Oleh : Ijang Faisal
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru-baru ini, presiden terpilih, Prabowo Subianto, melakukan sejumlah aktivitas pertemuan. Antara lain menghadiri acara ulang tahun ke-87 istri Wismoyo Arismunandar, Siti Hardjanti di Gedung Pewayanagan TMII Jakarta, tempat dimana taman mini sebagai simbol kejayaan orde baru.
Jika kemudian, kegiatan silaturahim ini disemati sebagai pertemuan Orde Baru, penulis merasa hal ini sah dan wajar adanya. Terlebih dalam konteks, tidak semua yang terjadi di masa lalu adalah tabu dan kegagalan yang harus dihindari dan dienyahkan.
Mari berkata jujur. Setelah enam presiden terpilih dalam pemilihan umum setelah tamatnya Orde Baru di bawah mendiang presiden Soeharto, jika memang era Reformasi setelahnya adalah era terbaik, mengapa masih mudah kita temukan tulisan, “Piye kabare? Isih penak jamanku, to?”
Tulisan yang disertai foto Pak Harto, sapaannya, sedang tersenyum itu semula lahir dari ungkapan akar rumput sebatas di belakang papan truk angkutan barang. Lama-lama, jargon ini menguar ke atas menjadi bahasan termasuk di kalangan menengah dan menengah atas.
Dengan demikian, seiring dengan momentum dua putusan MK dan KPU tersebut, penulis menilai tetap ada beberapa hal dari era Orde Baru, yang selain spiritnya bisa diteruskan oleh Prabowo-Gibran, juga bisa menjadi motivasi kita bersama untuk meraihnya.
Jangan pernah malu apalagi gengsi melanjutkan hal-hal baik dan bermanfaat untuk semua. Jangan juga kebencian pada suatu kaum, apalagi yang terbukti ada jasanya, membuat kita bersikap tak adil dan tak obyektif! Penulis mencatat beberapa poin legacy Orde Baru yang bisa dirajut bersama.
Pertama, stabilitas politik. Inilah salah satu kelebihan signifikan Orde Baru dibandingkan Orde Lama dan apalagi Orde Reformasi. Pak Harto, terutama, berhasil menumpas pemberontakan-pemberontakan yang mengancam kesatuan dan keutuhan bangsa, seperti pemberontakan G30S/PKI, pemberontakan DI/TII, pemberontakan PRRI/Permesta, dan pemberontakan RMS. Bandingkan dengan Era Reformasi yang tak kunjung tuntas membereskan gejala separatisme di Papua.
Soeharto juga berhasil mengendalikan partai-partai politik dan organisasi-organisasi massa (ormas) yang berpotensi menimbulkan konflik ideologi, seperti PKI, NU, Muhammadiyah, PNI, dan lain-lain. Puluhan tahun terakhir, kita bisa merasakan bahwa ideologi menjadi alat kamuflase pengungkit sentimen rakyat, karena di balik itu semua, ujung-ujungnya adalah kepentingan elektoral dan pragmatisme khususnya bagi elit parpol dan ormas. Tak ketinggalan, Orde Baru di bawah Soeharto juga konsisten menerapkan sistem demokrasi Pancasila, yang secara riil mengutamakan konsensus dan musyawarah daripada konfrontasi dan oposisi.
Kedua, pembangunan nasional berkelanjutan di berbagai bidang tak terganggu instabilitas politik. Relatif tidak ada gangguan-gangguan berarti dari dalam maupun luar negeri ketika program pembangunan dicanangkan dan dijalankan pemerintahan Orde Baru. Stabilitas politik ini juga menciptakan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Sementara di era Reformasi, semua yang dikerjakan, setidak-tidaknya habis waktu dulu untuk berbagai dialektika dan kegaduhan. Bukannya hal ini tak bagus, tapi penulis amati bahwa proses dialektika terjadi lebih banyak dangkal, tidak produktif, dan childish.
Pembangunan tersebut terlihat dari keberhasilan program swasembada pangan, transmigrasi, wajib belajar 9 tahun, dan Keluarga Berencana (KB). Swasembada pangan berhasil meningkatkan produksi pangan nasional dengan menerapkan revolusi hijau, yaitu penggunaan bibit unggul, pupuk, pestisida, irigasi, dan mekanisasi pertanian. Program ini berhasil membuat Indonesia swasembada beras pada tahun 19843.
