Oleh Wina Armada Sukardi*
SKANDAL Malapetaka Kanjuruhan atau disingkat Malaka Gate masih terus menjadi trending topik. Untuk memberi kesan sangat antisipatif dalam menghadapi Malaka Gate, tragedi kerusuhan dalam pertandingan antara kesebelasan Arema vs Persebaya di stadion Kanjuruhan yang menewaskan sekitar 135 orang (jumlah pasti belum diketahui), PSSI mengambil tindakan cepat menjatuhkan sejumlah sanksi kepada para pihak yang dinilai bersalah dalam malapetaka itu.
Tetapi alih-alih keputusan itu memperoleh dukungan, sebaliknya sanksi yang dijatuhkan PSSI itu menimbulkan perdebatan dan sinisme.
Sanksi yang dijatuhkan PSSI sangat terasa bukanlah sebuah sanksi untuk memperbaiki budaya sepak bola Indonesia secara keseluruhan, melainkan sanksi setengah hati. Sanksi yang bagaikan polesan pupur kosmetik belaka. Sanksi yang lebih banyak pencitraan ketimbang diperuntukan memperbaiki kelemahan sistem sepak bola Indonesia yang ada.
Setidaknya ada empat alasan pokok mengapa sanksi yang diambil PSSI itu dapat dinilai sebagai sanksi setengah hati. Pertama, keputusan tersebut sama sekali seakan tidak memberikan empati terhadap korban dan jumlah korban yang tewas. Kedua, sanksi itu tidak bakalan membawa efek jera yang signifikan. Ketiga, sanksi itu bersifat kontrakdiktif dan diskriminasi. Keempat, sanksi itu kurang berguna buat perbaikan sistem sepak bola nasional.
Berat dan Jenis Sanksi
Selasa (4/10) lalu Komisi Disiplin (Komdis) PSSI telah bersidang dan menjatuhkan hukuman untuk Arema FC, ketua panitia pelaksana (panpel), dan petugas keamanan atau security officer. Sanksi buat ketiga pihak tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Komdis PSSI, Erwin Tobing, dalam konperensi pers secara virtual.
Erwin menjelaskan, Arema FC dijatuhkan sanksi dilarang menyelenggarakan pertandingan sebagai tuan rumah dengan penonton pada sisa Liga 1 musim 2022-2023.
Klub Singo Edan ini, julukan untuk kesebelasan Arema, harus memainkan laga kandang atawa home di venue yang berjarak 250 km dari markas mereka di Malang.
Erwin menambahkan, Arema FC juga diberi sanksi wajib membayar denda sebesar Rp 250 juta. Dia menjelaskan pula, dalam sanksi ini juga ditegaskan, pengulangan pelanggaran yang sama akan mendapatkan hukuman lebih berat.
Di lain pihak Komdis PSSI menjatuhkan pula sanksi sangat berat kepada Abdul Haris (Ketua Pelaksana pertandingan) dan Suko Sutrisno (Security Officer). Keduanya dilarang aktif di lingkungan sepak bola seumur hidup.
Sanksi Tanpa Empati
Sanksi-sanksi yang dijatuhkan Komdis PSSI itu jelas merupakan sanksi yang tidak menaruh empati terhadap kasus Malaka Gate. Petaka yang menewaskan 135 orang, dan kini menduduki posisi jumlah penonton yang tewas terbesar ketiga di dunia, sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan khusus Komdis PSSI.
Jika PSSI memperhatikan jumlah korban yang begitu besar, sekaligus empati kepada korban-korban itu, pastilah PSSI bakal menjatuhkan sanksi yang sangat berat kepada Arema. Bukan sanksi yang ala kadarnya. Bukan sanksi setengah hati.
PSSI dapat berdalih, itulah jenis dan jumlah sanksi yang diatur dalam ketentuan PSSI, sehingga PSSI tidak dapat keluar dari ketentuan itu. Dalih ini justeru menambahkan kuat penilaian kita, sanksi yang dijatuhkan PSSI adalah sanksi yang tidak memberi empati kepada korban dan jumlah korban yang besar. PSSI menjatuhkan jenis sanksi kepada para pihak seperti layaknya kejadian biasa. Ini terang benderang keliru.
Malaka Gate bukanlah kasus normal. Malaka Gate merupakan kejadian luar biasa. Oleh sebab itu sanksinya pun seharusnya perlu sanksi dalam keadaan luar biasa. Harus sanksi yang keras dan setimpal dengan jumlah korban yang tewas. Sanksi yang ekstraordinari.
Sanksi Tanpa Efek Jera
Jika diteliti dari sanksi itu, tak ada larangan bertanding sama sekali buat Arema. Kesebelasan ini hanya tidak boleh menyelenggarakan pertandingan kandang atau home dalam periode Liga 1 dihadiri penonton. Artinya, Arema tetap boleh mengikuti kompetisi Liga 1.
Larangan sementara tanpa penonton bukanlah sesuatu yang istimewa buat klub-klub PSSI. Selama masa Pandemi covid-19 mereka sudah terbiasa bertanding tanpa penonton. Jadi, sanksi selama satu musim Liga 1 ini Arema tak boleh melakukan tanding kandang dengan penonton bukanlah sesuatu yang sangat “memukul” mereka. Mungkin memang terasa berat, namun hal itu sudah biasa dilakoni sebelumnya. Pada masa pandemi covid-19 hampir semua pertandingan sepak bola di Indonesia tanpa penonton.
Dalam sanksi itu ditegaskan Arema untuk pertandingan kandang wajib melaksanakan di area 250 km dari Malang. Sanksi ini pun tak memberik efek jera apapun. Arema dapat mencari wilayah dimana pun sejauh 250 Km dengan mudah. Setelah itu mereka tinggal menyewa mess selama waktu musim liga 1 ini.
