Oleh Widodo Asmowiyoto*
TANGGAL 24 Oktober adalah Hari Dokter Indonesia atau Hari Dokter Nasional. Selama ini tentu tidak perlu ditanyakan lagi organisasi mana yang selalu konsisten memperingati atau merayakannya? Karena sudah pasti adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Namun zaman telah berubah, khususnya dalam tahun terakhir ini. Seperti masyarakat tahu, hari Rabu tanggal 27 April 2022 lalu lahir Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) dan telah memperoleh izin dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenhukham).
Pertanyaan tersebut mungkin relevan dan juga tidak relevan. Tetapi saya menganggap itu relevan agar rakyat memperoleh informasi lebih terang. Mengapa? Ya, saya menarik analogi dengan dunia kewartawanan di Indonesia sendiri. Seperti apa?
Dulu pada awal zaman kemerdekaan, sebetulnya di tanah air juga banyak organisasi wartawan. Namun saat kemerdekaan baru berjalan beberapa bulan, mereka sadar untuk menggalang persatuan demi mengisi kemerdekaan. Karena itu organisasi wartawan yang ada –apa pun namanya—sepakat menyelenggarakan kongres pada tanggal 9 Februari 1946 di Kota Solo sehingga lahirlah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sebagai penanda perjalanan sejarah ini, di sana didirikan Monumen Pers Nasional (MPN).
Sementara itu ketika datang era reformasi, keberadaan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia itu dipertanyakan atau digugat oleh sebagian wartawan anggota PWI sendiri. Karena itu kemudian lahir banyak organisasi wartawan dengan beragam nama pula. Namun yang pasti menjadi konstituen Dewan Pers dari unsur organisasi wartawan adalah PWI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Konstituen Dewan Pers itu kemudian bertambah lagi seiring era digital yang ditandai banyaknya berdiri media online. Yakni, Pewarta Foto Indonesia (PFI), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI).
Namun di lapangan banyak juga organisasi wartawan yang belum lolos menjadi konstituen Dewan Pers. Bahkan ada yang ngotot mendirikan Dewan Pers Indonesia (DPI) sebagai tandingan Dewan Pers. Mereka menggugat keberadaan Dewan Pers ke Mahkamah Konstitusi (MK) namun belakangan kandas. MK menolak gugatan tersebut. (Menyimak Kembali Relevansi Uji Kompetensi Wartawan, TuguBandung.id, 29/9/2022)
Lalu bagaimana dengan dunia kedokteran di tanah air tercinta ini, Indonesia. Untuk itu marilah kita tengok jauh ke belakang agar kita –sebagai rakyat biasa– memperoleh pengetahuan yang lebih memadai.
Sejarah berdirinya IDI
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berdiri tahun 24 Oktober 1950. Jadi sekarang sudah berusia 72 tahun. IDI adalah satu-satunya organisasi profesi bagi dokter di seluruh Indonesia seperti yang tercantum dalam UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004.
Organisasi kedokteran tersebut awalnya perhimpunan yang bernama Vereniging van Indische Artsen tahun 1911, dengan tokohnya adalah dr. J.A. Kayadu yang menjabat sebagai ketua dari perkumpulan ini.
Perkumpulan tersebut kemudian berubah menjadi Vereniging van Indonesische Geneeskundige atau disingkat VIG. Nama-nama seperti dr. Wahidin, dr. Soetomo, dan dr. Tjipto Mangunkusumo ikut bergerak dalam bidang sosial dan politik di sini. Pada tahun 1948 lahir perkumpulan dokter Indonesia yang berfungsi sebagai organisasi perjuangan kemerdekaan. (Gazali Solahuddin, GRIDHEALTH.id, Jumat, 29/4/2021)
Dengan dasar semangat persatuan dan kesatuan, akhirnya dua organisasi kedokteran tersebut meleburkan diri dan membentuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pada 24 Oktober 1950, Dr. R. Soeharto atas nama Pengurus IDI menghadap notaris R. Kadiman guna mencatatkan pembentukan IDI yang disepakati berdasarkan Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia. Sejak saat itu tanggal tersebut ditetapkan sebagai ulang tahun IDI.
