Oleh MAHI M HIKMAT
Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung
PENYELENGGARAAN Pilpres 2024 tinggal berhitung bulan, tepatnya lebih kurang delapan bulan lagi. Persaingan bursa bakal calon pun makin memanas, terutama kompetisi ketat dalam penentuan Balon wakil presiden karena balon Presiden nyaris seratus persen hanya tiga orang: Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto.
Dukungan terhadap ketiga putra terbaik bangsa tersebut pun sudah terpetakan: Anies Baswedan didukung Partai Nardem, PKS, dan Partai Demokrat, Ganjar Pranowo didukung PDI Perjuangan, dan Prabowo Subianto didukung Partai Gerindra. Parpol lainnya, masih mempertimbangkan untung-rugi. Selain pertimbangan harus mendukung yang akan menang, politik transaksional masih kerap terjadi. Selain mengincar kursi calon Wapres, Parpol pun tidak terkecuali menghitung jatah jabatan lainnya, seperti kursi menteri.
Koalisi Sejak Dini
Selama ini, Pemerintahan selalu dibangun dalam rumah koalisi di antara Parpol, sehingga kabinet yang terbentuk pun kabinet koalisi yang dominan dihuni kader Parpol. Koalisi politik yang sehat, sejatinya dibangun sejak dini, sejak Capres-Cawapres berjuang. Semua Parpol koalisi harus berjuang bekerja keras mengambil hati, simpati, dan suara rakyat, sehingga ketika calon mereka menang, wajar mendapatkan jatah, misalnya, jabatan. Itulah yang dinamakan pragmatisme politik dan politik transaksional.
Kendati banyak dipersoalkan, tetapi itulah fakta politik logis yang terkadang bertentangan dengan etis negara demokrasi kerakyatan. Suksesi dalam negara demokrasi sejatinya proses seleksi mendudukkan putra terbaik pilihan rakyat, sehingga pada dasarnya ketika rakyat memberikan dukungan, terlepas siapapun yang didukung, rakyat sedang berjuang menemukan pemimpin terbaik, sehingga ketika rakyat harus berkorban harta, tenaga, dan lainnya merupakan hal yang lumrah dan selayaknya tanpa pamrih.
Balon Wapres
Walaupun tiga Balon Presiden sudah dideklarasikan masing-masing Parpol. Bahkan sudah dijajakan ke pasar pemilih, tetapi balon Wapres masih dalam wacana. Mereka harus mempertimbangkan berbagai aspek, terutama daya dukung figur untuk mendongkrak tambahan kekuatan Capres, baik dari sisi elektabilitas maupun beban cost politik.
Padahal, informasi pasangan capres-cawapres yang benar sangat didambakan. Rakyat “gelisah” karena makin masif “hoax” pasangan capres-cawapres “rekaan” masing-masing pendukung, baik kelompok maupun perorangan. Dalam kondisi seperti itu, selayaknya pasangan capres-cawapres yang benar segera diinformasikan. Mereka harus segera diperkenalkan kepada rakyat. Pengenalan pasangan capres-cawapres masa depan harus lebih dini.
Pertama, Pilpres 2024 diselenggarakan secara langsung, sehingga rakyat harus diberikan kesempatan untuk sangat mengenali calon pemimpin mereka. Realitas masa lalu yang mendorong rakyat membeli kucing dalam karung; memilih hanya karena ketampanan, kecantikan, atau aspek fisikal lainnya; memilih karena iming-iming janji atau tergiur lembaran rupiah, harus dikikis. Mengenalkan seluruh aspek capres-cawapres sejak dini merupakan bagian dari pendidikan politik, sehingga rakyat paham siapa yang mereka pilih.
Kedua, Pilpres 2024 tidak akan diikuti calon incumbent, sehingga Pasangan calon akan memiliki “posisi” yang sama. Mereka masih harus meningkatkan populeritas, sehingga memperkenalkan sosok bakal calon Presiden-Wakil Presiden harus dilakukan tidak hanya di perkotaan, tetapi juga ke pelosok negeri.
Ketiga, tidak adanya Parpol yang sangat dominan menguasai kursi Legislatif, kendati PDI Perjuangan sanggup memenuhi syarat pencalonan. Hal itu telah menempatkan posisi tokoh-tokoh Parpol pada kesempatan yang sama. Kesempatan mereka untuk berperan di Legislatif pun nyaris sama. Tidak terjadi dominasi publikasi oleh media terhadap tokoh-tokoh dari satu atau dua Parpol. Walaupun ada beberapa pimpinan Parpol yang beruntung karena merangkap menteri, sehingga menambah amunisi publikasi.
Keempat, sistem kabinet koalisi yang dibangun Presiden Jokowi telah menghilangkan dominasi tokoh Parpol dalam aksebilitas terhadap rakyat. Beberapa Ketua Parpol ditempatkan setara karena Wakil Presiden pun bukan pimpinan Parpol. Mereka diberikan kesempatan memiliki aksebilitas terhadap rakyat melalui kementerian masing-masing, sekaligus menunjukkan kapasitas kepemimpin mereka, serta pengalaman dalam mengelola negara ini. Mereka pun rata-rata memiliki kesempatan yang sama untuk ambil bagian dalam merebut kepemimpinan nasional. Kecuali Prabowo lebih menonjol karena pernah menjadi calon Presiden.
Kelima, perkembangan demokrasi yang pesat pasca era reformasi telah memberikan kesempatan luas kepada putra-putri bangsa terbaik untuk tampil menunjukkan karakter kepemimpinan mereka. Mereka dapat tampil di berbagai kesempatan yang memiliki aksebilitas tinggi dalam kesertaan publikasi media massa. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh lagi, jika tiba-tiba muncul tokoh baru yang diusung oleh Parpol kendati bukan murni kader Parpol.
Menimbang kelima hal tersebut, upaya memperkenalkan Balon Presiden dan Wakil Presiden 2024 sejak dini merupakan hal yang penting. Hal itu sinergis dengan tujuan ideal pemilihan langsung, terpilihnya pemimpin mumpuni dan sesuai kehendak rakyat.
Pemimpin politik berkualitas, menurut Habermas, memenuhi kualifikasi quantity of participation dan quality of discourse; Pemimpin yang berkualifikasi “jumlah kepala” sekaligus “isi kepala”; Pemimpin didukung pemilih mayoritas (konstituensi) bervisi, konsepsi dan skill mengurus negara (kompetensi). Pemilihan pemimpin politik secara demokratis ini, jangan sampai membuktikan sikap skeptisnya filsuf legendaris Socrates. Menurutnya, demokrasi membuka peluang bagi manusia bebal, dungu dan tolol (maaf/pen) jika rakyat tidak memiliki kematangan menentukan pilihan yang di-suport informasi yang cukup tentang calon.***