Oleh Widodo Asmowiyoto*
RAKYAT Indonesia –bahkan dunia– sudah tahu bahwa telah terjadi tragedi menyusul berakhirnya pertandingan Persebaya vs Arema FC di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu malam (1/10/2022). Gegara Arema FC –sebagai tuan rumah– kalah 2-3 dari Persebaya maka tragedi itu pun terjadi. Penyemprotan gas air mata oleh polisi saat penegak hukum itu menyikapi protes aremania, maka secara resmi diumumkan oleh Kapolri bahwa telah jatuh korban jiwa 125 orang. Jumlah itu belum termasuk korban luka baik berat maupun ringan.
Sambil menunggu hasil investigasi tragedi sepakbola di Malang itu, layak dikemukakan pertanyaan bagaimana jika nanti Persib kalah dari Persija dalam pertandingan besar di Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Kota Bandung pekan depan? Mengapa harus bertanya seperti itu? Harap maklum, kedua tim itu adalah musuh bebuyutan, dan tiba giliran kali ini Persija harus bertanding di Bandung melawan tim Persib sebagai tuan rumah.
Menyadari bahwa Persib harus melawan –sekaligus menjamu– tim tamu yang merupakan musuh besarnya itu, yakni Persija, maka pihak berwenang pastilah telah mengantisipasinya sedemikian rupa. Antisipasi serupa tentu saja telah dilakukan saat Persebaya datang ke Malang untuk melawan Arema FC. Yakni pendukung Persebaya, bonek, tidak boleh datang ke Malang. Demikian pula nanti Jakmania tidak boleh datang untuk menonton pertandingan Persib vs Persija di Kota Kembang.
Jika nanti Persib menang, tentu bobotoh akan sangat senang, bersuka cita, bergembira ria. Namun bagaimana kalau Persib kalah? Itu menjadi pertanyaan sangat penting menyusul tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang tersebut gegara Arema FC kalah.
Pengendalian diri dan sportivitas
Dapat dipastikan tidak ada satu orang pun atau satu pihak pun yang menginginkan Tragedi Sepakbola Awal Oktober 2022 itu terulang di mana pun di Indonesia –bahkan dunia– ini, lebih-lebih di Bandung, Jawa Barat yang sangat terkenal dengan kesebelasan Persib-nya itu. Warga dunia pencinta sepakbola pun sudah (mulai) paham bahwa Persib merupakan tim besar dengan pendukung yang sangat besar dan sangat fanatik pula.
Seiring dengan kebesaran nama Persib itu, maka layak jika para bobotoh memiliki kebesaran jiwa dan pengendalian diri yang tinggi seandainya nanti Persib kalah saat melawan Persija. Agama Islam mengajarkan agar tuan rumah mampu menghormati tamu atau memperlakukan tamunya secara baik. Mengapa menyebut agama Islam? Ya, semata-mata karena warga Bandung khususnya dan warga Jawa Barat umumnya dikenal sangat agamis. Relevan dengan popularitas sebagai “masyarakat yang agamis” maka wajar pula jika kita berharap para bobotoh Persib pun bersikap agamis.
Dalam bahasa olahraga khususnya sepakbola, sikap agamis itu dapat diwujudkan dengan menjunjung tinggi sportivitas. Artinya, mampu bersikap adil dan jujur mengakui kelemahan dan kekurangan diri di hadapan lawan atau mengakui keunggulan lawan.
Layak dikutip di sini pernyataan keprihatinan Gerakan Bhinneka Nasionalis (GBN) menanggapi Tragedi Kanjuruhan tersebut. Pernyataan tertanggal 2 Oktober 2022 itu ditandatangani Ketua Bidang Pemuda & Olahraga, Ari Purnama dan diketahui oleh Ketua Umum Erros Djarot dan Sekretaris Jenderal Dhia Prekasha Yoedha.
Antara lain dikemukakan bahwa dukungan dan loyalitas memang layak diberikan. Tetapi aksi kekerasan, terutama oleh supporter, apalagi dalam giat olahraga justru cermin buruk “ketidaksportifan”.
“Duka dan keprihatinan GBN ini bukan hanya atas ratusan korban jiwa yang sia-sia. Namun terutama atas sirnanya nilai sportivitas dan budaya ksatria di Indonesia,” kata Ari Purnama.
Menurut GBN, tragedi kemanusiaan dan budaya kekerasan ini merupakan peringatan keras tanpa ampun atas:
- Kelalaian aparat yang tidak bersikap antisipatif, terutama dari pihak intelijen dan reserse yang kurang menyiapkan langkah preventif sedini mungkin.
- Penyelenggara pertandingan yang kurang bertanggung jawab, karena cenderung mengejar keuntungan materiil semata.
- Sikap pemilik klub yang lepas tangan, nyaris tidak pernah memberikan edukasi dan pentingnya budaya anti-kekerasan, jiwa ksatria dan sportsmanship terhadap para pendukung/fans klub mereka.
- Kegagalan tupoksi Kementerian Pemuda & Olahraga dalam melakukan pembinaan olahraga, terutama atas berbagai cabang olahraga (cabor) yang terindikasi dikuasai oleh Mafia Judi. Juga atas tupoksi Kemenpora RI dalam menanamkan nilai-nilai luhur olahraga sebagai salah satu instrumen juang nation and character building.
- Seluruh elemen bangsa Indonesia agar mau lagi kembali bersikap jujur, sportif dan ksatria, terutama dalam menghadapi kekalahan, tanpa mengedepankan lagi jiwa korsa yang tidak pada tempatnya, apalagi secara berlebihan.
Untuk itu GBN mendesak agar tragedi tersebut segera diusut tuntas sehingga jelas siapa saja yang wajib bertanggung jawab atas 125 nyawa yang tewas percuma itu. GBN berharap semoga hari esok, dunia olahraga Indonesia bisa sehat membaik, dan menjunjung budaya sportivitas, tidak lagi didominasi oleh Mafia Judi dan Petualang yang mempolitisasi olahraga.
Seruan GBN itu relevan dengan kebangkitan Persib saat ini di bawah coach Luis Milla Aspas. Artinya, kebangkitan Persib harus terus ditunjang oleh dukungan bobotoh yang maksimal dengan disertai sportivitas yang tinggi. Jangan sampai membuat langkah kontra-produktif sehingga berdampak pada kemunduran Persib.
Demikian pula kebangkitan tim nasional Indonesia saat ini di bawah coach Shin Tae Yong. Pelatih asal Korea Selatan itu juga harus terus didukung dengan suasana kondusif dari masyarakat pencinta sepakbola di Tanah Air. Timnas Indonesia belakangan mampu mempersembahkan permainan yang semakin berkualitas sehingga mampu meningkatkan peringkatnya baik di level Asia maupun dunia. ***
*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id