Oleh Widodo Asmowiyoto*
MEMPERINGATI “Seabad Rosihan Anwar” (10 Mei 1922-10 Mei 2022), keluarga almarhum Begawan Pers Indonesia itu setidaknya menggelar dua acara. Hari pertama, Senin 9 Mei, “Ziarah Makam di Taman Pahlawan Kalibata”. Hari kedua, Selasa malam, 10 Mei, diselenggarakan “Doa Kenangan Kerabat Sahabat Rosihan Anwar” melalui aplikasi zoom. (Ilham Bintang, Suarapos.com, 8 Mei 2022).
Bagi wartawan di seluruh tanah air, baik generasi tua maupun muda, nyaris tidak ada yang tidak mengenal nama Haji Rosihan Anwar. Bagi para wartawan muda sekaligus pendatang baru, sekalipun misalnya belum pernah berjumpa langsung dengan almarhum, setidaknya pernah mendengar namanya melalui beragam buku karyanya atau beragam tulisannya.
![](https://tugubandung.id/wp-content/uploads/2022/04/widodo.jpg)
WIDODO Asmowiyoto.*
Rosihan Anwar lahir di Kubang Nan Dua, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, 10 Mei 1922, sebagai anak keempat pasangan Demang Anwar gelar Maharadja Soetan-Siti Safiah. Menikah dengan Siti Zuraida binti Mohamad Sanawi asal Betawi pada 25 April 1947. Siti Zuraida meninggal dunia Minggu, 5 September 2010 dalam usia 87 tahun. Sedangkan Rosihan Anwar wafat Kamis, 14 April 2011 dalam usia 89 tahun, dan dimakankam di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Dari perkawinan selama 63 tahun itu, pasangan Siti Zuraida-Rosihan Anwar dikaruniai tiga putra, enam cucu, dan dua cicit. Rosihan Anwar menghabiskan sebagian besar kehidupannya yaitu 67 tahun di bidang kewartawanan, menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Pedoman, Majalah Siasat, juga sebagai kolumnis dan koresponden sejumlah penerbitan di luar negeri.
Almarhum yang pernah meniadi Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat itu menulis lebih dari 30 buku mengenai berbagai topik, seperti jurnalistik, agama, sejarah, politik. Membuat sejumlah film reportase dan dokumenter untuk televisi. Menjadi aktor pemeran pembantu dalam sejumlah film layar lebar. Memimpin penataran wartawan anggota PWI untuk peningkatan profesionalisme selama 15 tahun.
Dalam salah satu buku karyanya, Belahan Jiwa, Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar & Zuraidan Sanawi (Penerbit Buku Kompas, 2011), disebutkan almarhum Rosihan Anwar mendapat penghargaan dan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Utama (III)-1973, Bintang Rizal Filipina-1977, Bintang Aljazair-2005, doctor honoris causa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta-2006.
Selain menjadi Ketua Umum PWI Pusat, almarhum pernah menjadi anggota pengurus Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI), anggota Dewan Film Nasional (DFN), anggota tim ahli Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas), anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan anggota Akademi Jakarta.
Tahun 2010 dalam usia 88 tahun almarhum telah menulis buku yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas: 1) Sutan Sjahrir Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, 2) Napak Tilas ke Belanda, 3) Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 4.
Wartawan sejati
Para wartawan Indonesia, baik yang mengenal dekat maupun yang hanya mengenal nama Rosihan Anwar melalui karya tulis almarhum, pastilah mempunyai kesan dan kenangan masing-masing dengan segala versinya. Salah satunya adalah Jakob Oetama, Pemimin Umum Harian Kompas.
Dalam Pengantar buku karya Rosihan Anwar berjudul Belahan Jiwa tadi, Jakob Oetama yang juga sudah meninggal dunia itu antara lain menulis begini, “Dengan Bung Rosihan Anwar usia saya lebih muda. Dia hampir 89 tahun, tanggal 10 Mei. Saya akhir tahun ini (2011) 80 tahun. Tidak hanya karena perbedaan usia, juga faktor-faktor lainnya, saya menganggap Bung Rosihan sebagai teman dan guru. Sama seperti apresiasi saya pada rekan-rekan wartawan lebih senior seperti Bung Mochtar Lubis, juga PK Ojong”.
Jakob Oetama yang juga dikenal sebagai pendiri dan pemimpin Kelompok Kompas dan Gramedia (KKG) itu melanjutkan begini, “Kami berdua akrab. Tidak hanya karena sering berususan dengan organisasi wartawan PWI, Persatuan Wartawan Indonesia, tetapi juga dalam berbagai tugas jurnalistik maupun pertemuan sosial lainnya. Dalam urusan PWI misalnya, pernah Bung Rosihan Anwar duduk sebagai Ketua Umum PWI dan saya sebagai Sekjen hasil Kongres PWI tahun 1970 di Palembang; kepengurusan yang tidak disetujui pemerintah. Sebab pemerintah di sisi lain mengakui pengurusan Burhanuddin Mohamad Diah dan Manai Sophiaan masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekjen. Pertama kali dalam sejarah PWI memiliki dua ketua umum dan dua sekjen”.
