Oleh Widodo Asmowiyoto*
JUMLAH kasus pembunuhan di tanah air selama tahun 2022 ternyata tidak sedikit. Angkanya mencapai ratusan. Keluarga dekat korban penghilangan nyawa umumnya berduka. Bahkan bisa mengalami kesedihan yang mendalam dan berkepanjangan. Traumatis.
Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri mencatat, selama 2022 lalu terjadi 700 kasus pembunuhan. Dari jumlah itu ada beberapa yang sangat menonjol. Salah satunya adalah pembunuhan terhadap Brigadir Pol. Nofriansyah Yosua Hutabarat atau yang lebih dikenal dengan Brigadir Yosua. (pusiknas.polri.go.id)
Disebut sangat menonjol karena pelaku utamanya adalah pimpinannya, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, Irjen Pol. Ferdy Sambo. Dia adalah perwira tinggi Polri yang seharusnya mampu memberi contoh dalam pengendalian diri. Hingga akhir 2022 persidangan kasus ini masih terus bergulir di kantor pengadilan.
Jika menyimak penyebab terjadinya kasus-kasus pembunuhan, biasanya berkisar pada masalah ini: cemburu, sakit hati, dendam. Hal ini menjadi sangat berlebihan atau ekstrem manakala diikuti rasa marah atau emosi berlebihan. Apalagi jika salah satu pihak merasa lebih kuat secara fisik atau kedudukan.
Dalam kasus penghilangan nyawa Brigadir Yosua, Ferdy Sambo punya kedudukan yang jauh lebih tinggi dari ajudannya itu. Dalam dunia aparat kepolisian mungkin ibarat bumi dan langit. Hingga kini belum jelas benar apakah Yosua menyelingkuhi istri Sambo. Ataukah ada penyebab atau alasan lain yang lebih berat sehingga Sambo menghabisi Yosua.
Cara jitu mengendalikan emosi
Kasus pembunuhan Brigadir Yosua dan juga kasus pembunuhan lainnya biarlah diselesaikan oleh pihak berwenang di bidang hukum dan keadilan. Terpenting bagi masyarakat luas yang masih punya pikiran dan sikap normal adalah bagaimana belajar mengendalikan emosi atau marah ketika “bersinggungan” dengan pihak lain.
Dalam pandangan pakar kesehatan mental, banyak faktor yang menyebabkan manusia marah. Namun disarankan agar manusia belajar untuk mengontrolnya karena emosi dan kemarahan akan berdampak negatif.
Kita bisa saja memilih untuk tetap marah, namun kita juga bisa mengendalikannya jika berusaha. Semua pilihan ada di tangan kita. Memilih untuk tetap marah tak terkendali sesungguhnya akan merugikan diri kita sendiri, termasuk kesehatan. Karena itu penting untuk mengetahui bagaimana cara mengendalikan emosi atau kemarahan. (klinikdokter.com, 1/12/2021, dr. Nitish Basant Adnani, BMedSc, MSc, 12 Cara Jitu untuk Mengendalikan Emosi Berlebih)
Emosi yang berlebih dapat diarahkan menjadi hal yang lebih produktif sehingga menghasilkan sesuatu yang bernilai positif. Karena itu penting untuk menjaga emosi tetap terkendali. Berikut beberapa cara mengendalikan emosi yag mungkin kita butuhkan:
- Sebelum marah, berhitunglah dari 1 hingga 10. Apabila kita sangat marah, berhitunglah hingga 100. Pada saat kita berhitung, denyut nadi akan turun dan mungkin kemarahan akan reda.
- Tarik napas yang dalam dan lambat.
- Berolahraga agar emosi stabil.
- Lakukan relaksasi otot.
- Cari kata atau frasa yang menenangkan.
- Kelola emosi dengan mendengarkan musik.
- Mencoba sesuatu yang berbeda.
- Jangan bicara.
- Kendalikan emosi dengan menenangkan diri.
- Berhenti sejenak dari aktivitas.
- Tuliskan kekhawatiran kita.
- Koseling dengan terapis, psikolog atau psikiater agar kemarahan yang berlebih bisa teratasi.
Nasihat Cak Nun
Solusi dari kalangan pakar kesehatan atau pendekatan ilmu pengetahuan tersebut bisa saja diperpanjang. Namun juga ada solusi yang dikemukakan kalangan agamawan dan hal itu juga relatif mudah diperoleh dari berbagai sumber.
Kali ini kita simak pendapat budayawan sekaligus agamawan Emha Ainun Nadjib yang akrab dipanggil Cak Nun. Melalui sebuah video Tik Tok berjudul “Pengingat Diri” dengan editor Eddy Rikarno, Cak Nun memberi wejangan berikut:
Orang itu dari mulai punya sepeda terus punya sepeda motor, dia mulai muncul kesombongan. Dari punya motor menjadi punya mobil tambah lagi kesombongan. Jadi sebenarnya dia terancam oleh kelemahan jiwa. Jadi setiap akses yang naik atau berkembang itu, risikonya –karena dia harus diwadahi jiwa yang manusia yang lemah– maka ekesnya adalah kesombongan, keangkuhan.
Jadi, singkat kata, makin kita kaya makin terancam untuk hancur oleh kesombongan. Bukan hanya kaya, tapi makin pintar juga biasanya makin sombong. Jadi ada yang namanya kesombongan feodal untuk orang-orang kaya. Ada kesombongan kuasa. Orang itu makin berkuasa makin sombong, makin tidak tahu berdiri sejajar dengan orang lain.
Jadi, kekuasaan menciptakan kesombongan, kekayaan menciptakan kesombongan. “Saya ingin mengatakan, kepandaian juga sangat berbahaya untuk memunculkan kesombongan. Dalam bahasa popular kita sebut keangkuhan intelektual,” ujar Cak Nun.
Tapi yang lebih berbahaya lagi menjadi orang saleh, orang alim, itu juga bisa menimbulkan kesombongan. Jadi, banyak orang-orang yang beragama dengan tekun, salah satu hasilnya dia menjadi sombong atas orang lain. Diam-diam selalu merasa lebih hebat dari orang lain, lebih masuk surga daripada orang lain, lebih diterima Allah dari orang lain.
Jadi, menurut Cak Nun, sesungguhnya ajaran yang paling dahsyat keindahannya adalah ajaran mengenai tawadhu, ajaran mengenai kerendahan hati. Jadi, orang salat, orang beribadah, itu adalah latihan untuk mencampakkan diri, bukan untuk mengunggul dan menegakkan diri. Mencampakkan diri di hadapan Allah. Kita bersujud-sujud, tersungkur-sungkur, supaya kita siap untuk berlaku rendah hati kepada siapa pun.
Karena sekarang ini, betul-betul bukan hanya orang kaya, bukan hanya orang kuasa, bukan orang pintar, tapi orang alim juga sombong. Itu namanya “kesombongan orang alim”. Jadi bukan lantas kita jangan jadi alim supaya tidak sombong. Atau jangan jadi kaya supaya tidak sombong.
“Tidak begitu,” tegas Cak Nun. “Kayalah tapi tidak usah sombong, kuasalah tapi rendah hati. Pandailah supaya –karena itu– menjadi justru lebih arif. Menjadi alim dan salehlah supaya kamu mampu merendahkan diri di bawah orang yang paling rendah pun di kampung-kampung kumuh tempat engkau lewat.” ***
*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id