Oleh Entang Sastraatmadja*
DEFISIT dan Surplus adalah hal yang biasa dalam mencermati ketersediaan pangan di negeri ini. Jika produksi berlebih kita akan menyebut nya surplus, namun jika kurang dari kebutuhan dikatakan defisit. Dalam keterangan nya, seusai rapat dengan Komisi IV DPR, Menteri Pertanian menyatakan ada nya 4 komoditas pangan yang defisit dalam menghadapi bulan ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Ke 4 komoditas pangan tersebut adalah kedelai, bawang putih, daging sapi dan gula pasir. Solusinya, ya harus impor.
Stok kedelai minus 2,59 juta ton, sementara kebutuhan tahunan mencapai 2,98 juta ton. Kemudian ketersediaan saat ini hanya 391,28 ribu ton. Jadi perlu impor sebanyak 2,84 juta ton. Untuk bawang putih stoknya defisit 366,9 ribu ton. Padahal kebutuhan tahunannya mencapai 621,88 ribu ton. Sementara stok yang tersedia hanya 254,98 ribu ton, sehingga perlu impor 606,37 ribu ton.
Stok daging sapi defisit 134,35 ribu ton. Total ketersediaan domestik sekitar 572 ribu ton, sementara kebutuhan mencapai 706,38 ribu ton. Untuk itu perlu impor 193,22 ribu ton. Gula konsumsi, stoknya minus 234,69 ribu ton. Ketersediaan dalam negeri hanya 2,98 juta ton, sementara kebutuhannya 3,21 juta ton. Jadi pemerintah perlu melakukan impor 1,04 juta ton.
Ketersediaan Pangan
Sesuai dengan Ketentuan Umum dalam Undang Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang disebut dengan Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya pangan yang diperoleh dari produksi dalam negeri, cadangan pangan Pemerintah dan impor jika produksi dalam negeri dan cadangan pangan tidak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Impor kedelai sebenarnya bukan yang pertama kali kita lakukan. Sudah sejak lama para perajin tahu dan tempe sangat menyukai kedelai impor dari Amerika. Mereka betul-betul tidak menyukai kedelai produksi dalam negeri. Bukan saja bentuk kedele produksi petani kita kecil-kecil dibandingkan dengan bentuk kedelai impor yang besar-besar, ternyata “back mind” para perajin tahu dan tempe, sudah sangat terhipnotis oleh kedelai impor.
Catatan kritisnya adalah mengapa para petani kedelai dalam negeri tidak mampu menghasilkan produksi kedelai yang bentuknya besar-besar? Inilah yang butuh jawaban jujur dari kita bersama. Bukankah sudah sejak lama para peneliti dan pemulia tanaman kedelai, baik kalangan perguruan tinggi atau pun Lembaga Penelitian, melakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam terhadap budi daya kedelai ini?
Pertanyaan susulan adalah bagaimana dengan hasil semua penelitian tersebut? Benarkah kedelai itu tanaman yang tumbuh dengan baik di daerah Sub Tropis sehingga tidak cocok dibudidayakan di daerah Tropika seperti negara kita? Mengapa para peneliti dan pemulia tanaman masih belum mampu “melawan” pemikiran di atas lewat karya-karya monumentalnya, dengan mempersembahkan produksi kedelai yang hasilnya sama dengan kedelai impor dari Amerika?
Hal yang tidak jauh berbeda terjadi pula pada komoditas bawang putih. Setiap tahun kita selalu melakukan impor, karena produksi dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan masyarakat. Persoalannya, mengapa para peneliti dan pemulia tanaman bawang putih belum mampu menghasilkan produksi yang kualitasnya tidak kalah dengan bawang putih impor dari Tiongkok?
Apa sebetulnya yang menjadi kendala dan tantangan mereka sehingga tidak mampu memberikan hasil terbaik bagi bangsa dan negara? Apakah karena kurangnya dukungan anggaran untuk penelitian bawang putih, mengingat sebagian besar anggaran masih digunakan untuk pemenuhan Swa Sembada Padi, Jagung dan Kedelai? Atau ada hal lain yang hingga kini tidak pernah dipahami oleh publik?
Beberapa waktu lalu, lewat Konfrensi pers, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, pemerintah akan kembali membuka keran impor bawang putih tahun ini. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, volume impor diprediksi tak jauh berbeda. Hingga saat ini, impor bawang putih masih mencapai 95 persen dari total kebutuhan domestik.
Sebagaimana yang diketahui, berkaca dari tahun sebelumnya, Kementerian Pertanian mengeluarkan izin impor 864.000 ton. Namun yang dikeluarkan izin oleh Kementerian Perdagangan hanya 600.000 ton, dengan realisasi tidak lebih dari 475.000 ton. Jadi memang biasanya kita mengimpor untuk bawang putih sekitar 500.000 ton, dan ini sesuai dengan apa yang kita jalankan dari tahun per tahunnya.
Bawang putih adalah nama tanaman dari genus Allium sekaligus nama dari umbi yang dihasilkan. Mempunyai sejarah penggunaan oleh manusia selama lebih dari 7.000 tahun, terutama tumbuh di Asia Tengah, dan sudah lama menjadi bahan makanan di daerah sekitar Laut Tengah, serta bumbu umum di Asia, Afrika, dan Eropa. Bagi masyarakat Indonesia, bawang putih lebih banyak dijadikan sebagai bumbu masakan Tionghoa.
Selain sebagai bumbu masakan, kita bisa mengonsumsi bawang putih mentah dan mendapatkan manfaatnya untuk kesehatan. Makan bawang putih mentah dapat mengobati flu, menurunkan tekanan darah dan menjaga kadar gula dalam darah. Pengobatan dengan bawang putih, kini sudah semakin diminati banyak pihak, khusus nya mereka yang percaya dengan penyembuhan secara herbal.
Daging sapi, memang belum mampu kita hasilkan berdasarkan produksi para peternak di dalam negeri. Kebutuhan daging sapi dalam negeri jauh di bawah kapasitas yang dihasilkan. Kita betul-betul sangat tergantung kepada impor, khusus nya dari Australia, Selandia Baru dan lain sebagai nya. Ketergantungan ini perlu untuk di kurangi, karena kalau tidak akan menherat kita sendiri. Lalu, orang pun bertanya: “Apa kabar swa sembada daging sapi” yang pernah dikumandangkan sejak puluhan tahun lalu?
Gula pasir pun kini sudah mulai langka di pasaran. Dalam Rapat Koordinasi Ketersediaan dan Stabilisasi Harga menjelang Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri di Kota Bandung, Jawa Barat beberapa hari lalu, terungkap gula pasir memang mulai “menghilang” dari pasaran. Atas hal yang demikian, sangat tepat bila Pemerintah segera menempuh jalur impor agar kebutuhan masyarakat tetap tercukupi. Apakah fenomena gula pasir ini akan menyerupai minyak goreng, kelihatan nya kita harus menunggu waktu dan berharap tidak akan terjadi.
Inilah sekelumit catatan ringan atas 4 komoditas pangan strategis yang kini diakui Pemerintah mengalami defisit. Kita percaya dengan seabreg potensi yang dimiliki, ke depan kita tidak perlu impor untuk menanganinya. Namun dengan terus berjuang untul meningkatkan produksi dalam negeri dan memperkuat posisi cadangan pangan Pemerintah, maka ketersediaan pangan bakal tercukupi. Pertanyaannya adalah mampukah kita meminta Pemerintah untuk mewujudkannya?***
*Penulis Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat