Oleh Widodo Asmowiyoto*
BAGI yang awam tentang pohon bambu, mungkin punya pertanyaan sederhana? Apa sih manfaat pohon bambu? Mungkin jawabannya lari kepada kenyatan yang sering terlihat. Misalnya hanya untuk pagar pekarangan; sebagai gedeg (anyaman bambu untuk penyekat ruangan); sebagai penyangga sebuah proyek bangunan. Atau paling maksimal untuk angklung.
Tunggu dulu. Bagi para pakar yang paham tentang tentang bambu, keberadaan bambu dapat memberikan banyak manfaat. Deputi Pangan dan Agribisnis, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, Musdhalifah Machmud, berpendapat, “Sektor pertanian/perkebunan bambu mampu memberikan kontribusi pada perekonomian masyarakat dan negara. Serumpun bambu itu sama dengan sejuta makna, sejuta manfaat, sejuta karya, sejuta pesona, yang akan mengguncang dunia.”
Berbicara dalam sebuah FGD (Focus Group Discussion), Musdhalifah mengajak kalangan swasta dan petani untuk bersinergi memanfaatkan bambu agar memberikan manfaat ekonomi secara luas dalam menyongsong kebangkitan bambu Indonesia. Korporasi petani memerlukan komitmen dari semua pihak terkait. (www.ekon.go.id, 4/5/2021)
Musdhalifah mengingatkan, Indonesia ini memiliki 176 spesies bambu dari total 1.620 jenis bambu di dunia yang berasal dari 80 negara. Artinya 10 persen jenis bambu ada di Indonesia. Bahkan sekitar 105 jenis bambu yang ada di Indonesia merupakan tanaman endemik. Di antara 50 persen jenis bambu di negeri kita merupakan bambu endemik (unik dan bisa diusahakan) dan separuh dari jumlah itu telah dimanfaatkan oleh masyarakat.
Karena itu pemerintah menganggap bahwa bambu sangat penting untuk dikembangkan ke arah ekonomi kerakyatan dengan sentuhan teknologi agar nilai tambah bambu semakin baik. Bambu bermanfaat bagi ekonomi, konservasi, dan kebudayaan. Indonesia diperkirakan mempunyai 1 juta hektare lebih tanaman bambu, namun hanya 25.000 ha yang telah dikelola dalam bentuk hutan/kebun bambu. Sedangkan sisanya tumbuh secara sporadis. Di Indonesia, bambu memiliki potensi yang sangat menjanjikan untuk dimanfaatkan dengan baik. Tumbuhan ini pun mudah dikembangkan dan mempunyai daur hidup yang relatif cepat dengan waktu panen hanya 3-4 tahun.
Musdhalifah mengingatkan perlunya perkebunan bambu dan industri bambu dapat didorong, dikembangkan, dan disinergikan dengan program kementerian atau lembaga guna membentuk model pengelolaan serta pemanfaatan bambu berbasis industri rakyat terpadu. Dia menyebut Saung Udjo dengan angklungnya yang sudah mendunia. Ada juga kerajinan gitar dari bambu yang sudah menembus pasar Eropa. Selain itu ada gerakan 1.000 desa bambu yang dinisiasi oleh Yayasan Bambu Lestari, The International Tropical Timber Organization (ITTO) dan Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Contoh sukses: obyek ekowisata Boon Pring
Contoh sukses pemanfaatan bambu adalah obyek wisata/ekowisata Boon Pring yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Kerto Raharjo, Desa Sanankerto, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Tidak hanya menjadi destinasi, tetapi oyek wisata ini juga menjadi pusat penelitiaan di sektor tanaman bambu.
Rabu 3 Agustus 2022 lalu TuguBandug.id sempat mengunjungi kebun bambu yang dijadikan sebagai obyek wisata itu. Berjarak sekitar 40 km ke arah selatan Kota Malang, obyek wisata ini seluas 36,8 ha dan mempunyai 115 spesies bambu. Salah satu andalannya adalah arboretum bambu.
Boon Pring juga menjadi laboratorium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di bidang tanaman bambu. Salah satu jenis bambu yang paling langka dinamai bambu purba. Akar pohon bambu itu unik karena tidak menancap ke tanah tetapi merambat. Bambu tersebut tergolong langka di Indonesia. “Makanya, LIPI telah menyumbang 42 jenis bambu di sini,” ungkap Ketua BUMDesa Kerto Raharjo, Sukoyo Samsul Arifin. (www. jawapos.com, 28/3/2021)
Sebenarnya destinasi wisata tersebut sudah lama ada. Yakni sejak 1980-an. Hanya, waktu itu namanya masih Taman Wisata Andeman. Pengelolannya belum maskimal. Bahkan sempat vakum puluhan tahun. Wahana itu akhirnya dikelola lebih serius pada 2017. Bersamaan dengan berdirinya BUMDes Kerto Raharjo, badan usaha itu lalu diberi kewenangan oleh Pemerintah Desa Sanankerto untuk mengelola destinasi wisata yang juga mempunyai telaga tersebut.
