi prinsip keberlanjutan, dan dirancang berbasis kebutuhan nyata. Ketika perusahaan berkolaborasi dengan pekerja sosial, program CSR menjadi lebih partisipatif dan menyentuh kebutuhan yang selama ini tak terlihat. Misalnya, mengembangkan pelatihan keterampilan berbasis ekonomi hijau bagi warga yang terdampak pengalihan fungsi lahan, atau menciptakan skema insentif untuk konservasi berbasis masyarakat.
Rekomendasi
Untuk mendorong penataan lingkungan yang lebih adil dan berkelanjutan di Jawa Barat, berikut beberapa rekomendasi kebijakan yang perlu dipertimbangkan oleh pemangku kepentingan:
- Mengarusutamakan Pendekatan Sosial dalam Kebijakan Lingkungan
Kebijakan lingkungan harus melibatkan pekerja sosial, sosiolog, dan antropolog dalam seluruh tahapan—dari perencanaan, implementasi, hingga evaluasi. Kajian sosial-ekologis harus menjadi dasar dalam pengambilan keputusan, agar tidak menciptakan dampak sosial baru. Pendekatan partisipatif, inklusif, dan berbasis keadilan sosial perlu menjadi prinsip utama dalam setiap intervensi. Pendekatan sosial bisa membuka ruang dialog yang selama ini tertutup. Ketika masyarakat dilibatkan sejak awal, mereka tidak hanya menjadi objek, tetapi bagian dari solusi. Banyak desa di kawasan penyangga justru memiliki inisiatif lokal dalam konservasi—mulai dari agroforestri hingga ekowisata berbasis warga. Namun, upaya seperti ini sering luput dari radar kebijakan.
- Transisi Ekonomi Hijau bagi Masyarakat Terdampak
Setiap upaya penertiban kawasan hampir selalu memiliki konsekuensi sosial-ekonomi yang besar bagi masyarakat local. Hal ini perlu untuk memikirkan bagaimana warga akan bertahan hidup pasca-intervensi. Karenanya kegiatan harus dibarengi dengan program pendampingan dan alternatif mata pencaharian yang layak.
Pendekatan ekonomi hijau seperti pertanian berkelanjutan, ekowisata berbasis komunitas, hingga pengelolaan sampah dan energi terbarukan dapat menjadi solusi. Peran pekerja sosial di sini sangat vital dalam memfasilitasi perubahan sosial, membangun kapasitas warga, dan memastikan keberlanjutan program.
- CSR sebagai Kolaborasi, Bukan Amal Sementara
Perusahaan yang beroperasi di wilayah sekitar kawasan konservasi perlu menata ulang pendekatan CSR-nya agar tidak berhenti pada kegiatan seremonial. Program CSR harus disusun berbasis kebutuhan lokal dan melibatkan multipihak, termasuk pekerja sosial, untuk memastikan keberlanjutan sosial dan ekologis. Kolaborasi jangka panjang antara dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat sipil akan menghasilkan dampak yang lebih nyata dan sistemik. , untuk menghasilkan dampak yang berarti, pendekatan Corporate Social Responsibility (CSR) perlu bergeser dari model “amal sesaat” ke arah yang lebih kolaboratif dan transformatif.
- Penguatan Kurikulum Green Social Work di Perguruan Tinggi
Pendidikan pekerjaan sosial perlu memperkuat integrasi isu lingkungan dalam kurikulumnya. Mata kuliah seperti Pekerjaan Sosial dengan Lingkungan yang telah hadir di beberapa perguruan tinggi, termasuk di UNPAS, menjadi langkah awal yang baik. Namun ke depan, dibutuhkan penguatan dalam bentuk kolaborasi lintas ilmu, praktik lapangan berbasis ekologi, serta pengembangan kapasitas dosen dan mahasiswa untuk bekerja di tengah kompleksitas krisis iklim dan sosial.
Penutup
Penataan lingkungan tidak boleh berhenti pada aspek fisik semata. Ia harus menyentuh dimensi sosial, memperhatikan dampak terhadap kehidupan warga, dan membuka jalan transisi yang adil bagi semua pihak. Green Social Work menawarkan lensa dan pendekatan untuk memastikan bahwa upaya penyelamatan lingkungan juga menjadi momentum bagi peningkatan kesejahteraan sosial.
Jika pendekatan ini diadopsi secara serius, maka penataan kawasan seperti di Puncak tidak akan semata menjadi langkah penertiban, tetapi juga menjadi peluang untuk membangun masyarakat yang lebih tangguh, berdaya, dan ramah lingkungan. ***

 
																						











Komentar