“Menurut saya, salah satu hal yang sangat mengesankan dari Bung Rosihan Anwar adalah ketekunannya. Dia seorang pekerja otak (kognitariat). Semua persoalan masyarakat dia rambah, dan disikapi secara kritis. Meskipun ada inklinasi ke bidang-bidang tertentu seperti kebudayaan dan politik, tetapi kurang ke bidang ekonomi, boleh dikatakan Bung Rosihan itu wartawan generalis sekaligus spesialis, bintang film lagi.”
“Lebih dari sebagai kognitariat, Bung Rosihan menaruhkan segela persoalan kemasyarakatan dalam hatinya. Dia mendekati segala persoalan dengan kacamata hati dan jiwa pada penghargaan harkat kemanusiaan. Manusia dan kemanusiaan menjadi titik sentral perhatian dan renungan. Talenta yang begitu beragam dia kembangkan nyaris maksimal, dilambari ketekunan luar biasa, menghasilkan ribuan kolom—sebelum Pedoman, koran yang dia dirikan setelah berkali-kali diberedel akhirnya tutup selama-lamanya tanggal 15 April 1974 menulis juga dalam Tajuk Rencana—terkumpul dalam 20 buku lebih”.
![](https://tugubandung.id/wp-content/uploads/2022/05/images-scaled.jpg)
Rosihan Anwar (Foto: opac.perpusnas.go.id).*
Khusus tentang buku Belahan Jiwa tersebut, Jakob Oetama menulis begini, “Kehadiran buku ini luar biasa cepat. Saya dengar pertama kali tanggal 9 Desember 2010. Dalam sebuah acara makan malam hadir sejumlah rekan di antaranya Bung Adnan Buyung Nasution, Bung Rosihan bercerita akan menulis memoir yang digabungkan dengan kisah cintanya dengan Zuraida Sanawi. Komentar saya waktu itu, itulah yang ditunggu-tunggu pembaca, Bung! Tidak kurang dari empat bulan naskah itu selesai. Naskah sudah diserahkan ke penerbit lima hari sebelum Bung Rosihan dibawa masuk ke ICU MMC, Senin sore, tanggal 7 Maret. Esok hari dipindahkan ke RS Medistra, kemudian ke RS Jantung Harapan Kita untuk dioperasi by pass hari Kamis pagi, 24 Maret”.
“Di tengah sebagian rekan sejawat dan seusia, Bung Rosihan kini relatif paling setia dalam profesi jurnalistik. Terus dan tetap menulis, tidak pernah berhenti menulis. Merepresentasikan profesi jati diri wartawan sebagai panggilan (vocatio) bukan sekadar pekerjaan (job) atau karier (career). Dengan jiwa semangat itulah profesinya sebagai wartawan tidak melapuk. Bung Rosihan Anwar seorang wartawan sejati. Melintasi tiga zaman: penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan Indonesia merdeka. Manusia bebas dan serba independen, mengambil jarak dengan penguasa dan kekuasaan, karena itu memiliki fans pembaca yang mengapresiasi tulisan-tulisannya, dipuji sekaligus dicemooh, bahkan mungkin dimaki orang”.
Jakob Oetama yang juga salah seorang tokoh pers nasional itu mengaku begini, “Saya sering berefleksi dan iri dalam arti positif dengan kekayaan nuansa kemanusiaan yang dimiliki Bung Rosihan. Tanpa meninggalkan bakat yang dianugerahkan dan ketekunan luar biasa, saya bertanya-tanya dari mana Bung Rosihan mengasah kepekaan intelektual dan nurani kemanusiaan, seberani Mochtar Lubis tetapi menyampaikan secara bijak cerdas? Sudah lama saya berpikir, bahkan belakangan ini jadi keyakinan ‘berkat studi klasik Barat yang pernah dia jalani di AMS A setingkat SMU’. Di jurusan itu, lulus tahun 1942 dia belajar bahasa Latin dan Yunani”.
“Nuansa humaniora tanpa sengaja mekar dan terbentuk ketika Bung Rosihan menekuni naskah-naskah klasik mulai dari Vergilius, Cicero hingga karya-karya William Shakespeare. Sebagai wartawan pengetahuannya tidak umum-umum saja, tetapi detail. Dari semua karyanya, termasuk buku memoir ini, kita mengagumi catatan-catatan detailnya, yang entah hasil coret-coretan di kertas atau tercatat dalam otaknya. Bung Rosihan seorang genius dalam soal ini, yang semua berawal dari ketekunan. Serba detail, berkat ketekunan, sikap senantiasa menggugat dan kritis terhadap semua persoalan, diperkaya human sense, semua tulisan Bung Rosihan enak dibaca”.
Jakob Oetama mengungkapkan, “Kepada rekan-rekan lebih muda sering saya katakan, semakin hebat seorang wartawan semakin sulit dipahami, sebab berkembang jauh kadar emosinya tinggi, bahkan bukan hanya emosi tetapi juga egonya. Memang Bung Rosihan memiliki bobot tinggi sebagai wartawan, yang kemudian memunculkan berbagai komentar seperti arogan, angkuh tetapi semua selalu dia bantah seperti ditulisnya dalam buku ini, ‘sesukamulah’. Menurut saya, Bung Rosihan tidak sombong, tidak angkuh, sebaliknya karena melihat persoalan selalu serba beyond, yang ada di bawah permukaan, ia menerobos perkiraan banyak orang, dan tanpa sengaja memberikan makna atas fakta dan peristiwa.”
*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id