Modal untuk kembali mengelola wahana itu sangat pas-pasan. Karena itu, lewat BUMDes ini, masyarakat digerakkan untuk bergotong-royong membenahi obyek wisata tersebut. Pelan-pelan infrastruktur mulai dibenahi. Temasuk manajemen pengelolaan ditata. Karyawan BUMDes semuanya berasal dari warga desa.
Seiring berjalannya waktu, pelan-pelan wisatawan mulai berdatangan. Nama Boon Pring kian dikenal. Promosi lewat berbagai media gencar dilakukan. Hasilnya di luar dugaan. Pada tahun pertama pengelolaan, BUMDes bisa meraup omzet Rp 994 juta. Selama empat tahun beroperasi, penghasilan yang diraih mencapai Rp 11,3 miliar.
“Apalagi, kami bisa memberdayakan ekonomi masyarakat Desa Sanankerto yang dulunya banyak pengangguran. Total ada 110 karyawan yang kami rekrut,” ungkap Sukoyo.
Tidak hanya menjadikan warga desa sebagai karyawan. Keluarga mereka yang tidak punya pekerjaan diberi kesempatan untuk membuka lapak di area wisata. BUMDes itu juga punya koperasi untuk membantu para pedagang yang mengalami kesulitan modal. Terutama saat pandemi Covid-19 menghantam. “Sekarang para kayawan BUMDes dan keluarganya sudah bisa pinjam uang dari koperasi. Tidak perlu ke rentenir lagi,” ungkap Sukoyo yang juga mantan pengurus salah satu koperasi di Kecamatan Wajak itu.
Telaga dengan enam sumber mata air
Sebelum obyek ekowisata Boon Pring semakin diminati wisatawan karena hutan bambunya, lebih dulu mengandalkan telaga atau danau yang mempunyai enam sumber mata air. Yakni Sumber Adem, Sumber Towo, Sumber Gatel, Sumber Maron, Sumber Krecek, dan Sumber Seger. Sumber Adem dan Sumber Towo merupakan mata air terbesar.
Pentolan kelompok sadar wisata atau Pokdarwis Boon Pring, Mbah Gimbal, mengatakan tempat wisata ini selalu ramai setiap libur panjang, termask selama libur Lebaran serta Natal dan Tahun Baru. Tak hanya wisatawan loal, turis mancanegara pun kerap bertandang ke Boon Pring sekadar menikmati suasana alam yang segar dan alami. Salah satu aktivitas wisata yang disukai wisatawan asing adalah bermain getek. (travel.tempo.co, Kamis, 30/5/2019)
Nama Boon Pring merupakan gabungan dua suku kata dalam bahasa Inggris dan Jawa, yakni boon (anugerah) dan pring (bambu). Kata boon juga merujuk pada lafal kata kebun jadi bun. “Kemudian dicarikan persamaan katanya dalam bahasa Inggris dan ketemu kata boon itu. Artinya juga sangat bagus dan menjual sebagai obyek wisata,” kata Kepala Desa Sanankerto, Mohammad Subur.
Obyek wisata Boon Pring dulunya berupa hutan bambu. Penduduk memanfaatkannya untuk membuat rumah dan kayu bahan bakar. Sampai ada program konservasi dari pemerintah pada 1978, masyarakat kemudian bergotong-royong membat embung yang kini disebut telaga dengan kedalaman 2-3 meter. Pada 1983 penanaman beragam jenis bambu dimulai sampai berumpun-rumpun sesuai jenis masing-masing. Sebelum bernama Boon Pring, obyek wisata ini bernama Sumber Andemen atau Taman Wisata Andeman.
Warna air telaga tampak kehijauan karena pantulan warna hutan bambu dan pohon besar sekitarnya. Beragam jenis ikan hidup di dalamnya, yang didominasi ikan koi dan nila. Selebihnya tombro dan ikan mas.
Tahun 2021 lalu ditebar 85.000 bibit ikan, jenisnya ratusan. Semua ikan itu adalah hasil pembenihan dan produk silangan ragam jenis ikan dari berbagai daerah di Jawa Timur. Jadi kolam ikan itu semacam etalase ikan-ikan asli Jawa Timur, bantuan dari Dinas Perikanan Provinsi Jatim. Karena itu Boon Pring dinobatkan pula sebagai wisata edukasi. Banyak lembaga yang datang untuk melakukan penelitian, baik meneliti bambu maupun ikan.
Namun, di balik kesuksesan Boon Pring, ada sejumlah persoalan yang masih menjadi perhatian pengelola. Salah satunya urusan sampah. Tiap hari sampah organik dan anorganik menumpuk. Selama ini sampah-sampah itu hanya dikumpulkan untuk dibakar. Kadang dipilah atau dibawa ke TPA Talangagung, Kepanjen. Cara terakhir butuh biaya besar.
Karena itu, pengeloa BUMDes Kerto Raharjo sedang mencari solusi. Misalnya bekerja sama dengan Politeknik Pengembangan Pertanian Malang. Targetnya, sampah-sampah itu dikelola sehingga memiliki nilai ekonomi. Salah satunya akan dibuat maggot (pakan ternak).***
*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id