Oleh Widodo Asmowiyoto*
HARI Senin dan Selasa 26-27 September 2022 lalu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Jawa Barat menyelenggarakan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Angkatan 47 dan 48 di Aula PWI Jabar, Jalan Wartawan II No. 23, Kota Bandung. UKW dibuka secara resmi oleh Wali Kota Cimahi, Letkol TNI (Purn) Ngatiyana.
Ketua PWI Provinsi Jabar, Hilman Hidayat, dalam sambutan pembukaan UKW menegaskan kembali bahwa penyelenggaraan UKW itu sah secara hukum. Dengan demikian para peserta –dan juga umumnya para wartawan yang organisasinya menjadi konstituen Dewan Pers—tidak perlu ragu lagi untuk mengikutinya. Mengapa?
Belakangan memang ada pihak yang mempertanyakan keabsahan posisi Dewan Pers (DP) berikut penyelenggaraan UKW. Salah satu keputusan atau peraturan Dewan Pers adalah penyelenggaraan UKW ini. Mereka yang mempertanyakan itu adalah orang-orang yang menyatakan diri sebagai “wartawan” yang tergabung dalam Dewan Pers Indonesia (DPI). Dalam hal uji kompetensi, mereka menginduk kepada pemerintah dalam hal ini Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
DPI boleh dibilang sebagai tandingan DP. Para pendukung DPI terus bergerak dan berusaha agar eksistensinya diakui oleh pemerintah. Ujungnya mereka menggugat atau mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas bunyi Pasal 15 ayat (2) huruf f, dan Pasal 15 ayat (5) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Adapun bunyi Pasal 15 ayat (2) huruf f adalah Dewan Pers memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan. Sedangkan Pasal 15 ayat (5) berbunyi keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Adapun ayat (3) dimaksud menyatakan Anggota Dewan Pers terdiri atas a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers atau komunikasi, dan bidang-bidang lainnya yang dipilih oleh oraganisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
Singkat kata, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak gugatan tersebut. Sebab, selama ini keberadaan Dewan Pers berikut kewenangannya sama sekali tidak bertentangan dengan norma konstitusi, khususnya dengan Pasal 28 UUD 1945.
Menyambut keluarnya keputusan MK itu, pada 6 September 2022 lalu Dewan Pers mengadakan acara “syukuran” di Gedung Dewan Pers Jalan Kebon Sirih No. 32-34, Jakarta Pusat. Pada kesempatan itu Ketua Dewan Pers, almarhum Prof. Dr. Ayzumardi Azra memberikan potongan tumpeng kepada Wina Armada Sukardi mewakili tim advokat Dewan Pers. (Poskota.co, Rabu, 7/9/2022)
Prof. Ayzumardi Azra mengatakan, keputusan MK tersebut diambil dengan bulat tanpa disenting opinion. Dengan demikian keberadaan UU Pers, khususnya Pasal 15 ayat 2 huruf f dan ayat 5 tetap berlaku konstitusional.
“Artinya, berdasarkan pasal itu, Dewan Pers memiliki kewenangan untuk memfasilitasi peraturan-peraturan di bidang pers dan sekaligus melaksanakannya, termasuk, tetapi tidak terbatas pada pembuatan Peraturan Dewan Pers (PDP) mengenai Standar Kompetensi Wartawan (SKW),” ujar Ketua Dewan Pers didampingi Wina Armada.
Wina Armada Sukardi menambahkan, dengan putusan Mahkamah Konstitusi itu, kini tidak ada lagi badan mana pun yang berhak mengatur dan melaksanakan SKW/UKW, kecuali Dewan Pers.
Dasar hukum daya laku SKW/UKW
Wina Armada Sukardi, mantan Sekretaris Jenderal PWI Pusat dan mantan anggota Dewan Pers itu, pada 14 Desember 2020 lalu menjelaskan secara rinci kepada para perserta TOT (Training Of Trainer) para calon penguji dan penguji UKW tentang Standar Kompetensi Wartawan (SKW).
Melalui zoom saat itu, Wina Armada menjelaskan dasar hukum daya laku SKW/UKW. Yakni terdiri atas UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers; UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Pasal 23 PP No. 10 Tahun 2018; dan Berbagai Peraturan Dewan Pers. “Status dasar hukum daya laku UKW sudah berkali-kali digugat di pengadilan, tetapi tidak pernah dikalahkan!” katanya.
Menurut Wina, dalil pihak yang menentang SKW adalah 1. Pers merupakan bagian dari demokrasi sehingga tidak ada satu badan atau lembaga pun yang boleh mengatur mengenai tata kerja wartawan; 2. Dewan Pers tidak berwenang mengeluarkan peraturan mengenai standar profesi wartawan; 3. Peraturan Dewan Pers tentang SKW bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada; 4. Kewenangan menyusun standar kompetensi wartawan ada di BNSP bukan di Dewan Pers.
Kemudian jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan (berdasarkan Pasal 7 UU No. 15 Tahun 2019), lanjut Wina, adalah UUD 1945, Tap MPR, UU/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda (Kabupaten/Kota). Sedangkan peraturan perundang-undangan mencakup: MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, dan Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk UU atau Pemerintah atas perintah UU.
“Dewan Pers merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan UU dan diberikan kewenangan untuk membuat peraturan-peraturan di bidang pers,” jelas Wina, wartawan senior yang juga sebagai advokat itu.
Saat itu Wina mengungkapkan Pasal 15 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999. Isinya, Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: a. Melindungsi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; b. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; c. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; d. Memberikan Pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Perintah Pasal 15 ayat 2 huruf f UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yakni Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers.
Wina menjelaskan, keberadaan UU No. 40 Tahun 1999 yang lahir menyusul datangnya era reformasi itu adalah produk self regulation. Artinya, UU Pers tidak mengenal Peraturan Pemerintah (PP) dan tidak ada campur tangan pemerintah; Pasal 15 ayat 2 UU Pers menganut self regulation; produk Peraturan Dewan Pers antara lain Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Wartawan, Standar Kompetensi Wartawan, Kode Etik Jurnalistik, Pedoman Hak Jawab, dan lain-lain.
Apa relasi SKW dan SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) BNSP? Pertama, BNSP dibentuk berdasarkan Pasal 18 ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo PP 10 Tahun 2018 tentang BNSP. Kedua, BNSP membentuk LPP (Lembaga Penguji Profesi) yang pelaksanaannya berdasarkan SKKNI tersebut.
Pelaksanaan sistem kompetensi kerja yang selama ini sudah berjalan di Indonesia yang dibentuk berdasarkan UU dan/atau telah diakui lembaga internasional, tetap berlaku dan disesuaikan dengan sistem sertifikasi kompetensi yang dilakukan oleh BNSP. “BNSP tidak boleh melanggar UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers,” tegas Wina Armada.
Pendek kata, menurut Wina Armada, pelaksanaan SKW/UKW tersebut sudah sesuai dengan sistem perundang-undangan, memiliki dasar hukum yang kuat, dan mengikat semua pihak baik pers maupun bukan. ***
*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id