MASJID menjadi tempat ibadah ketiga (setelah geraja dan vihara) sebelum terbentuknya Kampung Toleransi. Bangunan satu lantai ini berada di gang yang disambut dengan keteduhan pohon rindang dan hiasan unik di kedua sisi jalan. Menambah semarak gang selebar kurang lebih 3 meter itu.
Julukan “Kampung Toleransi” baru diresmikan pada 11 Mei 2018 tapi jauh sebelum itu, sikap toleransi pada tiap warga sudah terbentuk demi terciptanya kerukunan. Meskipun berdekatan dengan tempat ibadah agama lain, riuh semangat ibadah tetap digaungkan oleh pemeluknya masing-masing. Menjadi tanda rasa toleransi yang begitu kuat di antara warga setempat yang saling berbeda keyakinan.
Sejarah Masjid
Awalnya, hampir seluruh warga Gang Ruhana berasal dari keturunan Tionghoa yang memiliki tempat ibadah bernama vihara. Namun perputaran roda kehidupan berdampak pada munculnya pemeluk agama lain yang tinggal di kawasan tersebut. Setelah beberapa tahun, tempat ibadah kedua yang dibangun adalah gereja sebagai rumah suci umat Kristen. Tidak hanya itu, kesulitan umat Islam dalam beribadah menjadi salah satu faktor dibangunnya masjid sebagai tempat ibadahnya. Maka dari itu, bangunan ketiga yang dibentuk menjadi tempat ibadah adalah Masjid Al-Amanah.
“Karena RW ini belum punya masjid, kalau mau salat tarawih yang kemudian digunakan sebagai ‘musala darurat’ adalahkantor RW atau di rumah yang jarang dipakai milik salah satu warga. Alhamdulillah, rumah tersebut akhirnya diwakafkan dan dibangun menjadi masjid. Jadi dua rumah dibangun masjid,” sebut Aan, Ketua DKM masjid Al-Amanah.
Pewakafan rumah milik warga Tionghoa ini seakan menjadi momentum toleransi yang terjadi di Kampung Toleransi. Segala modal seperti tanah dan dana bangunan diberikan oleh sang pewakaf agar mempermudah masyarakat Islam beribadah di tempat yang lebih layak. Masyarakat setempat hanya membantu semampunya dengan mengelola dan memelihara masjid. Sebagai contohnya adalah merapikan area masjid agar para jamaah mendapat kenyamanan dalam beribadah.
“Orientasi kepemimpinan saya bukan ke bangunan, tapi lebih ke bagaimana kita memakmurkan masjid. Jadi, jamaah lebih kondusif hadir ke sini dan masyarakat yang tidak paham apapun boleh hadir ke sini,” ungkap Aan.
Jamaah salat pada masjid Al-Amanah pun tidak hanya dari warga Gang Ruhana, bahkan seringkali lebih dominan yang berasal dari masyarakat luar. Jumlah jamaah menjadi berlipat bila tengah berlangsung salat Hari Raya Idulfitri dan Iduladha.
Masjid Al-Amanah didirikan dengan penempatan yang sebetulnya tidak direncanakan, yakni di antara vihara dan gereja. Setelah berhasil dibangun, masjid ini sejak awal sudah dikelola oleh masyarakat dengan sebutan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM). Organisasi tersebut selalu mengalami perubahan struktur kepengurusan setiap tiga tahun sekali. Pada 2024 tepatnya periode ketiga, segala program atau kegiatan yang dilakukan di masjid Al-Amanah berada di bawah kepengurusan DKM yang diketuai oleh Aan Robiana.
Program DKM
Seperti masjid yang lainnya, Al-Amanah memiliki kegiatan yang ditujukan kepada pemeluk agama Islam. Kegiatan wajib yang selalu dijalani oleh masyarakat Islam di masjid tersebut adalah salat dan mengaji yang dilakukan berjamaah. Terdapat kebijakan yang menjadi pembeda dengan rata-rata masjid lain di kawasan lain, yaitu sikap pemeluk agama Islamnya yang sangat menghargai keberadaan warga non-muslim di lingkup wilayah itu. Saat berada di waktu Iduladha, daging hasil kurban juga dibagikan kepada warga yang memeluk agama non-muslim. Selain itu, seringkali diadakannya acara buka bersama antar umat beragama untuk menghidangkan takjil yang tersedia,” kata Aan lagi.
Berbeda dengan kepengurusan sebelumnya, DKM yang dipimpin oleh Aan ini makin mengedepankan sisi toleransi dan solidaritas sosial. Infak beras yang semula dibagikan hanya kepada jamaah pengajian di malam Minggu, kini juga dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Kebijakan lainnya adalah membuat masjid Al-Amanah terbuka 24 jam untuk umum dan di waktu kapanpun. Hal tersebut bertujuan agar masyarakat dapat beribadah kapan saja dan masjid ini dapat dijadikan solusi atas masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
“Bagi orang yang membutuhkan bantuan, masjid menjadi tempat pertama yang dicari oleh mereka. Mulai dari tidur, makan, mandi, dan kegiatan lain yang sejalan dengan agama boleh dilakukan di sana,” jelas Aan.
Sebelum berlakunya kebijakan tersebut, mulanya setiap malam pintu kamar mandi laki-laki selalu dikunci karena telah mengalami kejadian yang membuat para pengurus DKM merasa cemas. Salah satu akibat dari lokasi masjid yang berada di kawasan kuliner adalah kondisi lingkungan masjid yang menjadi tidak beraturan. Tidak tersedianya toilet umum di jalan Lengkong Kecil membuat para pengunjung sekitar berkunjung ke masjid Al-Amanah hanya untuk membuang air kecil saja, namun tidak memperhatikan kebersihannya.
Sepuluh tahun sudah masjid Al-Amanah hadir demi kesejahteraan umat Islam yang berada di lingkungan Gang Ruhana ini. Tidak hanya warga muslim yang mendapat manfaat dari keberadaan masjid tapi bahkan pemeluk agama lain ikut merasakan. Sebagai umat, memang semestinya kita harus mensyukuri dan menjaga segala sesuatu yang sudah dititipkan oleh Yang Mahakuasa. ***
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pasundan yang mengikuti perkuliahan Media dan Agama (Aisyah Nur Syabani, Rizki Pranata, Dicky Firmansyah, Riza Bachtiar Rachman, Aldy Renaldy Edison) melakukan peliputan jurnalistik beberapa waktu lalu. Feature ini adalah salah satu karya yang dihasilkan mereka.*