Dari segi cost mungkin tak jauh berbeda dengan bermarkas di Malang sendiri. Sanksi begini dapat diprediksikan memberi efek jera yang signifikan kepada Arema. Memang ada masa sesaat terasa sedikit berat, namun hanya kurang dari setahun sudan dapat beraktifitas dengan normal lagi, padahal korban yang tewas 135 orang.
Jumlah denda Rp 250 juta yang dijatuhkan ke Arema juga sama sekali dalam kasus seperti ini tidak memberikan efek jera. Dari pertandingan ini aja klub Arema telah meraup cuan (untung) yang sangat besar, sehingga kalau sekedar untuk membayar denda Rp 250 juta dari pemasukan pertandingan ini saja Arema sudah memiliki kelebihan keuntungan melimpah. Jadi kalo cuma Rp 250 juta saja, jelas jumlah yang kecil saja.
Simak saja hitung-hitungan dari pemasukan tiket saja dari pertandingan Arema vs Persebaya di hari Jenis tiket pertandingan Arema vs Persebaya terbagi ke dalam tiga kategori, yakni ekonomi sebanyak 37.980 lembar, VIP 1.880 lembar, VVIP 200 lembar, sedangkan sisanya 1.940 untuk sponsor dan tamu undangan.
Jika jumlah penonton sampai 45 ribu, katakanlah yang lima ribu penonton “selundupan” yang tidak membayar karcis. Adapun harga tiket yakni VVIP Rp 250 Ribu, VIP Rp 150 ribu dan ekonomi Rp 50 ribu. Panitia ternyata mencetak 45 ribu tiket, jauh lebih besar dari yang diperbolehkan yaitu 25 ribu.
Berdasarkan laporan resmi, panitia setidak-tidaknya memperoleh Rp 2,3 miliar. Ini terdiri dari penjualan tiket ekonomi Rp 1,9 miliar, VIP Rp 282 juta, dan VVIP Rp 50 juta. Sedangkan dari hitung-hitungan yang tidak resmi, keuntungan panitia dari 40 ribu penonton mencapai Rp 5 miliar.
Lantas apa artinya denda Rp 250 juta dibanding dari hasil penjualan tiket saja. Jumlah Rp 250 juta cuma sekitar 5% -10% dari pendapat pertandingan sehari Arema versus Persebaya. Itu belum dihitung kekayaan Arema lainnya. Dengan begitu Arema bakal mudah membayar denda itu dan tidak memberikan efek jera yang siginfikan atas melayangnya 125 nyawa.
Tumpul ke Atas, Tajam ke Bawah
Sanksi PSSI ini terasa benar, tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kenapa? Untuk Suko Sutrisno, seorang petugas sekuriti yang tidak membuka semua pintu manakala pertandingan berakhir, dijatuhi hukuman seumur hidup tidak boleh terlibat dalam dunia sepak bola. Sebuah hukuman maksimal.
Tetapi apakah Suko merupakan petugas independen yang dapat memutuskan sendiri dalam pelaksanaan tugasnya? Atau dia merupakan bagian dari rangkaian sistem yang tidak dapat memiliki kewenangan penuh untuk memutuskan sesuatu, termasuk apakah sudah boleh membuka pintu atau belum, namun oleh PSSI telah dijatuhkan hukuman maksimal. Bagaimana dengan pihak “yang berkuasa” sebagai pengendali Suko? Siapa dia? PSSI tak menjelaskannya.
Orang bertanya-tanya, apakah lantaran Suko merupakan pihak yang tidak berdaya dan pelaksana bawahan dia dihukum seumur hidup tidak boleh ikut dalam kegiatan sepak bola. Apalah karena dia tidak mungkin dapat “melawan?”
Ada juga Abdul Haris, ketua Pelaksana Pertandingan, yang dihukum seumur hidup. Meskipun menduduki jabatan mentereng, Ketua Pelaksana Pertandingan, perlu pula diperiksa apakah betul kewenangannya sedemikian luas, tanpa ada pihak lain yang mengendalikan dia, sehingga dianggap salah satu orang yang paling bertanggung jawab dan dihukum seumur hidup.
Taruhlah memang keduanya kita pandang bersalah dan oleh karennya harus dihukum seberat-berat. Pertanyaan kita, kenapa hukuman yang berat juga tidak diterapkan kepada klub? Kan ini memberi impresi ada ketimpangan atau ketidakadilan perlakuan. Kalau mau lebih baik, Klub pun harus dihukum berat. Misalnya lima tahun tidak boleh ikut kompetisi, setidaknya tiga tahunlah. Lalu jumlah dendanya supaya adil mestinya sekurang-kurangnya dikenakan denda Rp 5 miliar, atau sekurang-kurangnya Rp 2,5 miliar.
Di luaran lantas beredar kabar, klub Arema tidak dihukum maksimal lantaran salah satu pemilik Arema menjadi pejabat teras di pengurusan PSSI.
Tapi karena beratnya sanksinya tidak seimbang, keputusan Komdis PSSI dapat dibaca sebagai tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sanksi yang mengandung kontrakdiksi dan tidak mengandung ketidakadilan.
Tidak Mencapai Tujuan
Dengan sanksi yang seperti itu, apa sebenarnya tujuan dijatuhkan sanksi? Jika sanksi itu untuk mencapai efek jera dan tujuan akirnya ada lah perbaikan dari ekosistem budaya sepak bola Indonesia, sama sekali tidak tercapai. Sanksi-sanksi itu lebih merupakan pembenaran dari PSSI sendiri, padahal sanksi itu justeru mencoreng PSSI sendiri.***
*Penulis wartawan senior