Unla dan DSI Teken MoU, Dorong Paradigma Hukum Menuju Restorative Justice

KOTA BANDUNG (TUGUBANDUNG.ID) – Universitas Langlangbuana (UNLA) kembali memperkuat jejaring akademis dan praktisi hukum dengan menggelar penandatanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) bersama Dewan Sengketa Indonesia (DSI). Kegiatan ini dirangkaikan dengan Seminar Nasional serta penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (MoA) antara Fakultas Hukum dan Pascasarjana UNLA dengan DSI.

Acara yang berlangsung pada Rabu, 10 Desember 2025 ini digelar secara hibrid, berpusat di Wisma Buana Universitas Langlangbuana, Jl. Karapitan No. 116, Kota Bandung.

Rektor Universitas Langlangbuana, Irjen Pol. (P) Dr. Drs. A. Kamil Razak, S.H., M.H., hadir langsung untuk memberikan sambutan sekaligus menandatangani kerja sama tersebut. Dari pihak mitra, hadir Presiden Dewan Sengketa Indonesia (DSI), Prof. Sabela Gayo, S.H., M.H., Ph.D., CPL., CPCLE.

Dalam pidato sambutannya di hadapan para dosen, mahasiswa, dan praktisi hukum, Rektor UNLA menekankan pentingnya pergeseran paradigma hukum di Indonesia. Ia menyoroti bahwa pendekatan retributif yang berfokus pada pembalasan dan penghukuman semata sering kali tidak menyelesaikan akar masalah.

“Seringkali, putusan pengadilan meninggalkan luka baru, memutus tali silaturahmi, dan tidak memulihkan kondisi sosial yang terkoyak akibat tindakan atau perilaku dari pelaku,” ujar Kamil Razak.

Menurutnya, kehadiran konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) menjadi angin segar di tengah kebuntuan legalitas formal. Ia mengibaratkan pendekatan ini sebagai sumber harapan baru bagi pencari keadilan.

“Pendekatan Restorative Justice hadir sebagai ‘oase’. Ia hadir sebagai sesuatu yang menyejukkan, memberikan harapan baru, dan menjadi tempat untuk memulihkan energi dalam penegakan hukum,” tegasnya.

Rektor Universitas Langlangbuana, Irjen Pol. (P) Dr. Drs. A. Kamil Razak, S.H., M.H., bersama Presiden Dewan Sengketa Indonesia (DSI), Prof. Sabela Gayo, S.H., M.H., Ph.D., berfoto bersama usai penandatanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antara Unla dengan Dewan Sengketa Indonesia (DSI). (Foto: Humas Unla).*

Lebih lanjut, Kamil mengingatkan kembali esensi dasar dari hukum itu sendiri. “Konsep ini menawarkan jalan untuk kembali pada esensi hukum yang memanusiakan manusia, karena pada dasarnya hukum untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum,” tambahnya.

Dalam seminar yang turut dihadiri oleh Presiden Dewan Sengketa Indonesia (DSI), Prof. Sabela Gayo, S.H., M.H., Ph.D., tersebut, Rektor juga menggarisbawahi perbedaan mendasar antara arbitrase dan mediasi. Jika arbitrase masih bersifat memutus benar-salah, mediasi dalam kerangka Restorative Justice tidak mencari pemenang atau pecundang.

“Mediator hadir bukan sebagai hakim atau arbiter yang memaksakan keputusan. Mediator adalah fasilitator dialog yang mempertemukan hati dan pikiran para pihak,” jelas Kamil.

Ia berharap melalui seminar ini, UNLA dapat memelopori pemikiran bahwa hukum modern harus selaras dengan nilai kearifan lokal, seperti musyawarah mufakat. Hal ini dinilai sejalan dengan amanat UU No. 1 Tahun 2023 tentang Hukum Pidana yang mengedepankan keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif.

“Tujuannya adalah mencapai win-win solution yang lahir dari kesadaran dan tanggung jawab, bukan karena paksaan,” pungkasnya.

Fokus pada Restorative Justice

Seminar nasional Unla bekerjasama dengan DSI ini mengangkat tema krusial, yakni “Peran Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Berbasis Restoratif Justice di Masyarakat”. Topik ini dipilih untuk meningkatkan wawasan keilmuan masyarakat, khususnya mahasiswa, dosen, dan praktisi hukum mengenai pentingnya peran mediator dalam sistem hukum modern.

Untuk mengupas tuntas tema tersebut, panitia menghadirkan dua narasumber ahli, yaitu Hakim Tinggi Yustisial Badan Strategi Kebijakan (BSDK) Mahkamah Agung RI, Dr. H. Mardi Candra, S.Ag., M.Ag., M.H., CPM., CPArb., dan Dekan Fakultas Hukum Unla, Dr. Eni Dasuki Suhardini, S.H., M.H.. Jalannya diskusi dipandu oleh moderator Dr. Baharudin K.S., S.H., M.H. (Dosen FISIP Unla).

