Oleh Widodo Amowiyoto*
MEMANG layak dipertanyakan, mengapa pertandingan krusial Arema FC lawan Persebaya Sabtu 1 Oktober 2022 itu dilaksanakan pada malam hari. Apakah hal itu tidak dikaji lebih dulu aspek keamanan dan pengamamannya? Bukankah dua kesebelasan itu “musuh bebuyutan” –khususnya para pendukung fanatiknya—meskipun sudah disepakati para bonek (suporter Persebaya) tidak boleh hadir di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang.
Sekalipun masih bersifat dugaan, tetapi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menemukan fakta baru mengapa laga Persebaya melawan Arema digelar malam hari dan berujung tragedi maut. TGIPF menduga hal itu demi mengakomodir dan tawar menawar jam tayang di televisi terkait dengan iklan rokok.
Ahli Kesehatan dan Penerima WHO Tobacco Free World Award for Outstanding Contribution to Public Health tahun 1999, Prof. Tjandra Yoga Aditama menyesalkan dugaan tersebut. Demi tawar menawar jam tayang, katanya, justru berakhir tragis.
“Jika ini benar maka benar-benar menyedihkan. Bukan saja karena dengan amat tragis sudah memakan korban jiwa lebih dari 130 orang saudara-saudara kita. Tetapi juga karena kita sepakat bahwa merokok membahayakan kesehatan,” tegas Prof. Tjandra Yoga kepada wartawan, Selasa (11/10). (JawaPos.com, 11/10/2022)
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) Mei 2022 menyebutkan bahwa kebiasaan merokok dan mengonsumsi tembakau ini membunuh lebih dari 8 juta orang setahunnya di dunia. Dari jumlah itu 1,2 juta orang di antaranya adalah para perokok pasif. Maksudnya mereka yang tidak merokok tetapi terpaksa jatuh sakit akibat asap rokok orang di sekitarnya.
Prof. Tjandra menyebutkan di dunia prevalensi perokok menurun dari 22,7 persen di tahun 2007 menjadi 17,5 persen di tahun 2019. Tetapi Indonesia sebaliknya. Data Indonesia Global Adult Tobacco Survey yang dipresentasikan Kementerian Kesehatan menunjukkan, di negara Indonesia justru terjadi peningkatan jumlah perokok, dari 61,4 juta pada 2011 menjadi 70,2 juta pada 2021.
“Kita tahu dan amat sedih bahwa sebagian korban di tragedi Kanjuruhan adalah anak-anak. Demikian juga cukup banyak anak-anak yang menonton pertandingan ini,” kata Prof. Tjandra.
Data Kementerian Kesehatan berdasarkan beberapa survei nasional (GATS, Riskesdas, Siskernas) menunjukkan kenaikan perokok anak dari 7,2 persen pada 2013 naik menjadi 8,8 persen pada 2016. Kemudian naik lagi jadi 9,1 persen pada 2018, naik lagi menjadi 10,7 persen pada 2019. Kalau dibiarkan begini terus maka angka perokok anak akan dapat mencapai 16 persen pada 2030.
Ia menilai peran iklan jelas amat besar dalam hubungan dengan konsumsi rokok yang membahayakan kesehatan ini. Data GATS (Global Adults Tobacco Survey) yang dipresentasikan Kementerian Kesehatan menunjukkan peningkatan paparan pada iklan rokok di papan reklame dari 39,6 persen pada 2011 menjadi 43,6 persen pada 2011. Sementara peningkatan paparan iklan di internet jauh lebih tinggi lagi, dari 1,9 persen pada 2011 menjadi 21,4 persen pada 2021.
“Kita amat berduka dengan wafatnya lebih dari 130 orang pada tragedi Kanjuruhan. Kalau dugaan TGIPF tentang pertimbangan iklan rokok di kejadian ini benar adanya, maka hal itu adalah hal yang benar-benar ironis, memprihatinkan, menyedihkan dan perlu jadi salah satu rekomendasi untuk tata ulang aturan demi melindungi kesehatan anak bangsa di masa depan,” harapnya.
Ancaman kesehatan terbesar
Epidemik tembakau merupakan salah satu ancaman kesehatan masyarakat terbesar di dunia. Pada 2021 WHO menyatakan bahwa epidemik tembakau telah membunuh 8 juta orang setiap tahun. Lebih dari 7 juta kematian diakibatkan oleh perilaku merokok, sementara 1,2 juta kematian diakibatkan oleh paparan asap rokok orang lain (secondhand smoke) yang disebabkan karena kardiovaskuler dan gangguan pernapasan.
