Menu

Mode Gelap

Diskursus · 24 Sep 2023 22:46 WIB ·

Menghadapi Tantangan Zaman, PWI Mesti Beradaptasi agar Mampu “Survive”

 Menghadapi Tantangan Zaman, PWI Mesti Beradaptasi agar Mampu “Survive” Perbesar

PERSATUAN Wartawan Indonesia (PWI) berdiri di Kota Solo, Jawa Tengah, pada 9 Februari 1946, hanya beberapa bulan setelah Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sebagai organisasi profesi, pada saat itu para wartawan tidak asyik dengan dirinya sendiri, tetapi juga sangat peduli pada nasib bangsanya yang baru saja merdeka.

Setelah ikut memperjuangkan kemerdekaan itu, baik melalui pena maupun memanggul senjata, para wartawan juga ingin ikut mengisi kemerdekaan negaranya. Demi kejayaan Indonesia serta ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. PWI bukan hanya sebagai penonton perjalanan negara ini, melainkan ikut aktif –melalui peran dan fungsi yang dimilikinya—meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Dari Kongres I di Kota Solo hingga Kongres XXIV di Kota Solo lagi pada 2018 lalu serta Kongres XXV di Kota Bandung pada 24-26 September 2023 ini, PWI telah berjalan melalui beragam situasi zaman dengan segala tantangannya. Dewasa ini tantangan itu semakin berat seiring dengan perkembangan pesat teknologi digital dan masuknya platform global sehingga dunia nyaris tanpa batas.

Tiba-tiba penulis ingat buku berjudul “Perjalanan Panjang PWI” yang ditulis oleh rekan Ismet Rauf, wartawan Kantor Berita Antara (1967-2002). Wartawan senior ini kenyang pengalaman sebagai wartawan baik di dalam maupun di luar negeri. Dia pernah bertugas di belasan negara dunia, dari negara tetangga terdekat Singapura dan Malaysia hingga Australia, Eropa, Timur Tengah dan Amerika Serikat.

Buku Ismet Rauf tersebut diterbitkan oleh PWI Pusat, September 2018. Kebetulan rekan Djunaedi Tjunti Agus bersama saya dipercaya sebagai editornya. Saat itu Ketua Umum PWI Pusat adalah Pak Margiono (dua periode, 2008-2013 dan 2013-2018). Margiono kini telah almarhum. Beliau wafat Selasa pagi pada 1 Februari 2022 akibat terpapar Covid-19, dan dimakamkan pada hari itu juga di TPU Jelupang, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten.

Pesan penting Margiono

Almarhum Margiono lahir di Tulungagung, Jawa Timur pada 30 Juni 1960. Sukses berkarier sebagai wartawan dan eksekutif di Harian Jawa Pos dan kemudian juga sebagai Direktur Utama Harian Rakyat Merdeka. Setelah jabatannya sebagai Ketua Umum PWI Pusat berakhir dan digantikan oleh Atal Sembiring Depari sebagai Ketua Umum (hasil Kongres XXIV di Solo, September 2018), Margiono kemudian menjadi Ketua Dewan Penasihat PWI Pusat.

Saat Kongres XXV hari-hari ini berlangsung di Kota Bandung, rasanya layak warga PWI mengenang lagi pesan-pesan Margiono. Tentu banyak pesan yang disampaikannya selama 10 tahun memimpin PWI Pusat. Namun, melalui Kata Sambutan untuk buku karya Ismet Rauf tersebut, maka pesan-pesan almarhum Margiono terasa masih sangat penting dan relevan untuk dicermati lagi.

Almarhum menulis begini, “Masa 10 tahun itu sudah habis. Rasanya singkat. Seperti baru kemarin sore. Padahal lama sejak Agustus 2008 sampai dengan September 2018. Padahal belum banyak yang saya kerjakan. Belum banyak hasilnya”.

“Yang kelihatan hanya ada perubahan ruangan kantor PWI di Jalan Kebon Sirih itu. Perubahan di dalamnya. Interiornya. Dulu sebelum saya, kantor ini disekat-sekat. Sekarang sekatnya sedikit. Disekat pakai kaca bening sehingga kelihatan lapang”.

“Di sini kami dan teman-teman pengurus senantiasa bertemu. Rapat pleno, rapat-rapat bidang, bedah kasus, seminar kecil, Focus Group Discussion (FGD), menerima tamu, ngerumpi, terkadang juga ada yang merokok. Kantor ini menjadi hidup, juga sekretariatnya yang belakangan orangnya bertambah banyak karena urusannya juga bertambah”.

“Dari tempat yang oleh sebagian teman dikatakan ‘sekarang kantornya enak’ inilah beberapa kegiatan baru dilahirkan. Bersama para senior dan generasi baru PWI lahirlah SJI (Sekolah Jurnalisme Indonesia) dan kerja sama-kerja sama Internasional”.

Partnership kami dengan lembaga pemerintah dan swasta juga berkembang sangat baik. Dari kerja sama ini lahir program-progam pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan profesionalisme. Lahirlah SJK (Sekolah Jurnalisme Kebudayaan). Berlanjut pula Safari Jurnalistik”.

“Program itu tantangannya besar, kesulitannya banyak. Soal trust dan pendanaan. Seringkali program itu terhenti kemudian berjalan lagi. Demikian terus berlangsung dan menantang untuk mencari jalan keluarnya”.

“Saya sering mendengar bahwa dulu PWI punya program andalan namanya KLW (Karya Latihan Wartawan). Program ini legendaris. Jagoannya Pak Rosihan Anwar. Dengan SJI, KLW diteruskan, ditingkatkan, diluaskan, diinternasionalkan karena kurikulumnya juga mengadop kurikulum UNESCO”.

PWI adalah lokomotif

Almarhum Margiono melanjutkan, “Lantas ada UKW (Uji Kompetensi Wartawan), sertifikasi, verifikasi, dll. PWI adalah lokomotif program-program monumental itu. Idenya dibawa ke Dewan Pers, dikomunikasikan dengan komponen pers yang lain lalu digelorakan untuk yang pertama kalinya pada Hari Pers Nasiona (HPN) di Palembang tahun 2010 dengan nama Piagam Palembang”.

“Gerakan sertifikasi itu terus menggelinding sampai sekarang. Disepakati oleh seluruh komponen pers nasional juga ditandatangani para pemilik media-media besar. Dari sekitar 12.000 wartawan yang sekarang sudah bersertifikat, 9.000 di antaranya dihasilkan oleh Uji Kompetensinya PWI (catatan: pada 2023 ini 18.000-an anggota PWI sudah ikut UKW dan dinyatakan kompeten”.

Setelah berbicara tentang sukses penyelenggaraan peringatan HPN setiap tahun, Margiono mengulas tentang organisasi PWI di daerah-daerah yang terus menggeliat dan hampir semua ketuanya adalah generasi baru. Generasi dengan semangat dan tantangan baru pula. Tantangan keras, juga tantangan hidup mati ketika pers berada di tengah-tengah berjayanya media sosial.

Margiono menyataka begini, “Di beberapa daerah, kepada pengurus dan anggota PWI saya sering menyampaikan bahwa saat ini pers nasional berada dalam posisi di persimpangan jalan. Pertama, menghadapi makin dominan dan berjayanya korporasi. Kepentingan komersialisasi menguasai kehidupan pers kita. Kedua, hampir semua pemilik media besar terjun ke dunia politik praktis, bahkan menjadi pimpinan partai politik. Ini bisa mengkhawatirkan netralitas dan independensi pers. Ketiga, semakin dominan dan berkembangnya media sosial yang lebih cepat dan lebis bebas”.

“Ini memang zaman sulit, zaman sejuta tantangan bagi pers nasional, tentu bagi PWI sebagai organisasi profesi. Setiap zaman memang mempunyai tantangannya sendiri. Tapi rumusnya tetap sama: yang mampu beradaptasi itulah yang survive. Tidak harus yang besar dan gagah”. (Widodo A, TuguBandung.id)***

Artikel ini telah dibaca 172 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Mandatori Seputar Pansus Haji 2024

16 Juli 2024 - 18:00 WIB

Sekjen PA GMNI Abdy Yuhana Sebut Konsepsi Bernegara Oase Bagi Indonesia Raya

1 Juni 2024 - 09:34 WIB

Prabowo Presiden: Selamat Datang Orde Baru & Selamat Tinggal Reformasi!

6 Mei 2024 - 08:18 WIB

Senyum, Kunci Efektivitas Komunikasi Nabi Muhammad SAW

25 April 2024 - 23:43 WIB

PERLUKAH TEMPO MEMINTA MAAF?

26 Maret 2024 - 21:14 WIB

Mengkaji Ulang Pilpres dan Pilkada oleh Legislatif

16 Februari 2024 - 20:04 WIB

Trending di Diskursus