Menu

Mode Gelap

Diskursus · 8 Okt 2022 02:57 WIB ·

Kedepankan Keindahan Sepakbola, Bukan Kekerasan dan Ironinya

 Ilustrasi (Sumber: facebook).* Perbesar

Ilustrasi (Sumber: facebook).*

Oleh Widodo Asmowiyoto*

SEHARUSNYA rakyat Indonesia, khususnya penggemar olahraga sepakbola, kini bergembira. Mengapa? Karena per 25 Agustus 2022 lalu, timnas Indonesia dalam peringkat Federasi Sepakbola Dunia (FIFA) meningkat ke posisi 155 dunia dari sebelumnya 159. Hal itu setelah Indonesia berhasil melewati babak kualifikasi Piala Asia 2023 Juni 2022 lalu. Dengan posisi 155 dunia itu, Indonesia mengalahkan 5 negara Eropa yakni Malta, Moldova, Liechtenstein, Gibraltar, dan San Marino. (indosport, Kamis, 25/8/2022)

Widodo Asmowiyoto.*

Kegembiraan itu menjadi sirna, bahkan berubah menjadi kesedihan yang mendalam. Mengapa? Tidak lain ya karena tejadinya Tragedi Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu malam 1 Oktober 2022 lalu. Jumlah korban tewas yang semula resmi dikemukakan Kapolri 125 orang, belakangan naik lagi menjadi 131 orang. Sedangkan luka berat 23 orang, luka ringan dan sedang 420 orang. (detikcom, Jumat, 7/10/2022)

Di balik angka-angka itu terungkap kesedihan yang mendalam dari para keluarga korban jiwa. Termasuk anak-anak kecil, yang seharusnya saat ikut orangtuanya menonton di stadion, merasa senang dan bergembira ria. Namun kekalahan Arema FC 2-3 dari Persebaya Surabaya berakhir dengan peristiwa yang memilukan itu.

Kini perhatian rakyat Indonesia bahkan dunia tertuju pada bagaimana hasil akhir investigasi atas tragedi sepakbola sekaligus tragedi kemanusiaan itu. Hingga Kamis 6 Oktober 2022 ada 6 orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Masyarakat berharap siapa pun yang terbukti melakukan tindak pidana harus diberi sanksi yang setimpal dengan tingkat kesalahannya.

Para suporter sepakbola yang semula berseteru pun kini sudah menyadari kesalahannya. Mereka berniat dan bertekad melakukan rekonsiliasi sehingga ke depan tidak ada lagi permusuhan antar-pendukung tim kesayangan. Sikap fanatik berlebihan dan membabi buta pun tidak berguna lagi.

Mengedepankan keindahan sepakbola

Pertanyaannya, mungkinkah keinginan mulia para pendukung fanatik tersebut akan menjadi kenyataan? Kalau kelak benar menjadi realita, bisakah rujuk dan kerukunan itu berumur panjang? Ataukah kebiasaan masyarakat Indonesia yang mudah lupa itu juga pada gilirannya nanti akan melupakan Tragedi Kanjuruhan?

Sambil menunggu para stakeholder sepakbola merancang dan menerapkan manajemen risiko pertandingan sepakbola yang tepat, ada baiknya pemerintah (Kementerian Pemuda dan Olahraga) bersama organisasi olahraga yang terkait mulai serius membangun budaya bahwa pertandingan sepakbola itu merupakan kegiatan yang indah dan menghibur. Ke depan bahkan olahraga di tanah air, khususnya sepakbola, harus dikembangkan berdasar keilmuan yang relevan (sains) sehingga pada saatnya nanti timnas mampu tampil di puncak Piala Dunia.

Sekadar sebagai bahan renungan, simak lagi pernyataan legenda sepakbola dunia Franz Benckenbauer berikut ini:

“ … Sepakbola memang tidak pernah mati, malah selalu ada dan terus menghibur dunia dengan caranya sendiri. Bola tetap saja menebarkan pesonanya yang mencengangkan dan aromanya yang harum mewangi. Bola tak pernah kering untuk diulas dan ditulis. Hari ini, pesona bola itu kita temukan dalam Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Bola memang bergulir tanpa batas. Bola melampaui negeri, melintasi benua. Bola tidak mengenal SARA. Para pemain memainkan bola dengan hatinya. Mereka bergulir bersama bola, tidak dengan egonya. Bola itu permainan spontan, penuh kejujuran. Filosofi bola adalah bekerjalah pada hari ini sebaik-baiknya dan esok hari bekerjalah lagi sebisa-bisanya! Dan … sukses dan kemenangan sebuah tim di final akan menegaskan sekali lagi tentang misteri bola yang melampaui batas kekuatan manusia. Bukankah kebintangan sesorang, kepiawaian seniman bola justru terletak pada kebesaran hati yang tahu batas kemampuannya?…”

“…Tidak pernah ada tim yang selalu menang dan selalu kalah. Yang ada hanya kalah atau menang!… Kejayaan seorang pemain atau suatu tim sepakbola pasti mengenal batas. Tak pernah ada sebuah kesebelasan yang terus berjaya. Mereka sadar betul bahwa suatu ketika ia akan jatuh, meski tidak pernah dikehendakinya. Dalam pengalaman saya sebagai pemain maupun pelatih, saya pernah bahkan berulang-ulang merasakan sakitnya sebuah kekalahan…” (Dion DB Putra, Catatan Sepakbola, Bola Itu Telanjang, Penerbit Lamalera, 2010)

Dion sendiri menulis begini, “… Ada apa dengan bola? Mengapa dia menghipnotis dunia? Menghibur dan atau membuat orang menangis dalam waktu bersamaan, cuma beda tempat, warna kulit serta usul-asal? Percayalah bahwa tidak ada jawaban yang benar-benar tepat sampai hari ini. Anda boleh membaca segala referensi dari para analis atau pakar sepakbola terkemuka dunia, tak mungkinlah menemukan jawaban yang sungguh tepat. Karena bingung mendapatkan jawaban, seorang rekan enak saja berkata begini, ‘Orang suka bola karena dia telanjang’… Toh kenyataannya benda kecil seberat 16 ons itu memang tidak pakai apa-apa. Tak pakai baju. Tanpa celana. Dia telanjang bulat. Karena telanjang, bola menyentuh sesuatu yang sangat mahal di bumi hunian kita; spontanitas, kejujuran, tanpa basa-basi. Sepakbola tidak hanya melahirkan sukacita, tapi ia tak jarang lebih menyakitkan. Karena bola tak pakai apa-apa, percayalah bahwa kita semua akan terus memburu dan menunggunya. Hari ini, besok dan lusa!…”

Manajemen risiko

Betapapun olahraga sepakbola mengandung banyak segi seperti filosofi, seni, ilmu, dan keterampilan mengolah bola di lapangan, namun setelah dikemas sebagai industri hiburan di lapangan, maka penyelenggaraannya tidak boleh mengabaikan prinsip manajemen umum dan manajemen risiko.

Nugroho Setiawan, (mungkin) kini satu-satunya di Indonesia sebagai pemegang “FIFA Safety & Security Certified”, mengingatkan perlunya stakeholder pertandingan sepakbola menerapkan prinsip manajemen umum, termasuk di dalamnya manajemen risiko. Yakni Planning, Organising, Actuating, Controlling (POAC). Melalui POAC itu, harus dilakukan analisis secara mendalam dan rinci sehingga dapat diperhitungkan sampai risiko terkecil dalam penyelenggaraan kompetisi atau pertandingan sepakbola. (Obrolan Bola, Acara Sporty, Sport-77 Official, Pasca-Tragedi Kanjuruhan Oktober 2022)

Dalam analisis itu termasuk, misalnya, 1. Penetapan tanggal pertandingan, 2. Jam pertandingan (idealnya sore atau malam hari), 3. Apakah pada hari atau saat pertandingan itu ada event besar lain di dekat stadion atau kota tempat pertandingan, 4. Bagaimana kondisi (terkini) stadion, 5. Analisis profil atau perilaku suporter yang menonton pertandingan dua tim tanpa “permusuhan” dan dua tim “musuh bebuyutan”, 6. Pelibatan polisi atau aparat keamanan tetapi jangan sampai mereka seperti menghadapi penjahat, tetapi terpenting berorientasi mencegah timbulnya kerugian karena sepakbola sudah masuk ranah industri hiburan.