Tobacco Atlas pada 2015 melaporkan jumlah perokok aktif sebanyak 942 juta pria dan 175 juta wanita dengan usia 15 tahun atau lebih. China, India, dan Indonesia menyumbang 51,4 persen perokok pria di dunia, sedangkan Amerika Serikat, China, dan India menyumbang 27,3 persen perokok wanita di dunia. (www.pom.go.id, 31/5/2022)
Di Indonesia, konsumsi rokok juga menjadi masalah kesehatan masyarakat. Dari waktu ke waktu prevalensi merokok di negara kita semakin meningkat terutama di kalangan usia anak dan remaja. Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013-2018 menunjukkan bahwa prevalensi perokok terjadi peningkatan terutama pada perempuan dan usia lebih muda (10-14 tahun).
Selain itu, peningkatan prevalensi perokok usia 10-18 tahun juga meningkat dari 7,1 persen (tahun 2013) menjadi 9,1 persen (2018). Data lain menunjukkan bahwa usia mulai merokok anak kurang dari 20 tahun mencpai 75 persen (dua pertiga jumlah perokok di Indonesia didominasi oleh perokok usia kurang dari 20 tahun).
Sebanyak 23,1 persen memulai merokok pada rentang 10-14 tahun dan 52,1 persen memulai merokok pada rentang 15-19 tahun. Hasil ini menunjukkan adanya pergeseran usia anak mulai merokok. Data tersebut memberikan gambaran tentang dampak konsumsi rokok yang begitu massif baik bagi individu, masyarakat bahkan terhadap lingkungan.
WHO menyebutkan bahwa limbah pasca konsumsi produk tembakau sangat membahayakan kesehatan manusia. Para perokok dapat menghasilkan 5 ton CO2 seumur hidup mereka dan menghasilkan lebih dari 4,5 triliun puntung rokok yang mencemari lingkungan setiap tahunnya. Data ini menunjukkan bahwa perokok berkontribusi terhadap pencemaran udara dan pencemaran lingkungan yang membahayakan kesehatan orang lain dan ekosistem.
Peningkatan perilaku merokok di kalangan anak dan remaja dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Antara lain: pertumbuhan penduduk, harga rokok yang relatif murah, pemasaran rokok yang luas dan intensif, serta maraknya iklan, promosi dan pemberian sponsor yang memapar usia anak dan remaja. Untuk itu diperlukan upaya sosialisasi kepada masyarakat khususnya anak dan remaja tentang bahaya rokok bagi kesehatan dengan harapan dapat memberikan dampak terhadap penurunan prevalensi merokok di kalangan anak dan remaja. Salah satunya melalui metode Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) tentang bahaya merokok bagi kesehatan kepada masyarakat.
Indonesia darurat rokok
Laporan Tobacco Atlas menyatakan bahwa di seluruh dunia, hampir 5 triliun batang rokok dikonsumsi setiap tahun, dan berkontribusi pada sekitar 8 juta kematian serta kerugian ekonomi hampir USD 2 triliun. Sementara itu, menurut data dari Direktorat Bea dan Cukai, jumlah konsumsi rokok di Indonesia mencapai 322 miliar batang pada 2020.
Dokter Imran Agus Nurali, SpKO, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, mengatakan kerugian ekonomi akibat konsumsi tembakau baik langsung maupun tidak langsung pada 2017 mencapai hampir Rp 532 triliun.
Beban ekonomi yang demikian besar itu tidak terlepas dari jumlah perokok yang masih tinggi di Indonesia. Menurut Ketua Bidang Komunikasi dan Media untuk Komite Nasional Penanggulangan Tembakau (Komnas PT), Kiki Soewarso, jumlah perokok di Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan jumlah perokok tertinggi di dunia. Indonesia menempati urutan ketiga setelah China dan India. “Jadi ini adalah data terkini negara kita berada di tiga tertinggi jumlah perokoknya di dunia. Ini sangat menyedihkan,” ujar Kiki. (Leonard Triyono, voaindonesia 01/06/2022)
Menurut Kiki, sesuai jumlah batang rokok yang dikonsumsi di Indonesia, pada 2006 Indonesia masih menempati posisi kelima, tetapi pada tahun 2018 posisi itu naik ke peringkat kedua setelah China.
Dari tahun ke tahun, berdasarkan Riskesdas, angka itu terus meningkat, baik dari jumlah perokok maupun rokok yang dikonsumsi. Yang makin menyedihkan adalah jumlah perokok anak yang juga terus meningkat.
“Yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika menyangkut anak-anak. Umur mulai merokok semakin muda. Angka Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun 2018 menunjukkan 77,7 persen perokok pemula di Indonesia itu sebelum berumur 19 tahun. Jadi, selama tahun 2007 sampai 2018 perokok pemula mulai usia 10 sampai 14 tahun meningkat 240 persen. Khusus untuk perokok pemula usia 15 tahun sampai 19 tahun naiknya 140 persen. Artinya adalah dari angka-angka yang saya sebutkan itu justru mengkhawatirkan, dan memang boleh dibilang Indonesia ini darurat rokok,” keluh Kiki. ***
*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id