Oleh Wina Armada Sukardi*
SUBUH hari saya membuka pintu pagar. Kala itu pintu pagar rumah kami belum diubah menjadi setinggi seperti sekarang. Setelah pintu saya tutup kembali, dan saya membalik badan, sudah ada Pak Latief di depan saya. Pak Latief merupakan tetangga satu rumah sebelah kiri depan rumah saya.
Usia Pak Latief jauh di atas saya. Mungkin berbeda sekitar 15 tahunan. Tepatnya saya tidak tahu. Dia termasuk jamaah tetap masjid dekat rumah kami. Tak hanya jamaah salat subuh, melainkan juga jamaah waktu salat-salat lainnya.
Waktu itu kami sama-sama menuju masjid untuk salat subuh. Sambil berjalan kaki, kami sempat ngobrol-ngobrol sejenak, sampai kami di masjid. Rumah kami ke masjid memang cuma sebatas “lembaran batu.”
Tapi itu kejadian sekitar sepuluh tahun silam. Kini Pak Latief sudah tidak ada. Sekitar dua tahun silam almarhum wafat. Lantaran waktu itu sedang berjangkit wabah covid-19, saya bahkan tidak dapat melayat dan mengantar ke peristirahatan terakhir.
Selama saya salat subuh di masjid, Pak Latief merupakan salah satu orang tua yang sering bertemu saya waktu berjalan ke masjid atau waktu di masjidnya sendiri. Bahkan ketika di usia senjanya, Pak Latief menderita dimensia, semacam penyakit lupa, dia masih sering terlihat berjalan menuju masjid.
Bersama-sama Pak Latief saya juga hampir setiap hari bersua dengan banyak “bapak-bapak” lain yang usianya di atas saya. Katakanlah satu generasi di atas saya. Para orangntua itu telah lebih dahulu dipanggil kembali oleh Sang Pencipta. Mereka satu persatu kembali ke pangkuanNYA.
Pak Nawawi, misalnya, mantan ketua RT dan orang yang ikut aktif salama proses pembangunan masjid dekat rumah saya, sudah lebih dahulu menghadap Sang Khalik. Lelaki yang dulu tinggal di dekat tikungan itu pernah memberikan saya pohon kurma, tapi sayang karena saat itu musim hujan lebat, pohon kormanya walaupun sudah ditanam dengan bergerobak-gerobak pasir, akhirnya gagal tumbuh.
Saya mendengar cerita dari banyak orang, Pak Nawawi semasa muda mampu mengatasi berbagai problem keamanan atau sengketa sosial. Oleh lantaran itu dia ketika hidup menjadi tokoh yang sangat disegani. Belakangan Pak Abbas, anaknya, meneruskan jejaknya pernah sebagai ketua RT.
Ada juga Pak Yamin. Jurangan besi ini yang membawa saya membeli tanah di depan rumah saya seluas 1.800an meter persegi, tapi kini sudah saya jual kembali. Di bawah kepemimpinan kegiatan RW kami waktu itu sangat dinamis. Di juga salah satu jamaah yang sangat sering salat subuh di masjid. Dia malah sudah meninggal lebih dahulu dari generasinya.
Ada juga Pak Sainan. Lelaki yang menjadi perantara waktu saya membeli rumah yang saya tempati sekang, pun telah pergi selama-lamanya. Sebelumnya dia hampir selalu lalu lalang di depan rumah saya. Tetangga setelah tingkungan dalam rumah saya ini, kalo lebaran selalu pada pagi hari pertama datang lengkap dengan hampir seluruh keluarga besarnya. Kini tinggal anak cucunya yang masih berinteraksi dengan kami, karena isterinya pun beberapa bulan silam menyusulnya ke alam baka. Salah satu anaknya sekarang menjadi ketua RT di lingkungan kami.
Itu cuma empat contoh tetangga yang biasa salat subuh bersama-sama di masjid. Semua telah pergi. Selain keempatnya, tentu, banyak lagi yang telah pergi untuk selama-lamanya. Saya perhatikan, saat ini tinggal beberapa orang tua saja generasi di atas saya yang masih hidup, ternasuk Ustad Satiri, ketua masjid kami. Selebihnya tinggal kenangan saja. Sebuah generasi jamaah salat subuh di masjid tanpa terasa berlalu sudah.
Dengan begitu, dalam usia saya saat ini 64 tahun, saya telah memasuki generasi baru sebagai jamaah salat subuh! Posisi yang sebelumnya ditempat oleh para almarhum seperti Pak Latief, Pak Yanin, Pak Nawawi atau Pak Sainan, telah beralih ke generasi saya. Sekitar 25 tahun terjadi peralihan itu. Maka kini saya dan kawan-kawan segenerasi sudah dikelompokan ke generasi “bapak-bapak” yang relatif sepuh.
Agama Islam mengajarkan agar kita memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Merugilah mereka yang menyia-nyiakan waktu. Dalam hal ini, bukankah ada ajaran yang terkenal: manfaatkanlah lima perkara, sebelum datang lima perkara lain:
1. Manfaatkankah waktu mudamu, sebelum waktu tuamu tiba.
2. Manfaatkanlah masa sehatmu, sebelum waktu sakitmu tiba.
3. Manfaatkanlah masa kayamu, sebelum masa miskinmu tiba.
4. Manfaatkanlah waktu luangmu, sebelum waktu sibukmu tiba.
5. Manfaatkanlah waktu hidupmu, sebelum waktu matimu tiba.
Salat subuh rutin di masjid, tanpa terasa sudah menghasilkan generasi baru. Setidaknya kami yang rutin salat subuh di masjid, sudah memanfaatkan waktu yang diberikan oleh Pencipta kepada kami, tanpa terasa telah rutin salat subuh di masjid. Mungkin itulah sebabnya disebut “salat subuh lebih baik daripada tidur…”
Tabik.***
(Bersambung)
*Penulis adalah wartawan dan advokat senior, juga anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhamadiyah. Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili organisasi.