Hal terakhir itu senada dengan tulisan epilog dalam buku karya Dion DB Putra tersebut. Epilog berjudul Membaca Sepakbola, Menonton Perayaan Kehidupan itu ditulis oleh Yoseph Lagadoni Herin, mantan Wartawan Sepakbola & Wakil Bupati Flotim 2005-2010.

Yoseph Lagadoni Herin antara lain menjelaskan bagaimana pengertian “menonton perayaan kehidupan” itu. Pertama, perayaan manusia sebagai makhluk rasional berdimensi jamak. Di atas lapangan kita menemukan wujud manusia sebagai makhluk individu dan sosial sekaligus. Sebagai individu, seorang pesepakbola sadar bahwa dirinya adalah titik pusat yang melakukan segala sesuatu. Manusia individu adalah segala-galanya. Ke sebelas individu itu yang membentuk sebuah tim.

Kedua, perayaan manusia sebagai makhluk paradoksal. Sepakbola telah mempertontonkan manusia sebagai sosok paradoksal, yang hidup dalam pertentangan. Manusia selalu hidup dalam dua kutub yang selalu berlawanan dalam dirinya. Ia hidup dalam sukses dan gagal, gembira dan sedih, tertawa dan menangis. Semua biasa terjadi dalam sebuah pertandingan, pada masing-masing individu pemain.

Ketiga, perayaan kepribadian dan mekanisme bela diri. Melalui tulisan-tulisan tentang sejumlah nama besar pemain dan pelatih, sesungguhnya Dion Putra hendak menunjukkan, di lapangan hijau manusia sedang memperlihatkan kedirian mereka, mempertunjukkan kepribadian, yakni apa yang tampak pada ciri-ciri kemanusiaannya.

Keempat, perayaan atas nafsu berkuasa. Di atas semua itu kita sesungguhnya sedang menyaksikan bagaimana manusia sedang berusaha melampiaskan nafsu paling purba dalam dirinya, yaitu nafsu berkuasa!

Kelima, perayaan atas nasib. Akhirnya, kemenangan tidak hanya ditentukan oleh strategi sang pelatih dan kepiawaian para pemain di lapangan. Sebagaimana kehidupan, ada hal-hal yang tidak terlihat dan terbaca yang turut menentukan hasil perjuangan. Misalnya nasib baik atau buruk.

Barangkali, menurut Yoseph Lagadoni, di sinilah tersingkap sedikit jawaban atas pertanyaan mengapa puluhan bahkan ratusan ribu orang rela berduyun-duyun ke stadion untuk menyaksikan secara langsung dan ratusan juta lainnya rela duduk berjam-jam memelototi layar kaca hanya demi pertandingan sepakbola.

Betapa sepakbola telah menghipnotis manusia secara dashyat dan ikut secara determinan membentuk peradaban masyarakat. Bisa disebut, sepakbola telah menjadi simbol kehidupan kreatif dan daya hidup. Sepakbola adalah kehidupan itu sendiri. Di dalamnya, Dion DB Putra ingin terlibat lewat jurnalisme. ***

*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id

Artikel ini telah dibaca 94 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Ingin Didoakan Malaikat? Lakukan Amalan Ini!

7 Desember 2024 - 21:20 WIB

Gubernur Jabar Pilihan Rakyat

3 Desember 2024 - 15:45 WIB

Mewujudkan Indonesia Emas 2045: Kemandirian Ekonomi Berbasis SDM Tangguh dan Pemanfaatan SDA

3 Desember 2024 - 10:18 WIB

Kenaikan Gaji Guru Non-ASN dan ASN; Menjadi Cambuk Guru Guna Mencetak Generasi Emas

1 Desember 2024 - 07:09 WIB

Detik-Detik Publik Memilih

25 November 2024 - 06:09 WIB

Kualitas Debat Pilkada 2024

15 November 2024 - 08:11 WIB

Trending di Berita