Oleh Wina Armada Sukardi*
MANAKALA dulu saya mendengar orang-orang memperbincangkan, jika kita selesai naik haji, kita seperti dipanggil kembali untuk datang lagi dan datang lagi ke Mekah, ke Kabah, saya pikir hal tersebut merupakan hal yang lebai alias berlebihan. Malah saya agak skeptis soal itu, bahkan, terus terang saja, saya cenderung tak percaya. Bukankah naik haji membutuhkan ongkos relatif besar? Demikian pula perlu fisik yang harus kuat. Bagaimana hal itu dapat melahirkan keinginan untuk balik lagi kesana, pikir saya.
Kenyataannya, waktu saya selesai naik haji tahun 2002, yang sebelumnya hamba pikir lebai, berlebihan, ternyata hal tersebut memang benar-benar terjadi. Setidaknya pada diri saya. Setelah menunaikan rukun Islam naik haji untuk pertama kali, selalu ada semacam panggilan untuk datang lagi dan datang lagi ke Kabah. Apalagi saya merasa kala menunaikan ibadah haji itu, ada hal yang ingin lebih hamba ini sempurnakan dan tuntaskan lagi jika naik haji berikutnya.
Kerinduan orang naik haji untuk kembali berhaji, yang semula saya duga omong kosong belaka, benar adanya. Hati hamba ini ingin selalu kembali kesana. Betul-betul luar biasa “tarikan” kabah kepada orang yang pernah menunaikan haji.
Kendati begitu, saya tak pernah naik haji lagi. Bukan tak punya kehendak itu. Bukan pula tak ada kesempatan. Juga bukan karena tidak ada dana. Bukan, bukan soal itu, namun lantaran saya berprinsip, betapapun dorongan hati ingin menunaikan ibadah haji berkali-kali, cukuplah hamba ini naik haji sekali saja.
Meski merasa ada yang dapat lebih disempurnakan lagi jika kemudian ada kesempatan menunaikan ibadah haji, namun hamba ini tak melakukan itu. Apapun yang terjadi saat naik haji, setidaknya hamba sudah melaksanakan kewajiban berhaji, sementara ratusan ribu, bahkan jutaan, orang Indonesia mengantri ingin naik haji.
Saya berpendapat, alangkah egoisnya hamba ini jika hamba ingin berkali-kali naik haji, sementara masih begitu banyak manusia Indonesia mencari kesempatan naik haji. Hamba pun memutuskan: berikanlah kesempatan kepada hamba Allah lainnya yang ingin pergi menunaikan kewajiban naik haji. Sedangkan hamba ini yang sudah diberikan kemudahan naik haji harus tahu diri. Tidak boleh serakah. Saya harus memberikan kesempatan itu kepada orang-orang lainnya untuk dapat naik haji.
Walau demikian, hal itu tidak berarti hasrat datang lagi ke kabah berhenti. Tetap ada dorongan untuk kembali ke Mekah. Ke kabah. Dan saya memang melaksanakan kembali datang kesana, namun bukan pada waktu haji, melainkan umroh. Berbagai macam umroh, alhamdullilah, pernah saya nikmati. Umroh ramadan. Umroh idulfitri. Umroh hari biasa dan lain-lain.
Nah, dalam gradasi yang berbeda, juga terjadi pada salat subuh di masjid. Jika kita rutin salat subuh di masjid, ketika meninggalkanya, dengan berbagai alasan, ada kerinduan dalam hati yang memanggil-manggil untuk segera merasakan nikmatnya salat subuh di masjid.
Kenapa ada kerinduan ingin selalu salat subuh di masjid bagi yang rutin melakukannya? Pertama-pertama tentu lantaran kita merasa bertanggung jawab pada diri sendiri buat menunaikan perintah Allah. Berikutnya “nuansa” salat subuh di masjid, dari mulai keluar rumah, saat masuk masjid, aura religius sudah terasa. “Ritual” salat subuh di masjid: azannya, salat antara azan dan salat subuhnya, suasana dalam masjid serta yang tak kalah menarik nuansa religius “mistik” di masjid, menjadi sesuatu yang menarik-narik kita untuk salat subuh di masjid. Ada dorongan “spritualitas” atau religi untuk terus kesana. Ada juga semacam “nuansa” aneh yang selalu juga menarik-narik kita untuk terus salat subuh di masjid.
Hamba ini sebagai mahluk Allah yang lemah, pernah operasi tiga kali. Sekali operasi pengangkatan empedu dan dua kali operasi penyambungan tendon achiles atau otot kaki besar yang putus. Mula-mula yang kiri. Lantas dioperasi. Ototnya disambung. Sembilan bulan kemudian sudah sembuh “sempurna,” main bulutangkis lagi, dan lantas berikutnya tendon achiles kaki yang kanan ikut-ikutan putus. Dua-duanya lantaran main bulutangkis pada tingkat RT dan RW. Walhasil saya harus dioperasi dua kali.
Beberapa saat paska operasi hamba tidak dapat beraktivitas. Harus beristirahat, bahkan lebih banyak di kamar. Tentu saja tak mungkin ke masjid. Salat di kamar saja. Mula-mula malah sambil tiduran, kemudian sambil duduk dan trakhir berdiri seperti patung karena belum boleh ruku dan sujud. Setelah boleh ruku dan sujud pun masih tak bisa kemana-mana, alias di rumah aja, termasuk tak dapat ke masjid.
Waktu itu hati hamba ini terasa hampa. Hambar.
Ada sesuatu yang kosong. Rupanya pada saat-saat seperti itu kerinduan pada salat subuh di masjid menjadi menggunung. Apalagi saat usia merabat memasuki klasifikasi “warga senior” rindu salat subuh di masjid semakin menjadi-jadi.
Dibanding salat lainnya, salat subuh menjadi awal kegiatan kita pada hari itu. Salat subuh di masjid seperti diri kita melaporkan kepada Sang Pencipta sekaligus mohon perlindungannya sebelum kita melakukan aktivitas lainnya pada hari ini. Semacam apel kepada Allah. Juga simbol kita berserah kepada kekuasaanNYA. Dengan begitu, sesudah salat subuh di masjid hati hamba ini menjadi tentram dan siap menghadapi pelbagai hal lantaran sudah melaporkan kepada Allah. Kita sudah iklas apapun yang terjadi. Makanya kita selalu rindu dan rindu untuk dapat salat subuh di masjid.
Perasaan rindu dan selalu terpanggil untuk salat subuh di masjid ini, boleh jadi tidak seketika hadir. Rasa itu tumbuh perlahan-lahan setelah bertahun-tahun rutin salat subuh di masjid. Bagi mereka yang tidak terbiasa salat subuh di masjid, mungkin sama dengan mereka yng belum pernah pergi ke Mekah menunaikan haji, sehingga tidak atau belum pernah merasakan bagaimana rasanya rindu balik lagi ke Mekah dan berkunjung ke Kabah. Orang yang jarang salat subuh di masjid pastilah sulit memperoleh rasa rindu salat subuh di masjid sebagaimana orang setelah naik haji rindu kembali ke Mekah.
Terlepas dari pelbagai kelemahan yang ada pada diri hamba ini, bersama para jemaah salat subuh lainnya di masjid, setidaknya telah diberi nikmat merasakan kerinduan salat subuh di masjid. Alhamdullilah.
Tabik.***
(Bersambung)
*Penulis adalah wartawan dan advokat senior, juga Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan reportase/opini pribadi yang tidak mewakili organisasi.