Dalam pemaparannya yang bertajuk “Peran Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Berbasis pada Hukum Progresif untuk Mewujudkan Keadilan Substantif”, Mardi Candra menyoroti bahwa hukum tidak boleh bersifat kaku dan hanya terpaku pada teks undang-undang semata.

“Hukum progresif adalah pemikiran hukum yang menyatakan bahwa hukum dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya. Sehingga hukum harus dinamis dan aparat penegak hukum harus berani membuat terobosan,” ujar Mardi di hadapan para peserta seminar.

Menurutnya, pendekatan formalistik sering kali menjauhkan pencari keadilan dari rasa adil itu sendiri. Oleh karena itu, ia mendorong penerapan keadilan substantif yang menggunakan hati nurani dan tidak terikat sepenuhnya dengan prosedur formal yang kaku.

Mardi menjelaskan bahwa mediasi memiliki titik singgung yang erat dengan keadilan substantif karena sifatnya yang humanis dan fleksibel. Berbeda dengan jalur litigasi di pengadilan yang seringkali memakan waktu dan biaya, mediasi menawarkan solusi yang lebih cepat, sederhana, dan biaya ringan.

“Dalam mediasi, tujuannya adalah win-win solution atau sama-sama untung. Ini penting untuk menghindari permusuhan berkepanjangan yang sering terjadi jika sengketa diselesaikan lewat putusan hakim yang bersifat menang-kalah,” jelasnya.

Lebih lanjut, Mardi Candra juga membahas penerapan mediasi dalam perkara pidana melalui pendekatan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Ia menekankan bahwa dalam pendekatan ini, fokus utamanya adalah pemulihan keadaan, bukan sekadar pembalasan.

Narasumber dan moderator seminar berfoto bersama dengan Rektor Unla (Foto: Humas Unla).*

“Restorative justice menitikberatkan pada adanya musyawarah dan partisipasi langsung pelaku, korban, dan masyarakat. Pelaku diarahkan untuk bertanggung jawab, dan pemidanaan harus diposisikan sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir,” tegas Mardi.

Ia menambahkan bahwa ada kesamaan mendasar antara mediasi dan hukum progresif, yakni keberanian untuk melakukan rule breaking atau keluar dari rumusan hukum yang kaku demi mencapai keadilan yang lebih baik bagi masyarakat.

“Kita harus berani menempatkan manusia sebagai subjek hukum. Hukum harus melayani manusia, jangan sampai manusia justru menjadi budak hukum,” pungkasnya.

Sementara itu narasumber kedua, Dr. Eni Dasuki Suhardini, S.H., M.H., menegaskan pentingnya peran mediator sebagai solusi efektif dan humanis dalam penyelesaian sengketa. Ia menjelaskan bahwa sengketa dapat diselesaikan melalui jalur litigasi di pengadilan atau melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang menawarkan pendekatan lebih modern.

Menurutnya, penyelesaian non-litigasi memiliki sejumlah keunggulan, seperti proses yang lebih cepat, efisien, bersifat tertutup, serta memungkinkan tercapainya win-win solution. “Mediasi sebagai bagian dari APS dilakukan berdasarkan konsensus para pihak dengan bantuan mediator yang bersifat netral dan tidak memiliki kewenangan memutus,” kata Eni.

Eni Dasuki juga menyoroti peran mediasi dalam penerapan keadilan restoratif (Restorative Justice/RJ) pada perkara pidana. Berbeda dari mediasi konvensional, RJ menekankan dialog untuk memulihkan hubungan antara tersangka, korban, keluarga, dan masyarakat. Pendekatan ini memiliki dasar hukum yang kuat, di antaranya Perpol Nomor 8 Tahun 2021 dan Perja Nomor 15 Tahun 2020.

Acara ini ditutup dengan sesi tanya jawab interaktif antara narasumber dan peserta seminar.

Peresmian Kelas Internasional

Selain seminar dan penandatanganan kerja sama, acara ini juga dimanfaatkan Unla untuk meluncurkan program akademis baru, yaitu Kelas Internasional Program Doktor Ilmu Hukum ditandai dengan prosesi pemotongan tumpeng sebagai simbol peresmian.

Prosesi pemotongan tumpeng sebagai simbol peresmian Kelas Internasional Program Doktor Ilmu Hukum Unla (Foto: Humas Unla).*

Ketua Pelaksana, Prof. Dr. H. Widhi Handoko, S.H., Sp.N., menyampaikan bahwa rangkaian kegiatan ini merupakan wujud pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi serta upaya pengembangan kemitraan strategis kampus.

Acara yang dimulai sejak pukul 08.30 WIB ini dihadiri oleh berbagai elemen, mulai dari mahasiswa, dosen, pimpinan struktural Unla, perwakilan perguruan tinggi, perwakilan Polda Jabar, Kejaksaan Tinggi Jabar, lembaga pemerintah terkait, hingga praktisi hukum. Kehadiran beragam pihak menegaskan komitmen Unla untuk terus memperluas jejaring dan memperkuat peran akademisi dalam pengembangan sistem penyelesaian sengketa yang lebih humanis dan modern. (NA)***

Komentar