Menu

Mode Gelap

Diskursus · 24 Sep 2022 14:09 WIB ·

Kepuasan Publik: Kado Ulang Tahun Kota Bandung

 Kepuasan Publik: Kado Ulang Tahun Kota Bandung Perbesar

Oleh : Dr. H. Ijang Faisal, S.Ag., M.Si.)*

Dengan sejumlah potensi eksisiting yang dimilikinya, dalam konteks ulang tahun Kota Bandung ke-212 pada tahun ini, apakah kita harus bergembira berpuas diri, ataukah datar, ataukah meringis tak puas untuk seluruh pencapaian yang ada?

Sebagai sebuah retropeksi untuk kota yang tak hanya tempat bersandarnya banyak harapan namun juga ibukota Provinsi Jawa Barat, izinkan penulis menyampaikan sejumlah catatan sekaligus saran kontruksinya terkait milad Kota Bandung tercinta ini.

Yang pertama adalah hirupmah tong asa aing uyah kidul sabab di alam dunyamah euweuh elmu panutup (Hidup tidak boleh merasa paling hebat, sebab di dunia tak ada ilmu pamungkas). Pepatah Sunda untuk tidak cepat berpuas diri atas pencapaian yang ada ini layak diapungkan di awal jika melihat kecenderung pembangunan di Kota Bandung saat ini.

Contohnya dengan bermodal banyak dana bantuan dari APBN dan APBD Pemprov Jawa Barat, rasa berpuas diri diusung seolah semua program kerja, visi dan misi telah dilakukan. Apa yang menjadi ekspektasi publik telah selesai dengan sekian sokongan kanan kiri tersebut, sementara di sisi lain, sesungguhnya sisi berdikari pemerintah daerah belum sepenuhnya dilakukan.

Dengan seremoni peresmian flyover baru di Kota Bandung, misalnya, maka tugas seperti sudah selesai dan tidak ada gebrakan berikutnya, Kita ketahui bersama, sejumlah jalan layang baru di Kota Bandung itu bersumber bantuan Pemprov Jawa Barat.

Ini konruen dengan data Pendapatan Pemkot Bandung misalnya Tahun Anggaran 2019 dan 2020, yang mana PAD (Pendapatan Asli Daerah) selalu jauh di bawah Transfer serta Bantuan Keuangan daeri Pemerintah Pusat dan Pemprov Jabar. PAD 2019 Rp. 2,5 triliun dari total pendapatan Rp. 6,3 triliun dan PAD 2020 Rp. 2,06 triliun dari total pendapatan Rp. 5,6 triliun, namun selisih dari total pendapatan dikurangi PAD itu masing-masing mencapai Rp. 3,8 triliun (2019) dan Rp. 3,54 triliun (2020). Dengan kata lain, lebih dari 50% pendapatan berasal dari transfer dan bantuan pemerintah di atasnya.

Itupun, jika kita mau bandingkan nominal transfernya, seolah tidak menandakan besar dan kuatnya Kota Bandung –yang tak hanya menjadi salah satu kota utama Indonesia, tapi juga dunia berhutang jasa ke Indonesia pasca Deklarasi Asia Afrika Tahun 1955 lalu.

Dilansir Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Indonesia, bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) Tahun Anggaran 2021 ke Kota Bandung terealisir Rp. 1,617 triliun atau di bawah Kab. Garut Rp. 1,72 triliun dan Kab. Jember Rp. 1,66 triliun.

Angka tersebut juga tipis-tipis saja dengan daerah yang yang relatif jauh lebih kecil dari Kota Bandung seperti Kab. Deli Serdang Rp. 1,39 triliun, Kab. Cilacap Rp. 1,314 triliun, dan Kab. Banyuwangi Rp. 1,335 triliun serta jauh di bawah Kab. Bandung dan Kab. Bogor sebagai peraih DAU terbesar se-Indonesia masing-masing Rp. 2,01 triliun dan Rp. 1,92 triliun.