Sementara itu pada 27 April 2022 lalu telah resmi lahir organisasi profesi dokter baru selain IDI, yaitu Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI). Kelahiran PDSI dengan Ketua Umum Brigjen (Purn) Jajang Edi Prayitno itu telah secara resmi diakui pemerintah melalui SK Kementerian Hukum dan HAM dengan nomor AHU-003638.AH.01.07.2022 tentang Pengesahan Pendirian Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia. PDSI menyatakan tidak menginduk kepada IDI.
IDI organisasi tunggal kedokteran
Yang menarik, pada 2018 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang sah di Indonesia. Keberadaan IDI sebelumnya digugat oleh sejumlah dokter ke MK karena menganggap ada praktik monopoli yang dilakukan IDI dalam mengeluarkan sertifikasi profesi dokter.
“Menurut mahkamah tidak terdapat inkonstitusionalitas dalam permohonan,” ujar anggota hakim I Dewa Gede Palguna dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/4/2018). (CNNIndonesia, Kamis, 26/4/2018)
Para penggugat sebelumnya meminta agar frasa “organisasi profesi” dalam U No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bukan hanya IDI, tetapi dimaknai dengan “meliputi juga Perhimpunan Dokter Spesialis”. Namun dalam pertimbangannya, hakim menyatakan Perhimpunan Dokter Spesialis sebagai salah satu unsur yang menyatu dan tidak terpisah dari IDI.
“Justru apabila logika permohonan para pemohon diikuti akan timbul ketidakpastian hukum karena menjadi tidak jelas kapan organisasi profesi dimaknai IDI atau sebagai Perhimpunan Dokter Spesialis,” kata Palguna.
Sementara terkait sertifikat kompetensi dari IDI yang dipermasalahkan pemohon, manurut hakim, hal itu justru menjadi bukti bahwa seorang dokter bukan hanya teruji secara akademik tetapi juga terjuji dalam penerapan ilmu. Untuk memperoleh sertifikat kompetensi, seorang dokter harus memiliki sertifikat profesi atau ijazah terlebih dulu.
“Sertifikat kompetensi menunjukkan pengakuan akan kemampuan dan kesiapan seorang dokter untuk melakukan tindakan medis dalam praktik mandiri yang akan dijalani dan hanya diberikan pada mereka yang telah menjalani berbagai tahapan untuk menjadi dokter yang profesional,” ucapnya.
Namun hakim sepakat dengan permohonan yang menyatakan bahwa anggota IDI tidak boleh rangkap jabatan sebagai anggota Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Penggugat sebelumnya menyatakan bahwa rangkap jabatan anggota IDI dan KKI berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, semua kewenangan konsil dan profesi kedokteran ujungnya tetap bertumpu pada IDI.
Hakim menyatakan bahwa sesuai ketentuan perundang-undangan, KKI bertugas melakukan registrasi dokter dan melaksanakan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran. Tugas itu, menurut hakim, berpotensi berkaitan dengan IDI sebagai salah satu institusi asal anggota KKI. “Oleh karena itu untuk mencegah potensi benturan kepentingan maka anggota IDI yang duduk dalam KKI seharusnya mereka yang bukan pengurus IDI,” ucap hakim.
Kembali pada adanya dua organisasi kedokteran saat ini, IDI dan PDSI yang sama-sama memperoleh legalitas atau izin dari pemerintah, kita rakyat Indonesia tinggal menunggu sejarah baru yang akan berjalan ke depan. Minimal layak dipertanyakan siapa yang akan tetap setia untuk memperingati serta merayakan Hari Dokter Indonesia atau Hari Dokter Nasional tanggal 24 Oktober 2022 nanti. Kalau PWI konsisten memperingati Hari Pers Nasional (HPN) pada tanggal 9 Februari setiap tahun. Maka organisasi wartawan yang lahir di awal reformasi yakni AJI, lebih konsisten untuk memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia pada setiap tanggal 3 Mei. ***
*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id