Karya Wina Armada Sukardi
“SIDANG musyawarah pemilihan ketua umum Dewan Ketua Mesjid atau DKM sementara saya skor selama 30 menit. Sidang akan dibuka kembali 30 menit ke depan. Selama diskor mohon silakan para pihak untuk melakukan pendekatan-pendekatan yang kondusif!” kata pimpinan rapat pemilihan ketua DKM di mesjid dekat kediaman Sang Tokoh, tempat Sang Tokoh sehari-hari melaksanakan kegiataan keagamaan.
Skorsing terpaksa dilakukan ketua sidang lantaran musyawarah calon ketua tidak mencapai mufakat.
Masing – masing pihak masih memiliki pendapat yang saling bertentangan, tetapi para calon yang terdiri dari dua orang masih memiliki ambisi besar yang sama. Seandainya pemilihan diteruskan cenderung arah mekanisme ke voting, sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendaki, baik oleh pengurus maupun jemaah mesjid. Voting hanya bakal dilakukan jika sudah terpaksa sekali. Sejauh mungkin pemilihan diupayakan memalui cara musyawarah mufakat. Voting merupakan pilihan terakhir.
Walaupun sudah dinasehati oleh para pemuka mesjid, kedua calon masih gigih tetap bertahan pada pencalonannya. Belum ada titik temu dan belum ada yang mau mundur. Oleh sebab itu pemilihan diundur. Diskor.
Pemilihan ini diadakan setelah ketua DKM mesjid mengundurkan. Sebenarnya sejak awal dia sudah didapuk menjadi ketua seumur hidup mesjid. Dari berdiri dan berkembangan mesjid ini, jemaah dan masyarakat sekitarnya tanpa keraguan menunjuk ketua lama sebagai ketua mesjid. Apapun bentuk manajemen atau kepengurusan mesjid, beliau dinilai yang paling cocok memangku jabatan ketua mesjid. Tak ada figur yang lebih pantas, dari segi apapun, menduduki posisi ketua mesjid dibanding ketua lama.
Selama menyandang jabatan menjadi ketua mesjid selama lebih dari 40 tahun, diembannya sangat baik. Jujur. Tegas. Aspiratif. Selama dipimpinnya, mesjid berjalan sangat baik. Tak ada korupsi aset mesjid secuil pun. Semua program mesjid berjalan dengan baik dan melibatkan partisipasi besar jemaah.
Semula tak ada batas waktu berapa lama priode ketua mesjid menjabat. Belakangan setelah adanya DKM, jabatan ketua mesjid dibatasi hanya lima tahun saja. Walaupun demikian, saat jabatan ketua lama tersebut habis dan diadakan pemilihan lagi, berlangsung tak lebih dari 10 menit. Seluruh jemaah dengan mufakat selalu menunjuknya lagi sebagai ketua. Apalagi selama ini tak ada pula orang yang berani mencalonkan diri. Walhasil dia selalu terpilih sebagai ketua. Tak hanya itu, sebagian jemaah menghendaki dia ditetapkan saja sebagai ketua seumur hidup. Kalau ada pemilihan cuma memilih para pendampingnya saja.
Di bawah kepemimpinannya pengelolaan mesjid berlangsung sangat baik. Salat subuh berjemaah selalu ramai. Salat jumat sudah memikiki jadwal khotib lengkap setiap enam bulan. Program pengajian, ceramah dan sebagainya, tidak ada yang tidak beres. Aset mesjid selalu bertambah, termasuk mobil ambulance. Mesjid juga dilengkapi sarana modern seperti CCTV, tempat wuduh yang nyaman dan sebagainya.
Lantas apa yang terjadi? Dia sudah memimpin mesjid beberapa generasi. Cucunya saja sudah mulai tumbuh remaja. Itu berarti usianya sudah merambat sepuh. Kendati tidak jatuh sakit-sakitan, usianya yang telah merambat lama membuatnya tidak selincah dan setangguh dulu. Dia harus mengatur kesehatannya dengan baik, sementara kegiatan mesjid justeru bertambah banyak. Sesuai saran dari dokter, keluarganya menganjurkan agar dia mengurangi kegiataannya, termasuk aktivitasnya di mesjid. Akhirnya dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari ketua mesjid. Jemaah pun heboh. Tak ada yang menyangka ketua bakal mengundurkan diri, sehingga tak ada persiapan siapa yang alan menggantinya. Tak ada calon yang telah dipersiapkan. Jemaat hanya sepakat ketua lama menempati jabatan baru sebagai Ketua Dewan Pembina yang diberikan hak preprogatif menjatuhkan veto terhadap semua masalah yang ada. Sebaliknya untuk ketua baru tak dicapai kesepakatan siapa yang pantas mengganti ketua lama. Untuk mengisi kekososonganya disepakatain diadakan musyawarah. Dibuatkah kreteria untuk ketua baru. Hasilnya muncullah kedua calon ini.
