Oleh H. Ijang Faisal*
SLIGMAN, Profesor Psikologi Positif, mengatakan, ”Sumber kebahagiaan suatu bangsa sangat erat hubungannya dengan rasa syukur dan motivasi membalas.” Selain harus mampu membedakan antara kesalahan dengan kejahatan, maka sebuah bangsa itu juga harus belajar melihat jauh ke depan.
Rasa syukur adalah modal penting untuk mendorong optimisme. Seperti kata Seligman, ”Manusia selalu memiliki dua jenis harapan, yaitu harapan bagus dan harapan buruk.” Saya khawatir kalau para elite bangsa ini terus memperbesar ”harapan-harapan buruk”, seperti halnya pernyataan-pernyataan para pengamat dan figur yang dinamakan tokoh masyarakat itu maka kalau demikian, segala optimisme yang melahirkan ”harapan-harapan bagus” habis ditelan ”harapan-harapan buruk” karena pernyataan mereka-mereka itu.
Bangsa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang belum benar-benar kaya, tetapi juga tidak miskin-miskin amat, kita hendaklah jangan gegabah membuang baju hanya gara-gara sehelai benangnya lepas sehingga seakan-akan seluruh jalinannya terburai dan terserak.
Kita juga harus mulai menghentikan efek dendam keris Empu Gandring dan bukan terus memelihara dendam. Kalau semua pemimpin yang salah dalam mengambil keputusan selalu diidentikkan dengan penjahat, maka tersenyumlah semua penjahat di negeri ini.
Kalau penjara semakin penuh, dan penjahat negara makin banyak ditangkap dan tak pernah berhenti, jangan-jangan kita telah lebih banyak menangkap orang yang ”bersalah” ketimbang yang jahat. Kita semua tentu menginginkan, dengan demokrasi, Indonesia bisa berubah menjadi bangsa yang besar. Namun, untuk menjadi bangsa yang besar, para elite dan pemimpinnya harus bisa membedakan antara kesalahan dan kejahatan.
Pemimpin yang tak melakukan kesalahan adalah pemimpin yang tak melakukan apa-apa. Karena itu, di era perubahan ini banyak ditemui pemimpin dan birokrat yang tak melakukan apa-apa. Serapan dana APBN/APBD sangat rendah, Silpanya sangat tinggi, proyek yang dikerjakan yang gampang-gampang dan rutin-rutin saja. Tak ada yang baru, apalagi terobosan (breakthrough). Hasilnya menjadi bagus: posisi aman, jabatan terus diperpanjang atasan.
Sebaliknya, mereka yang melakukan breakthrough menghadapi risiko tinggi sebab perubahan sering kali harus dimulai dengan penghancuran belenggu-belenggu dan kekuasaan-kekuasaan lama. Risiko mengalami benturan, perlawanan dan kemungkinan ”salah” atau dipersalahkan sangat besar.
Mereka justru dipecat, diganti, atau diadili. Menghadapi krisis atau perubahan kalau tidak direspons bisa mati, tetapi kalau dihadapi dan keputusan yang diambil salah, mati juga. Karena itu, pemimpin yang menghadapi perubahan dan mau mengatasinya berpotensi melakukan kesalahan. Namun, apakah kesalahan otomatis menjadi sebuah kejahatan?
Bangsa kita harus mampu membedakan antara kesalahan dengan kejahatan, bangsa ini juga juga harus belajar melihat jauh ke depan, sehingga bangsa yang kita cintai ini bukan menjadi bangsa yang melakukan politik kedalam, dalam arti merusak bangsanya sendiri, saling hujat saling menyalahkan dan saling membuat pernyataan yang pesimis tentang arah bangsa ini kedepannya.
Seharusnya kita melakukan politik keluar yang menampilkan citra positif bangsa, adanya harapan besar menjadi bangsa yang maju dan besar, sehingga dengan demikian maka para elit bangsa akan sibuk melakukan prilaku positif dan langkah positif untuk bangsa ini karena gerakan promo itu berada di pundak para elit bangsa ini. Wallahu’alam.***
*Penulis pengamat sosial kemasyarakatan