“Dedi Mulyadi dan ‘Hemat’ Rp 47 Miliar: Populisme Digital atau Ancaman Kebebasan Pers?”

Oleh: M. ILMI HATTA

Jurnalis Senior/Dosen Fak. Psikologi Universitas Islam Bandung

GUBERNUR Jawa Barat, beberapa waktu lalu di depan Komisi II DPR RI, menyampaikan bahwa,  anggaran Diskominfo Jabar bisa ditekan menjadi hanya 3 miliar rupiah. Menurunnya anggaran ini, karena menurut Dedi, promosu provinsi Jabar dilakukan melalu akun media sosial pribadinya, “KDM Channel”.

Pernyataan tersebut, tentu saja memunculkan perdebatan yang harus dikaji lebih jauh lagi. Penghematan puluhan miliar itu, tentu saja membuat decak kagum, karena di tengah minimnya dan penghematan anggaran negara pada berbagai sektor, pernyataan tersebut menakjubkan. Namun di balik kekaguman penghematan puluhan miliar tersebut, ada dampak serius bagi kebebasan pers, keterbukaan informasi publik serta kelangsungan jurnalisme di Jawa Barat.

Dari ucapan Dedi Mulyadi, bisa diartikan, keberadalan jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi, sebagai kontrol sosial, tidak diperlukan lagi dalam komunikasi pemerintahan povinsi Jabar. Perlu diingat, jurnalis bukan hanya sekedar menyalurkan informasi seadanya, tapi informasi disajikan dengan menyaring fakta, memverifikasi fakta dan mempunyai prinsip cover both side. Tidak dipungkiri, youtube atau platform pribadi pejabat bisa mempercepat penyebaran informasi, namun kerja jurnalistik berproses, dimulai dari pengecekan data, verifikasi hingga melakukan investigasi, yang tidak bisa digantikan begitu saja. Jika Pemprov Jabar hanya bergantung pada satu kanal yang sepenuhnya dikendalikan sang pejabat. Apa jaminan bahwa informasi yang disajikan objektif dan tidak mengandung bias? Tentu saja Masyarakat berhak meragukan objektifitas informasi yang disampaikan, karena dibalik “effisiensi” dibelakangnya ada resiko monopoli narasi oleh kekuasaan.

Ada pertanyan penting, mengenai efisiensi anggaran dari 50 miliar rupiah menjadi hanya 3 miliar saja, ada sisa dana 47 miliar rupiah, pertanyaannya ke mana beralihnya sisa dana 47 miliar tersebut? Jika memang ada penghematan besar, maka publik harus mengetahui dan memperoleh informasi kemana anggaran dialihkan. Tanpa ada kejelasan dan transparansi, pernyataan adanya effisiensi anggaran, bisa menimbulkan Kesan sebagai jurus politik populis, yang bisa saja untuk menutupi minimnya akuntabilitas.

KDM Channel, yang diklaim bisa menjadi media yang effektif dan effisien dalam menginformasikan tentang provinsi Jabar, sesungguhnya berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. KDM Channel, merupakan akun pribadi, artinya akun pribadi digunakan untuk menyampaikan informasi resmi pemprov Jabar. Seyogyanya seorang pejabat perlu menjaga batas tegas antara kepentingan negara dan kepentingan individu, apalagi pada kanal youtube, terdapat monetisasi. Sehingga pertanyaan usil menggelitik pun bisa muncul, apakah benar konten-konten yang mencul di kanal pribadi pejabat untuk mengedukasi publik atau ajang pencitraan politik atau hanya iklan terselubung saja, atau bahkan kesempatan mempromosikan diri sebagai calon presiden di masa depan?

Dalam beberapa bulan terakhir ini, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Hampir terjadi di semua sektor pekerjaan di Indonesia. Perusahaan media pun tak bisa mengelak dari badai PHK. Di Jawa Barat sudah banyak media online dan  beberpa biro media Televisi, menutup kantornya. Media lokal Jawa Barat banyak yang mengandalkan keberlangsungan operasionalnya dengan mengandalkan kontrak kerja dengan Diskominfo Jabar untuk menopang operasioanal mereka. Pemangkasan anggaran publikasi Diskominfo, tentu saja berdampak pada pada kelangsungan media lokal Jabar. Di saat seperti ini seharusnya pemerintah Provinsi Jabar hadir, untuk menyelamatkan media lokal tersebut agar tetap hidup dan untuk menahan laju angka pengangguran, bukan membanggakan effisiensi anggaran karena berpindah ke platform.

Untuk menjunjung nilai transparansi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu membuka forum dialog dengan semua pihak, seluruh organisasi resmi jurnalis, lembaga survei independen, hingga akademisi.  Dengar pendapat atau konsultasi publik mengenai efektivitas saluran komunikasi pemerintah dan dampak sosial-ekonominya akan sangat membantu. Di sinilah peran pers resmi (bukan hanya kanal media sosial pemimpin daerah) sangat dibutuhkan untuk mendokumentasikan proses, menyuarakan kritik, dan mencegah “kotak hitam” anggaran.

Memang, ide memanfaatkan platform digital pribadi sebagai inovasi patut diapresiasi. Namun, inovasi tersebut tidak boleh mengorbankan prinsip keadilan informasi. Penyebaran berita lewat satu sumber apalagi seorang individu berisiko menciptakan “gema” yang sempit di kalangan masyarakat. Gubernur adalah pemimpin publik, bukan sekadar influencer; oleh karena itu, segala saluran komunikasi baik situs resmi Pemprov maupun kanal YouTube harus berjalan di bawah pengawasan institusional dan akuntabilitas yang memadai.

Klaim efisiensi anggaran publikasi oleh Gubernur Dedi Mulyadi tidak boleh berhenti sekadar pada angka fantastis di DPR RI. Pemprov Jawa Barat hendaknya; merilis laporan lengkap tentang pengalihan sisa dana, menetapkan metode evaluasi untuk mengukur efektivitas setiap kanal komunikasi digital, melibatkan jurnalis profesional dalam setiap tahap penyusunan konten publik. Tanpa langkah-langkah tersebut, kebanggaan atas “penghematan” hanya akan menjadi tameng yang menutupi pengabaian nilai-nilai demokrasi: kebebasan pers, keterbukaan informasi, dan akuntabilitas pemerintahan. Kritik ini diharapkan memantik perbincangan lebih luas, agar kebijakan efisiensi anggaran benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat, bukan sekadar citra pemimpin.***

 

Komentar