Postur keuangan semacam ini menjadi problematik jika melihat masalah di Kota Bandung tiap hari kian menumpuk sebagai konsekuensi posisi magnet utama bagi kota lainnya di Jawa Barat. Maka, diperlukan sosok pemimpin Kota Bandung yang tak hanya bisa mengeksplorasi PAD, tapi juga simultan mampu melakukan lobi dan relasi yang kuat kepada para pemangku kebijakan, baik di pemerintah pusat maupun Pemprov Jabar.

Jangan sampai karena ada perasaan asa aing, dan apalagi nirkompetensi dalam melalukan kerja komunikasi politik, maka dana pembangunan yang bisa membawa Bandung lebih baik, malahan tidak tercapai. Atau juga karena tidak cukup peka dan cerdas dalam menggali PAD, yang terjadi kemudian adalah selalu bergantung pada dana transfer dan bantuan tadi.

Ingat, sekali lagi. Kiprah dan kontribusi Kota Bandung sudah melewati demarkasi nasional melalui helatan Konfrensi Asia Afrika 1955 ataupun banyak peristiwa global sesudahnya. Karenanya, pantang bagi warga Kota Bandung, wabil khusus pemimpinnya, untuk cepat berpangku diri cepat puas seolah sudah bekerja maksimal untuk rakyatnya.

Kedua, sacangreud pageuh sagolek pangkek (komitmen, menepati janji serta konsisten), yang mana salah satu visi misi Pemkot Bandung periode 2018-2023 adalah menjadikan Kota Bandung yang Unggul, Nyaman, Sejahtera dan Agamis.

Khusus terkait Agamis, situasi ini perlu dicermati bersama karena respon publik yang ada relatif belum memperoleh rekognisi maksimal. Sebut contohnya hasil survei lembaga pengawas HAM, Setara Institute pada 2015, yang menyatakan Kota Bandung menjadi salah satu dari tujuh kota paling intoleran di Jawa Barat.

Pada tahun 2017, Setara Institute juga pernah survei persepsi siswa sekolah menengah tentang toleransi beragama dan radikalisme pada 38 siswa SMU, yang antara lain ada di Kota Bandung dengan 8,5 persen dari 684 responden menyatakan setuju dengan ISIS. Terbaru, Kementrian Agama juga mengkitik diskriminasi Walikota Bandung dalam meresmikan Gedung Annas (Aliansi Nasional Anti Syiah) di kawasan Buah Batu.

Jika komitmen visi misi diimplementasikan semacam ini, kiranya pepatah bijak orang tua menyampaikan: Jadi pamingpin sing adil, tong cueut kanu hideung ponténg kanu konéng (Jadi pemimpin harus adil jangan memihak pada golongan atau kelompok tertentu). Kiranya dua poin ini mendesak diubah di lapangan, agar kepuasaan publik sejati menjadi kado ulang tahun kota Bandung. Wallahu’alam

)* Penulis adalah: Ketua Komisi Informasi Jawa Barat & Pemerhati Kota Bandung

Artikel ini telah dibaca 183 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Gubernur Jabar Pilihan Rakyat

3 Desember 2024 - 15:45 WIB

Mewujudkan Indonesia Emas 2045: Kemandirian Ekonomi Berbasis SDM Tangguh dan Pemanfaatan SDA

3 Desember 2024 - 10:18 WIB

Kenaikan Gaji Guru Non-ASN dan ASN; Menjadi Cambuk Guru Guna Mencetak Generasi Emas

1 Desember 2024 - 07:09 WIB

Detik-Detik Publik Memilih

25 November 2024 - 06:09 WIB

Kualitas Debat Pilkada 2024

15 November 2024 - 08:11 WIB

Stroke dan Penyebabnya, Bisakah Kita Hindari?

1 November 2024 - 09:14 WIB

Trending di Diskursus