Sepanjang adu pendapat atawa musyawarah tadi, kelihatannya belum ada tanda-tanda segera bakal terselesaikan. Kelompok pendukung masing-masing mempertajam perbedaan keduanya. Para pendukung lebih “ngotot” dari calon untuk meneruskan kontestasi.
Kedua calon duduk berseberangan dikelilingi para pendukungnya. Calon pertama duduk sebelah kiri dari pintu masuk, sedangkan calon kedua diduk di arah sebelah kanan. Dengan begitu di antara mereka ada cukup jarak. Secara harafiah maupun secara simbolis. Keduanyan nampak berdiskusi dengan masing-masing pendukungnya. Para jemaah lainnya duduk terpencar. Ada yang berkelompok dan ada pula yang sendiri-sendiri. Mereka yang duduk berkelompok tak kalah serunya berdiskusi dibanting kelompok calon ketua.
“Jika gak ada kompromi, dan dua-duanya tetap ngotot mau maju, lalu memilih voting, sudah saja dua-duanya gak usah dipilih,” terdengar seorang jemaah dalam sebuah kelompok berkata.
“Ya kita pilih yang lain aja,“ timpal yang lain.
“Kalau perlu kita minta ketua lama kembali tetap jadi ketua, ketimbang ada perpecahaan,” tambah jemaah lain di sebelahnya.
Sang Tokoh duduk tepat di arah depan pintu masik. Dia bersandar pada tembok mesjid memperhatikan keadaan. Sedari tadi dia tak banyak bicara. Memang dia tidak ada kepentingan langsung terhadap para calon. Keduanya dia kenal baik, dan keduanya juga kenal baik dengan dirinya. Baginya siapapun yang terpilih tak memberikan pengaruh apa-apa kepada dirinya. Dia cuma jemaah yang kebetulan sering terlibat aktif dalam legiatan mesjid.
Memang tadi sempat ada beberapa jemaah sempat mencalonkan dirinya sebagai salah satu kandidat ketua. Agar tidak berkembang liar, dengan cepat dia menyatakan tidak bersedia dicalonkan. Sang Tokoh merasa dirinya masih terlampau muda menyandang jabatan ketua DKM. Lagipula dia sendiri belum tentu memiliki waktu. Sejak popularitasnya meningkatkan memang Sang Tokoh sudah sibuk.
Tetiba Sang Tokoh bangkit dan menghampiri calon kedua di kelompok calon kedua. “Izin, bisa saya bicara khusus berdua?” katanya seraya mengapit lengan calon kedua ke sebuah pojok di mesjid itu. Para kelompok penduking calon kedua terkejut, nanun belum sempat memberikan reaksi, jagoannya sudah dibawa pergi Sang Tokoh.
“Sudah Bapak mundur saja!” tegas Sang Tokoh kepada calon ketua itu begitu mereka duduk berdua.
Tentu si calon ketua terkejut. Sesaat mulutnya bungkam tak dapat bicara. Baru setelah sesaat dapat menguasasi diri lagi dia bereaksi. “Hah! Kok begitu? Apa alasannya!” tanyanya kesal dengan suara tinggi. Marah.
Sang Tokoh tetap tenang. “Begini. Nanti tiga bulan lagi Bapak juga yang mengambil Jabatan itu kok,” kata Sang Tokoh.
Si calon tambah terkejut. ”Apa-apaain ini? Bagaimana mungkin?” cecarnya.
“Tiga bulan lagi dia akan wafat,” ungkap Sang Tokoh, seraya terkejut sendiri, dan segera memberi penjelasan tambahan.”Maaf, maksudnya tiga bulan lagi ada jalan bagi Bapak jadi ketua.”
“Caranya?”
“Saya yang jamin!” Sang Tokoh memberikan penegasan.
Calon ketua mulai melunak. Dia mulai berpikir memenuhi saran Sang Tokoh.
“Udah percaya aja deh sama saya! Ayo sekarang kita kembali berkumpul dengan yang lain.
Belum sempat kelompok calon kedua ini meminta keterangan panjang lebar bagaimana hasil, pembicaraaan anatar Sang Tokoh dengan wakil mereka, rapat musyawarah sudah dimulai lagi, sehingga mereka tak dapat bicara sendiri serta harus fokus ke musyawarah.
“Baik skorsing saya cabut. Musyawarah saya buka kembali,” kata ketua sidang. “Semoga telah ada hasil atau mufakat terbaik. Jadi kita tidak perlu bertele-tele lagi.”
Semua jemaah peserta sidang menyimak dengan seksama.
“Baik, bagaimana para calon sudah ada keputusan yang baik?”
tanya pimpinan sidang lagi. Tak ada yang menyahut. “Saya persilakan mulai dari calon pertama untuk mengemukakan hasil terbaik buat kemasalahatan jemaat. Silakan “
“Terima kasih. Assalamualaikum,” kata calon pertama memulai tanggapanya. “Izin, tanpa mengurangi rasa hormat kepada bapak-bapak, dan bukan buat mempersulit musyawarah ini, saya dan banyak jemaah disini, berpendapat, yang terbaik buat kita bersama, saya menyatakan tetap pada pendirian awal: saya tetap maju mencalonkan diri!”
Ketua sidang menganguk- anggukan kepalanya. Dari pernyayaan itu dia melihat secara tersirat, masih ada perlawan berseberangan antara calon, sehingga kemungkinan besar musyawarah menuju voting. Wajahnya menjadi kelihatan kecewa, tetapi berusaha menampilkan kewibawaan sebagai pemimpin sidang.
“Terima kasih. Jadi jelas ya semua. Calon yang pertama tetap berkeyakinan akan maju dan tetap pada pencalonannya. Karena sudah jelas, saya tidak meminta tanggapan dari yang lain”
Kedua sidang membetulkan duduknya sejenak. “Sekarang silakan calon yang kedua mengemukakan tanggapan atau keterangannya,” tambahnya.
Tanpa menunggu lama calon kedua langsung menyahut. “Kita jemaah mesjid dari dulu, jemaah yang guyup. Kekeluargaan. Jadi, persatuaan jemaah lebih penting ketimbang urusan lain. Maka dengan ini, bismilahirohmanhirohim, dengan ini saya menyatakan mengundurkan diri sebagai calon ketua!”
Belum sempat dia meneruskan kalimatnya, sudah tersengar tepuk tangan panjang bergema. Segala puji terhadap kebesaran Allah terdengan dari mulut-mulut jemaah.
Setelah tepuk tangan reda, calon kedua ini berkata lagi,”Saya mengambil keputusan ini setelah mendengar saran dari Sang Tokoh. Katanya, tiga bukan lagi mungkin saya bisa saja menjadi ketua….”
Langsung terdengar tertawa terbahak-bahak dari hadirin. Pernyataan yang terakhir dianggap hadirin sebagai lawakan belaka. Cuma humor komedi situasi. Makanya mereka tertawa.
“Terima kasih. Walaukumsalam warohmatulohhiwabarakatuh.”
Wajah pimpinan sidang berubah cerah. Dia tak menduga hasilnnya tidak seperti yang disangka.
“Alhamdullilah. Musyawarah telah mencapai mufakat. Dengan telah mundurnya calon kedua secara sukarela dan ikhlas, berarti sekarang tinggal satu calon ketua saja!” katanya lancar. “Apakah hadirin menyetujui satu-satunya calon yang ada ditetapkan menjadi ketua DKM untuk priode lima tahu n kedepan?” tanyanya.
“Seeeetujuuuuu…!” serentak jemaah menjawab.
“Baik dengan demikian sejak saat ini kita telah memiliki ketua baru. Dengan ini sebagai ketua sidang saya sahkan ketua baru!”
Ketua sidang melanjutkan,”Jemaah mesjid perlu memberikan contoh dan teladan yang baik kepada masyarakat. Untuk itu, kami persilahkan yang semula menjadi calon memberikan ucapan selama.”
Calon yang mengundurkan diri segera bangkit menghampiri ketua baru. Mereka berpelukan. Sesudah. Itu ketua baru mendapat ucapan selamat dan pelukan dari jemaah.
“Sesuai kesepakatan bersama, sebelum melaksanakan tugas, ketua baru harus disumpah lebih dahulu. Sumpah dipimpin langsung oleh guru kita, sesepuh kita yang kita sangat hormati, ketua lama.”
Pelaksanaan sumpah pun segera dilaksanakan. Seorang jemaah meletakan Al Quran di atas kepala ketua baru. Ketua mesjid lama meminta agar ketua baru mengikuti lafal sumpah yang sudah disiapkan tim khusus:
“Demi Allah, saya bersaksi tiada Tuhan Melainkan Allah, dan Nabi Muhammad utusannya.
Demi Allah saya akan menjalakan segala tuas kewajiban sesuai peraturan perundang-undangan dan ajaran agama Islam dengan sebaik-baiknya.
Demi Allah saya tidak akan korupsi. Saya tidak akan melakukan tindakan tercela.
Demi Allah saya akan berlaku adil, jujur dan amanah.“
Acara pemilihan ketua baru berangssur-angsur bubar. Jemaah mulai meninggalkan mesjid.
Demikian pula Sang Tokoh ikut melangkah keluar mesjid. Tapi begitu dia sampai di perkarangan mesjid, dia dihadang seorang wartawan radio. Wartawannya tidak bertanya soal agama, melainkan soal sepak bola. Alasan si wartawan, dia diminta produsernya menghubungi Sang Tokoh yang dikenal suka terhadap sepak bola untuk memberi komentar dan prediksi skor pada pertandingan yang sebentar lagi berlangsung. Selain Sang Tokoh ada beberapa orang terkenal lain yang juga diminta komentarnya. Setengah lucu-lucuan saja. Komentar dan prediksi akan rekaman dan langsung disiarkan. Sang Tokoh setuju saja dan langsung mau direkam karena untuk sekedar meramaikan.
“Menurut pendapat pribadi saya, pertandingan Belanda lawan Argentina ini bakal seru. Melihat kehebatan kedua kesebelasan akan banjir gol. Saling susul, mencerak gol, tapi akhirnya Argentina menang 4-3. Hahahaa…”
Suara rekaman Sang Tokoh langsung disiarkan. Banyak tanggapan dan komentar dari pendengar lainya. Ada yang menyebut skor prediksi Sang Tokoh kebesaran. Siapa yang menang dan kalah pun tak luput dari analisis warga yang seakan-akan sudah menjadi ahli sepak bola. Sang Tokoh sendiri melupakan “prediksinya.” Dia cukup menganggap hal itu sekedar ikut meramaikan. Dia segera melupakan wawancara tebak-tebakan itu.
Di luar dugaan, wawancara itu berdampak panjang. Malamnya reporter yang mewawncarai Sang Tokoh menelpon. ”Ternyata dari semua yang membuat prediksi, cuma prediksi Anda, yang akurat dan tepat!” reporternya mengabarkan.
“Hahaha…..terima kasih,” jawab Sang Tokoh.
“Ada hadiahnya lho!”
“Apa?”
“Voucher makan dan nonton gratis berdua.”
“Wah, terima kasih.”
“Tapi setelah ini Anda diminta direksi kami menjadi komentator bola di kami. Gimana?”
“Sebuah kehormatan buat saya. Nanti saya pikirkan lagi ya”
“Oke”
Setelah itu, kejutannya, tak hanya stasion radio yang mewawancarainya yang memintanya jadi komentator. Beberapa stasion televisi juga meminta tampil menjadi komentator lengkap dengan draf kontraknya setahun. Semua masih dipertimbangkan Sang Tokoh.
Itu kejutan pertama. Kejutan kedua lebih besar lagi. Saat Sang Tokoh sedang mau makan malam bersama keluarga, ketika telepon genggam tanganya berbunyi. Dari calon ketua DKM yang tidak jadi ketua. Segera teleponnya diterima.
“Sudah dengar kabar?” terdengar suara di ujung telepon genggam Sang Tokoh.
“Kabar apa?”
“Ketua DKM kita baru saja meningggal dunia!”
Deg. Sang Tokoh sangat terkejut. Jantungnya seperti berhenti. “Innailahiwainailahirojiun.”
“Jantung.”
“Oh.”
“Tepat tiga bulan seperti Sang Tokoh bilang.”
“Oh…”
“Jitu sekali!”
“Ah, mungkin kebetulan saja,” elak Sang Tokoh. Padahal sejatinya Sang Tokoh memang sudah mengetahui dalam tiga bulan ke depan almarhum akan dipanggil Sang Pencipta, tapi Sang Tokoh tidak mau mengungkapkanya terang-terangan. Dia tak mau kelebihan punya “indra keenam” diketahui khalayak.
Di luar dugaan Sang Tokoh, justeru calon kedua inilah yang bercerita kemana-mana, mewartakan Sang Tokoh sejak awal sudah mengetahui kematian itu dengan tepat. Dengan detail. “Kayaknya dia orang seperti wali, dapat menegtahui yang orang lain tidak tahu,” tuturnya kemana-mana.
“Betul ya begitu?” ada yang tanya.
“Luar biasa. Kayak punya pengetahuan khusus. Mungkin aja dia orang sakti lho. Kalau enggak kan, saya waktu itu saya tudak akan mundur, tapi sesudah dia beri jaminanan, herannya saya langsung percaya. Langsung mengiyakan. Kalau orang biasa mana yakin dan tahu apa yang bakal terjadi,” ungkapnya.
Pada kesempatan lain, calon kedua itu menegaskan,” Kalau ibarat zaman dulu dia ini si lidah pahit. Semua yang dikatakannya pasti terjadi.”
Sejak itu Sang Tokoh mendapat julukan “Si Pahit Lidah:” apa yang diucakan selalu benar.
Setelah kematian ketua DKM, calon ketua kedua ini segera diangkat sebagai ketua baru, tepat seperti pernyataan Sang Tokoh.***
(Bersambung)