KOTA BANDUNG (TUGUBANDUNG.ID) – DALAM era digital dan serba instan, seni dan budaya Indonesia sebenarnya berada dalam ancaman besar. Namun, untuk mempertahankan seni dan budaya tetap berada dalam ekosistem yang sehat dan tepat, tentunya akan sangat penting mencari strategi untuk mempertahankan seni dan budaya di era digital seperti saat ini. Itulah yang menjadi premis buku bertajuk Seni & Ketahanan Budaya yang ditulis oleh Prof Endang Caturwati, Guru Besar di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.
Buku tersebut dirilis pada Sabtu (10/12/2022) di Gedung Bale Rumawat, Universitas Padjajaran, Bandung. Budayawan Universitas Padjadjaran Prof Dr Ir Ganjar Kurnia, DEA yang juga pupuhu Bale Rumawat Padjadjaran turut mendukung event tersebut.
Dalam kegiatan peluncuran sekaligus syukuran terbitnya buku Seni & Ketahanan Budaya tersebut, juga digelar sejumlah pertunjukan seni seperti tari Kelangan dari Cantika Studio dan tari prosesi tumpeng dari angkatan 2022 Pascasarjana ISBI Bandung.
Acara peluncuran buku ini didukung oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Jawa Barat. Ketua Panitia Peluncuran Buku Budi Dalton menjelaskan bahwa peluncuran dan bedah buku tersebut sekaligus menjadi acara selamatan terbitnya buku.
Hal ini ditandai dengan prosesi pemotongan tumpeng yang digelar sehabis acara. Budi Dalton berharap, dengan diterbitkannya buku tersebut bisa membantu dan memberikan landasan bagi para seniman, akademisi, praktisi, dan pelaku budaya untuk tetap menjaga seni dan ketahanan budaya di era digital dan teknologi seperti saat ini.
“Bisa dikatakan bahwa acara ini merupakan acara peluncuran sekaligus syukuran karena terbitnya buku tersebut. Kami berharap semoga buku ini nantinya juga ikut mewarnai khazanah literasi Nusantara, khususnya bagi para pelaku seni, praktisi, dan akademisi,” kata Budi Dalton.
Pada acara peluncuran buku tersebut ada tiga orang pembahas yang masing-masing memilih bab atau bagian dalam buku yang akan dibahas. Ketiganya adalah Miranda Risang Ayu, S.H., LL.M., Ph.D, kemudian Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA, serta Prof Dr. Arthur S. Nalan, S.Sen., M.Hum.
Ketiganya membahas sejumlah hal yang berbeda dan unik dari buku yang disusun dan ditulis oleh Prof Endang Caturwati. Miranda Risang Ayu membahas tentang “Bulan Trisna Djelantik Menari Untuk Semesta” yang diambil dari Chapter 8. Prof Setiawan Sabana membahas tentang “Merayakan Jaman Kertas di Era Awal Digital” yang diambil dari Chapter 11. Sementara Prof Arthur S. Nalan mengupas tentang “Strategi Pertunjukan Ballet di Era Digital” yang diambil dari Chapter 4.
Eksplorasi
Dalam paparannya, Prof Endang Caturwati mengungkapkan alasan kenapa buku ini didiskusikan. “Sebab buku ini adalah hasil dari riset, eksplorasi, meneliti, dan mengamati, bagaimana ibu Miranda dengan gurunya, menari dengan berbeda, termasuk menari di atas batu kubur Sumba (NTT) saat pengantin,” ungkap Endang.
Di buku ini juga disebutkan bahwa panggung tidak cukup untuk menari, seniman juga harus bertahan di manapun berada. Apapun kondisinya, dan tantangannya. Tiga chapter dipilih karena totalnya 12 chapter dan sisa chapternya dibagi untuk dibahas di tempat lain.
Buku ini, kata Endang Caturwati, merupakan bunga rampai yang menceritakan kisah-kisah menghidupkan budaya, terdiri dari 12 chapter, hasil dari penelitian, tulisan lepas, jurnal, dan sebagainya. Ada beberapa materi yang juga menjadi bahan ajar, yang bisa digunakan oleh mahasiswa Pascasarjana Seni.
“Karena saya mengajar kajian seni pertunjukan dan visual, dan berkolaborasi dengan banyak orang. Di zaman videografi, ini adalah tantangan bagi seni budaya tradisional. Di dalam buku ini berbagai strategi, dan cara untuk mempertahankan kesenian dan budaya di era teknologi. Tantangan lainnya seperti covid, pandemi, dan hal-hal lainnya juga menjadi tantangan bagi seni dan budaya Nusantara,” ujarnya menguraikan.***
Komentar