Program transmigrasi juga efektif mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan Bali serta memanfaatkan lahan-lahan kosong di luar Jawa dan Bali. Program ini berhasil memindahkan sekitar 7 juta jiwa penduduk dari Jawa dan Bali ke daerah-daerah transmigrasi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Sementara program wajib belajar 9 tahun berhasil meningkatkan angka partisipasi sekolah dari sekitar 70% pada tahun 1970 menjadi sekitar 90% pada tahun 19965. Program ini juga berhasil menurunkan angka buta huruf dari sekitar 40% pada tahun 1970 menjadi sekitar 10% pada tahun 19966. Adapun program KB berhasil menurunkan angka kelahiran dari sekitar 40 per 1000 penduduk pada tahun 1970 menjadi sekitar 23 per 1000 penduduk pada tahun 1996. Program ini juga berhasil menurunkan angka kematian ibu melahirkan dari sekitar 600 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1970 menjadi sekitar 200 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1996.
Ketiga, pertumbuhan dan stabilitas ekonomi dirasakan hingga lapisan masyarakat terbawah. Soeharto, suka tidak suka, berhasil memulihkan kondisi ekonomi Indonesia yang hancur akibat krisis ekonomi pada masa orde lama. Beliau juga berhasil menjalin kerjasama dengan negara-negara donor dan lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti IMF, Bank Dunia, ADB, dan lain-lain. Mertua Prabowo Subianto ini juga berhasil menarik investasi asing dan swasta nasional untuk membangun sektor-sektor produktif, seperti industri, pertanian, perkebunan, pertambangan, perikanan, pariwisata, dan lain-lain.
Hal ini terlihat secara databased, yang mana peningkatan pendapatan per kapita Indonesia dari sekitar $70 pada tahun 1968 menjadi lebih dari $1000 pada tahun 1996. Pertumbuhan ekonomi ini juga menghasilkan penurunan angka kemiskinan dari sekitar 60% pada tahun 1970 menjadi sekitar 11% pada tahun 1992. Pertumbuhan ekonomi ini juga menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat di berbagai aspek, seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan lain-lain. Paling kentara adalah stabilitas harga sembako, terutama beras dan minyak, yang selain terkendali juga selalu ada, sehingga tak membuat pening masyarakat seperti pernah terjadi di awal tahun ini.
Di balik semua keberhasilan tersebut, penulis mencatat ada kekurangannya juga terutama terkait otoritarianisme, KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme), dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). Maka, Presiden Prabowo sepatutsnya bisa meneruskan bahkan menggaungkan berbagai kelebihan Orde Baru serta menekan tiga utama kekurangannya tadi!
Akhir Buruk Kebijakan
Selain meneruskan yang baik dan menekan yang buruk, Prabowo sebagai presiden lima tahun ke depan, juga harus menghindari dari prilaku kebijakan kontraproduktif dan membutuhkan cost sangat mahal dari segenap masyarakat Indonesia.
Terutama kita bisa melihat dari apa yang dilakukan oleh Amien Rais. Sebagai figur yang disebut-sebut sebagai Bapak Reformasi, faktanya adalah kebijakan yang dilakukannya dalam mengamandemen UUD’1945 adalah contoh konkrit kebijakan berujung buruk (suul khotimah).
Saat menjadi Ketua MPR tahun 1999, setidaknya empat kali amandemen dilakukan Amien yakni saat Sidang Umum MPR yang membahas amandemen UUD 1945 12-19 Oktober 1999, Sidang Umum MPR untuk amandemen kedua UUD 1945 (Agustus 2000), Amandemen ketiga UUD 1945 (9 November 2001), serta Amandemen terakhir UUD 1945 (2002).
Seluruhnya dilakukan dengan mengatasnamakan kepentingan bersama, sekalipun perjalanan waktu kemudian menunjukkan, ada motif pribadi Amien Rais terkait peluangnya menjadi Presiden/Wakil Presiden RI setelah konstitusi diubah.
Semua kita menjadi saksinya, seiring hari, maka pengaruh Amien kian redup saja. Saat Pileg 2024 lalu, partai yang didirikannya, Partai Ummat, tidak 1% pun peroleh suara sementara pragmatisme masyarakat dalam Pilpres dan Pileg 2024 kian nyaring saja tanpa bisa Amien cegah!
Akhir kata, selamat bekerja untuk Prabowo-Gibran. Nilai kebaikan darimanapun seyogyanya bisa menjadi opsi kebijakan yang dipilih. Teruskan hal-hal baik, termasuk dari Orde Baru, serta tekan dan kurangi semua kekurangan dari seluruh praktek kehidupan berbangsa selama ini. Bismillah. (**)
Penulis adalah : Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung