Oleh Wina Armada Sukardi
SEPULANG Sang Tokoh ke rumah dari rumah sakit, di depan rumahnya penuh orang. Ada keluarga dan kerabat. Sebagian lagi tetangganya, sebagian wartawan dan sebagi orang lain yang tak kenalnya. Rupanya berita kejadian yang dialami Sang Tokoh sudah menyebar kemana-mana, sehingga membetot banyak perhatian. Itulah sebabnya manakala Sang Tokoh pulang, mereka membanjiri rumah Sang Tokoh. Masyarat banyak yang ingin melihat dan bertemu langsung dengan Sang Tokoh. Mereka penasaran ingin mengetahui seperti apa gerangan Sang Tokoh saat pulang dari rumah sakit.
Meski sempat terkejut sejenak, Sang Tokoh tetap tersenyum. Dia dengan sabar melayani semua yang ingin bersalaman atau foto bersamanya. Beberapa wartawan meminta jadwal untuk mewawancarainya, Sang Tokoh juga mau mengatur jadwalnya.
Setelah para pengunjung pergi, barulah Sang Tokoh dapat masuk rumah dengan leluasa. Kini ingatan memang jauh lebih tajam dibanding sebelum kejadian dia seperti “mati suri.” Dia dapat mengingat dengan jelas sudut-sudut rumah secara detail. Ketika melihat perpustakaan kecilnya, dia langsung hafal dimana ketak-letak bukunya.
Sang tokoh mengambil tiga buah buku secara acak yang bidang bahasannya berlainan: agama, politik dan seni budaya. Ketika membuka-buka buku itu, dia memihat bagian yang digarisbawahi atau dicoret-coret, Sang Tokoh takjub sendiri. Berbeda dengan sebelum kejadian dia ditabrak, Sang Tokoh sulit sekali menghafal inti dari buku itu, kini bukan hanya bagian yang digarisbawahi, tetapi juga seluruh isi buku yang pernah dia baca itu, mampu diingatnya denga tepat. Ada kekuatan baru yang luar biasa yang membuat Sang Tokoh dapat mengingat semua buku yang dibacanya. Juga semua yang dia pelajari secara langsung, atau tidak langsung. Kekuatan yang dia sendiri tidak mengetahui bagaimana prosesnya, apakah ada peningkatan IQ yang begitu mendadak lantaran struktur otaknya berubah, dia tak faham. Cuma Sang Tokoh mafum, daya ingat itu diperolehnya setelah dia tak sadarkan diri sekitar sebulan.
Sang Tokoh menyakinkan, semua itu pastilah pemberian dari Sang Pencipta. dari Tuhan. Dari Allah. Disinilah Sang Tokoh bertambah percaya, tak ada yang tidak mungkin bagi Alllah. Darisini pula Sang Tokoh punya persepsi baru terhadap berbagai kejadian. Jika Alllah menghendaki, pasti terjadi. Akal adalah sesuatu yang teramat sangat penting. Akal menciptakan peradaban dan kebudayaan. Manusia harus memperdayakan dan menghormati akal. Tanpa pemanfataan akal secara maksimal, tak mungkin ada perubahan.
Akal adalah anugrah dari Allah. Manusia yang tidak menghormati akal, sama dengan manusia yang tidak menghormati Pencipta akal itu sendiri. Dengan kata lain, menempatkan akal sebagai sesuatu yang penting, sama dengan memberikan penghormatan yang luhur terhadap Penciptanya.
Demikian pula pemanfaat akal yang maksimal merupakan rasa bersyukur terhadap Pencipta akal. Konsukuensinya, manusia diwajibkan semaksimal mungkin memanfaatkan potensi akalnya. Dan itu artinya manusia harus berpikir. Manusia yang malas berpikir ialah manusia yang kufur nikmat. Manusia yang tidak tahu berterima kasih telah diberikan potensi akal untuk berpikir tetapi tidak dimanfaatkannya. Kemasalan berpikir adalah pengingkaran terhadap potensi kehebatan yang telah diberikan oleh Sang Kuasa. Tentu saja pemakian akal sepanjang batas kemampuannya. Tidak mungkin melebihi dari kemampuannya. Sebaliknya, banyak yang justru tidak memakai akal sesuai dengan kapasistas yang dimilikinya. Itu yang mesti dihindari.
Tetapi sehebat-hebatnya akal, dalam banyak hal, akal pun terbatas. Banyak fenomena di luar jangkauan akal. Tapi terjadi. Tapi jadi fakta. Itulah sebagian kecil dari keluarbiasaan Alllah sebagai Pencipta. Bagi Alllah tak ada yang tak mungkin, termasuk hal-hal yang berada di luar jangkauan akal.
Sang Tokoh merujuk ke dirinya sendiri. Terjadi perubahan yang luar biasa dalam dirinya sendiri yang mungkin secara akal sulit diterangkan. Kini dia seperti memiliki ingatan yang kuat, dapat membaca karakter sebagian orang, melihat dimensi-dimensi yang tidak manpu dilihat orang pada umumnya. Semacam Manusia super, tetapi tetap terbatas. Mengapa hal tersebut terjadi, semata-mata lantaran kehebatan dan keagunganNYA. Bagaimana Pemegang Kekuasaan Abadi melakukannya, sungguh di luar kemampuan akal.
Selagi Sang Tokoh tercenung, dia mendengar burung kakak tuanya berteriak-teriak. Aneh, kini Sang Tokoh juga dapat mendengar makna di balik teriakan-teriakan burung kakak tua milik keluarganya. Rupanya, dari yang didengar secara khusus oleh Sang Tokoh, burung kakak tua menyatakan rasa kangen, rindu kepada Sang Tokoh. Si burung kakak tua minta Sang Tokoh menghampirinya dan mengelus-elusnya.
Permintaan itu diluluskan Sang Tokoh. Dia mendatangi burung kakak tua, dan burung kakak tuanya menaik turunkan kepalanya, pertamda bersuka cita, seraya mengucapkan senang dan terima kasih kepada Sang Tokoh. Kakak tua itu diberikan makanan kuaci, dan dikembalikan ke tempatnya. Kali ini burung kakak tua sudah tenang dan sibuk dengan makanannya. Sang Tokoh meninggalkanya.
Tak jauh melangkah dari itu, Sang Tokoh kembali terperanjat. Rupanya dirinya tak hanya dapat berbicara dengan burung, dengan kucing pun Sang Tokoh mampu berkomunikasi. Kucing yang sering datang ke rumah menatap Sang Tokoh seperti mengatakan sesuatu tanpa mengeluarkan suara. Dia rupanya mengadu kepda Sang Tokoh, baru saja mengejar tikus di luar rumah. Sang Tokoh memganguk-angguk dan menjawab dalam bahasa kucing “Iya ya, bagus. Segera sana kalau ada lagi tangkap,” jawab Sang Tokoh.
Sang Tokoh sendiri tidak memahami apa yanh terjadi, termasuk tak tahu bagaimana prosesnya, Sang Tokoh kini memiliki kemampuan mendengar dan bicarakan dengan binatang. Tak hanya satu jenis binatang, melainkan dengan semua binatang.
Kini Sang Tokoh baru percaya dan yakin, kisah semacam Joko Tingkir yang dapat menaklukan banyak buaya, bukan lantaran kehebatan fisiknya mengalahkan buaya-buata itu, namun barangkali Joko Tingkir diberikan juga kelebihan untuk dapat berkomunikasi dengan buaya, sehingga para buaya menuruti perintah Joko Tingkir.
Demikian pula beberapa orang lain yang diberikan kemanpuan menghadapi binatang, boleh jadi mereka memahami bahasa binatang yang dihadapi. Setidaknya dari bahasa tubuh binatangnya, seperti gerakan mata, gerakan waspada dan sebaiknya, banyak orang diberikan pemahaman mengenai isyarat dari binatang. Sebagian lagi diberikan kelebihan bahkan dapat berkomunikasi dan bicara dengan hewan. Semacam karomah. Pemberian kemampuan dari Allah kepada orang tertentu yang tidak diberikan kepada umum atau orang lain.
Hanya saja, berbeda dengan orang-orang yang diberikan kemampuan memahami dan berbicara dengan binatang tertentu saja, Sang Tokoh dapat berbicara dengan segala jenis binatang. Dari binatang yang kecil sampai yang besar. Hal ini membawa keuntungan sekaligus kerepotan luas biasa buat Sang Tokoh.
Keuntungannya jelas: dia dapat berkomunikasi secara baik dan benar dengan binatang apapun. Sebaliknya, kerepotannya, setiap saat dia mendengar lalu lalang komunikasi di antara binatang-binatang dekatnya. Walhasil kupingnya seperti tidak pernah istirahat, dan itu melelahkan.
Ketika mandi dan kepalanya sedang dibasahi, Sang Tokoh berkonsentrasi penuh. Dia berupaya menghilangkan sumber kemampuan medengar dan memahami berbicara dengan hewan di kepala dan pikirannya. Beberapa saat dahinya berkerut. Matanya sejenak terpejam. Dan, berhasil. Semua suara binatang yang dapat didengarnya lenyap. Tak ada lagi satupun suara binatang yang dapat di dengarnya lagi setelah itu.
Sang Tokoh lebih tercenung sejenak. Dia tak tahu apakah dirinya dapat mengembalikan kemampuannya mendengar dan mengerti binatang atau tidak. Dia tak pernah punya pengalaman apapun sebelumnya mengenai hal ini. Kalau pun kemampuannya hilang, Sang Tokoh sudah pasrah. Ikhlas. Baginya Allah mememberikan kesempatan untuk merasakan dapat berkomunikasi dengan binatang, meski cuma sesaat saja, itu pun dirasakan Sang Tokoh sudah merupakan nikmat besar. Jika lantas diambil kembali oleh pemilikNya, Sang Tokoh memastikan dirinya tak pernah menyesal. Sang Tokoh tetap merasa bersyukur. Apapun yang dari Allah, dipandangnya sebagai yang terbaik bagi dirinya. Demikian apapun yang diambil oleh Allah dari dirinya, Sang Tokoh rela dengan terima kasih yang meluap. Pemberian dan pengambilan apapun oleh Allah dari dirinya baginya sama saja. Keduanya nikmat yang harus disyukuri. Nikmat yang pasti terbaik untuk dirinya dari Allah. Maka pemberian dan pengambilan apapund ari Allah harus sama-sama disyukuri dengan tulus. Dengan cara begitu Sang Tokoh sudah tidak lagi merasa pernah rugi. Tak lagi ada rasa cemas. Khawatir. Segalanya dihadapi dengan senang dan rasa bersyukur.
Ketika dia dapat mendengar dan berbicara dengan binatang, bagi Sang Tokoh hal itu anugrah. Amanah. Kemampuan yang perlu dilaksanaka dengan sangat hati-hati dan bijaksana. Lalu manakala kemampuan itu diambil lagi dan dia sudah tidak dapat berkominikasi dan berbicara dengan binatang, justeru tetap menambah keimanan dan ketaqwaanya. Dapat bicara dengan hewan, atau tidak dapat berbicara dengan hewan, pastinya buat Sang Tokoh bermakna keadaan sama.
Sang Tokoh berkonsentrasi lagi. Dia memusatkan lagi pikirannya. Mengulang lagi proses yang sama ketika dia menghilangkan kemampuanya berbicara dengan binatang, tapi kali ini justru untuk membuka lagi kemungkinan dapat berbicara dengan hewan kembali. Jiwa raganya diarahkan ke proses mekanisme membuka faktor penutup sumber penghalang untuk medengarkan dan berbicara dengan para hewan. Sekitar 3 – 5 menitan, tiba-tiba Sang Tokoh dapat kembali mendengar suara-suara binatang, sekaligus berkomunikasi dengan mereka.
Ini artinya, kemampun Sang Tokoh telah kembali lagi. Sang tokoh pun tak habis-habisan bersyukur.
Berbagai macam pikiran menghingapi Sang Tokoh. Bagaimana mungkin kemanpuannya mendengaran dan bicara dengan binatang dapat pergi begitu saja? Muncul gagasannya: jangan-jangan semua itu sejatinya dapat dia dikendalikan. Siapa tahu Allah memang memberikannya kelebihan tidak sekedar dapat mendengarkan dan memahami suara hewan, tapi juga dapat mengaturnya. Dia dapat menghilangkan, namun lalu juga sekaligus mengendalikannya.
Sang Tokoh lantas kembali berkonsentrasi seperti awal. Betul saja. Suara hewan seluruhnya hilang. Pada saat itu, dia berkosentrasi melakulan seperti awal untuk menghadirkan kembali kemampuannya mendengar suara binatang. Berhasil. Demikian seterusnya berkali-kali dilakukannya sampai akhirnya dia mahir mengendalikan.
Beberapa hari kemudian Sang Tokoh datang ke kebun binatang. Saat itu karena bukan hari libur, kebon binatang relatif sepi. Hanya ada beberapa pengunjung. Dari yang sedikit pun ada yang sedang berasyuk mashyuk dengan pasangannya. Keadaan yang tidak ramai itu membantu Sang Tokoh berkonsentrasi penuh.
Sewaktu kepalanya agak pening lantaran dia tak mampu mencegah mendengar semua percakapan binatang yang ada di kebon binatang, dia berkonsentrasi seperti di kamar mandi. Benar, seluruh suara dan pembicaraan hewan lenyap dari kupingnya.
Dia berjalan ke depan beberapa langkah. Sang Tokoh konsentrasi lagi dengan cara yang sama. Kemampuan mendengar dan bicara dengan hewan, datang lagi. Berkali-kali diulangnya, Sang Tokoh telah mampu mengendalikan dirinya dengan cepat mendatangkan dan menghilangkan kehebatan berbicara dengan hewan.
Sang Tokoh berjalan mengelilingi sebuah blok di kebon binatang itu. Di kadang gajah di berhenti. Dia dapat mendengar gajah berbicara, tapi hewan-hewan lain di sekitarnya juga dapat bicara dan terdengar jelas oleh Sang Tokoh. Setelah berpikir sejenak Sang Tokoh berkonsentrasi lagi. Mengosongkan pikiran sejenak dan menutup segala saluran kemampuan untuk berkomunikasi dengan hewan, tetapi tetap membukanya khusus saluran untuk gajah. Keringat mulai menetes di dahinya. Hasilnya? Dia gagal total. Dia masih mendengar semua suara binatang yang jarak tempuhnya sampai ke telenginya.
Setelah menenangkan diri, Sang Tokoh mencoba lagi. Caranya sama namun dengan sedikit varian cuma menampung kemampuan berkomunikasi dengan gajah. Sang Tokoh seperti merasakan akan keberhasilan menutup semua komunikasi dengan binatang lain, kecuali gajah. Kemampuan mengatur hanya dapat bicara dengan satu binatang saja, sementara dengan binatang lain, dapat dihilang, serasa sudah dekat dialami Sang Tokoh. Namun kala dilaksanakan buyar lagi. Kembali gagal. Dia tak dapat mengatur hanya bicara dengan gajah tetapi bersamaan dengan itu tidak bicara dengan binatang lain, belum kesampaian. Sang Tokoh sendiri tak faham mengapa demikian. Apakah memang amanahnya seperti sekarang, ataukah ada sesuatu yang tak difahaminya. Sang Tokoh tidak tahu menahu.
“Hai, wahai kamu gajah yang besar, tahu tidak caranya cuma ngomong sama kamu dan tidak dengan yang lain?” tiba-tiba Sang Tokoh bertanya pada seekor gaja.
Gajah yang ditanya menggerakan belalainya. Menatap Sang Tokoh. “Mana kami tahu,” jawab gajah dengan suara bahasa gajah.”Kalo ditanya mau makan apa sekarang kami tahu,” tambah gajah.
Sang Tokoh tersenyum. “Oke gajah. Terima kasih,” kata Sang Tokoh meninggalkan kawasan gajah.
Sambil berjalan, Sang Tokoh terus mencoba-coba, tapi selama itu pula tak pernah berhasil. Sang Tokoh tidak pernah berhasil hanya dapat bicara dengan satu jenis binatang saja. Kemampuannya berbicara dengan binatang harus dilakukan dengan mendengar semua binatang yang ada di sekitarnya.
Tak ada dalam benak Sang Tokoh pikiran lain kecuali menambah taqwa kepada Sang Pencipta. Dia berjalan ke arah pintu keluar. Dia ingin meninggalkan kebon binatang setelah memperoleh kepastian dapat mengetahui bagaimana pola mendengarkan dan menghilanglkan suara hewan serta berbicara dengan mereka. Itu pun bagi Sang Tokoh sudah luar biasa.Saat jalan menuju ke arah pintu ke arah, sebelum meninggalkan area kebon binatang, Sang Tokoh sayup-sayup merasa ada yang memanggilnya. Sang Tokoh menenggok kiri ke kanan , ke depan belakang, tidak ada manusia. Tapi dia yakin ada yang memamggilnya.
“Hai manusia, sini. Sini!” panggilan suara itu makin jelas terdengar.
Setelah dengan lebih seksama, dia melihat seekor orang hutan besar memanggil-manggilnya. Dia tak menyangka itu suara orang hutan lantaran mirip benar dengan manusia biasa. Sang tokoh berbalik langkah mendekati kadang area orang hutan.
“Lagi bingung, Hai Bro manusia?” tanya orang hutan itu setelah mereka agak berdekatan. Lagaknya seperti generasi muda kiwari (dewasa ini).
“Woouwww, kok orang hutan bisa menerka?” jawab Sang Tokoh.
“Aaaiiit, orang hutan juga ada samanya dengan manusia. Lihat muka kusut manusia, pasti ada masalah!”
Ini orang hutan pintar juga, pikir Sang Tokoh. Dia tahu tidak semua orang hutan cerdas, sebagaimana tidak semua dari mereka bodoh.
“Sebenarnya gak ada masalah, cuma sedikit lagi ingin mencari cara sesuatu, “ kata Sang Tokoh, tentu dalam bahasa orang hutan.
Orang hutannya memandang Sang Tokoh sejenak. Lalu malah pergi meninggalkan Sang Tokoh sambil berteriak-teriak. Hewan ini besar sekali. Tinggi. Besar. Kekar. Lain dari ukuran orang hutan biasa. Sang Tokoh selain memperhatikan fisik juga memperhatikan kelakuan orang hutan. Dalam hatinya dasar hewan!
“Hai, hai, kamu kan yang tadi panggil saya, kenapa sekarang saya kamu tinggalkan,” teriak Sang Tokoh kepada orang hutan itu.
Orang hutan segera balik mendekati Sang Tokoh. Sambil cengar-cengir dia berkata,”Oh iya ya, saya yang panggil kamu.”
“Ada apa Wahai Orang Hutan besar?” tanya Sang Tokoh langsung.
“Hai manusia, kamu kan tidak tahu cara bicara dengan satu jenis hewan saja? Betul tidak?”
Sang Tokoh takjub. Bagaimana orang hutan ini mengetahui?
“Iya betul!” jawab Sang Tokoh. Spontan dan jujur.
“Saya mengetahui caranya!” tegas otang hutan penuh keyakinan.
Sang Tokoh setengah tak percaya. Aneh saja jika orang hutan besar ini sampai mengetahui caranya sementara dia sebagai manusia tak dapat mengetahui caranya. Apa betul orang hutan ini dapat dipercaya?
“Mau tahu tidak caranya?” tanya orang hutan, seakan dalam dialog ini dialah yang mengendalikanya.
Sang Tokoh kembali bimbang. Akhirnya dia berpikir, jika ternyata tak benar, juga tak apa-apa karena memang dari awal haruas tidak ditanggapi dengan asa besar. Sebaliknya kalaulah memang benar, dia juga untung.
Orang hutan meminta Sang Tokoh mendekat. Dengan berhati-hati dan sikap setengah curiga, Sang Tokoh mendekat ke orang hutan. Dia tetap waspada agar jika terjadi serangan, dia siap menghindar.
Setelah cukup dekat, orang hutan besar menerangkan dengan suara seperti orang setengah berbisik. Sang Tokoh mendengarkannya dengan seksama. Dia merasa yang diterangkan orang hutan besar itu banyak benarnya, dan sesuai dengan keadaan yang dihadapinya.
Sang Tokoh ada pada posisi dilematis. Percaya, kok pada orang hutan. Tidak percaya , kok sangat masuk akal.
“Nanti waktu dicoba di rumah, wahai manusia, selama tiga hari kamu tidak akan mengenal siapapun. Kamu lupa siapapun. Tak kenal seorang pun!” tutur orang hutan, bagaikan seorang psikolog profesional kepada pasiennya.
“Oh begitu?”
“Iya. ”
“Ooohhhh…..”
“Kecuali Bapak Ibu saja yang kamu masih kenal. Lainnya selama tiga hari kamu tidak ingat. Kamu juga gak ingat siapa kamu.”
Syarat yang aneh dan hampir tidak masuk akal. Sang Tokoh sebenarnya sangsi, tapi dia tidak ada pilihan lain.
“Ada satu lagi,”tambah orang hutan.
“Selama semingu badan kamu akan sangat bau hewan. Berganti-ganti hewannya. Hampir semua hewan. Besar kecil. Dari kambing, anjing, babi, ayam, uler, musang, buaya, harimau, tikus dan lainnya,” ungkap orang hutan.
Sang Tokoh terpana. Mulutnya mengangga. Padahal itu belum bagian akhir dari kejutan yang diberikan orang hutan besar.
“Dan selama seminggu itu tidak boleh mandi. Tidak boleh pakai parfum.”
“Waduh!”
“Memang demikian. Kalau dilanggar, kemampuan Itu hilang.”
Sang Tokoh mematung.
“Terserah mau dilaksanakan atau tidak.”
Sang Tokoh seperti kena hipnotis. Pikiran tergiring untuk menyanggupi segala syarat yang dikemukan orang hutan besar . Meski merasa tidak wajar, Sang Tokoh merasa tidak berkutik. Dia menganggukan kepalanya.
“Nanti setelah dapat dilakukan harus dicoba di kebon binatang ini,” kembali si orang hutan tesebut memberi perintah yang tidak dapat dibantah Sang Tokoh.
“Iya.”
“Nanti setelah datang kesini, coba dulu ke harimau dan ular. Setelah sukses baru datang ke sini lagi. Cari saya!”
Sang Tokoh lagi-lagi tak bisa membantah. “Ya,”katanya.
Orang hutan tanpa pamit kepada Sang Tokoh, langsung meninggalkan Sang Tokoh. Reflek Sang Tokoh memanggilnya kembali.
“Eh, wahai orang hutan besar, tunggu sebentar,” teriak Sang Tokoh.
Orang hutan berhenti sebentar, tetapi tidak menenggok ke Sang Tokoh.
“Satu aja pertanjaan lagi aja. Dari mana kamu tahu ini?”
Orang hutan besar tertawa. Bagi orang awam seperti terdengar seperti berteriak saja. Tanpa menoleh dia berlari lagi seraya berkata,”Ada deh!”
Tinggal Sang Tokoh terpaku pada tempatnya. Dia tidak habis berpikir bagaimana dirinya “dipermainkan” oleh seekor orang hutan. Cuma ini kejadian benar. Fakta. Aneh tapi nyata.
Semua yang diungkapnya orang hutan dilaksanakan Sang Tokoh, tentu setelah di rumah. Orang hutan itu tak membual. Seluruh ucapannya terbukti. Selam tiga, seperti dikatakan orang hutan, Sang Tokoh seperti lupa ingatan. Total tidak tahu apa-apa sama sekali. Bagaikan orang gila. Dia hanya ingat Ayah dan ibunya saja, sebagaiman yang dikatakan si orang hutan. Begitu jiga tubuhnya bau binatang bukan alang kepalang.
Tiga hari pertama Sang Tokoh, tidk merasa berat lantran telah menjadi bagaikan orang gila. Tak ingat apapun. Tak ingat siapapun, bahkan dirinya. Dia hanya inget bapk dan ibunya saja. Dengan begitu baunya tidak begitu berpengaruh kepada dirinya.
Selepas hari ketiga barulah Sang Tokoh sadar. Akibatnya dia baru mencium badan dirinya yang begitu bau. Jenis baunya sangat menyengat membuat dirinya amat mual. Kepalanya pusing. Dia
Demam. Mengerang tak jelas.
Ketika Sang Tokoh keluar kamar, seluruh rumah heboh. Mereka berteriak-teriak.
“Uuuuhh baaaaaauuuuu banget,” kata kakaknya.
“Iiiihhh bau menjijiiikkan,” timbal adiknya.
Terpaksalah Samg Tokoh masuk kamar kembali.
Untungnya Sang Tokoh sebelum melaksanakan saran orang hutan besar sudah menceritakan lebih dahulu kemungkinan yang terjadi kepada Ayah dan ibunya, sehingga mereka faham apa yang terkadi sehingga tidak mengambil tindakan apapun.
Alhamdulillah proses yang berat itu dapat dilalui Sang Tokoh dengan sukses. Hari kedelapan dia mandi membersihkan tubuhnya sampai berkali-kali, barulah bau kebinatangan lenyap.
Setelah mandi, baru pulalah pikirannya jernih kembali. Tubuhnya juga terssa segar. Dia merasa hidup kembali seperti layaknya layaknya manusia normal. Manusia biasa.
Sesuai dengan permintaan orang hutan besar, Sang Tokoh segera kembali ke kebon binatang. Dia penasaran ingin mencoba hasil dari proses yang dituturkan orang hutan besar.
Hari belum siang, Sang Tokoh sudah berangkat ke kebon binatang. Sebelum ke kebon binatang, dia mampir membeli berbagai makanan orang hutan. Dia ingin memberikan makanan tersebut kepada orang hutan besar sebagai rasa terima kasih.
Seperti kala Sang Tokoh datang sebelumnya, suasana kebon binatang hari itupun masih sepi. Makanan orang untuk orang hutan besar harus diberikan lebih dahulu ke pihak kebon binatang untuk diperiksa. Di kebon binatang tidak boleh memberikan makan semabarangan. Ini untuk mencegah sakit dan kematian binatang yang ada disana. Makanan yang diberikan harus dipastikan keamanannya. Sang Tokoh menitipkan makan itu kepada petugas, sementara dia menuju area binatang peliharaan.
Dia menuju kandang harimau. Disana Sang Tokoh mematikan suara-suara binatang lain tetapi membuka saluran untuk komunikasi dengan harimau sebagaimana diberitahu oleh orang hutan besar. Berhasil. Sang Tokoh mampu khusus berkomunikasi dengan harimau tanpa gangguan suara binatang lain.
Setelah itu Sang tokoh beralih pergi ke kandang ular. Kedatangan Sang tokoh langsung dikenali para ular. Terjadilah dialoog khusus antara Sang Tokoh dengan ular.
“Disini kami kepanasan,” kata seekor ular.
“Kan ada air di kolam sebelah sana,” terang Sang Tokoh.
“Tapi airnya sudah kotor dan juga sudah panas kena matahari….”
“Nanti saya minta petugas untuk memandikan dengan air jernih dan dingin.”
Semua cara dan syarat yang diungkap orang hutan besar ternyata benar adanya. Tak ada satupun yang meleset. Semuanya tepat. Akurat. Dia ingin mengucapkan terima kasih dan menjalin persahabatan panjang dengan orang hutan besar itu.
Penuh keyakinan Sang Tokoh menuju kandang orang hutan.
Sampai disana dia tak menemukan orang hutan yang dimaksud. Dipanggil berkali-kali, orang hutan besar tidak menyahut sama sekali. Ada apa gerangan?
Dia bertanya kepada orang -orang hutan yang ada disitu, kemana rekan orang hutan mereka yang besar. Sang Tokoh mendapat jawaban yang mencengangkan.” Tidak ada orang hutan terman kami yang sebesar seperti itu!” jawab salah satu orang hutan disana.
“Tapi saya seminggu lalu ketemu dan bicara dengan dia. Besar sekali,” Sang Tokoh menyanggah.
“Paling kuat dan besar dia,” kata orang hutan tadi menunnjuk seekor orang hutan. Sang Tokoh memperhatikan orang hutan yang ditunjuk,dia tidak ragu itu bukan oranh hutan yang dia maksud. Tubuhnya orang hutan ini tidak ada sepertiga dari orang hutan yang berbicara dengannya.
“Bukan itu!” tegas Sang Tokoh.
Merasa tidak percaya dan yakin pasti ada orang hutan besar yang sebelumnya bicara dengan, Sang Tokoh mendatangi pengelola kebon binatang. Dia menanyakan kemana orang hutan besar yang dia lihat waktu datang. Petugas pengelola kebon binatang mendengarkan dengan seksama sampai penjelasan Sang Tokoh selesai. Tentu Sang Tokoh tidak mengutarakan dia dapat bicara dan berkominikasi denga orang hutan besar itu. Kalau dia ungkapkan kemampuannya dapat bicara, ada dua kemungkinan: Sang Tokoh dianggap orang gila,atau malah menimbulkan kehebohan. Apalagi kalau sampai Sang Tokoh mengungkapkan dia mendapat pengetahuan dari si orang hutan bagaimana caranya berkomunikasi khusus dengan jenis hewan tanpa diganggung suara hewan lainnya. Dapat dipastikan Tokoh kita bakal dikirim ke rumaj sakit jiwa. Oleh karena itu Tokoh kita cuma memaparkan melihat orang hutan besar di kadang. Dia senang melihatnya. Sekarang dia datang mau melihatnya lagi, tapi kok tidak ada.
“Memang orang hutan sebesar yang dikatakan Anda, disini tidak ada. Yang paing besar ya yang ada disitu dan dialah raja penguasa di kandang itu,” jelas petugas pengelola. Mereka juga mengecek di daftar buku besar. Tak ada orang hutan besar sepert dilukikskan Sang Tokoh.
“Tapi saya jelas melihatnya! Gak mungkin salah!” bantah Sang Tokoh agak kesal.
“Tapi faktanya memang tidak ada. Kan tidak ada gunanya juga kami berbohong,” balas petugas pengelola tidak kurang kesalnya.
Sang Tokoh tidak kendor. Dia yakin seyakin-yakinnya dia benar-benar berjumpa dengan orang hutan besar itu. Sang Tokoh hampir saja mengungkapkan dia berbicara dengan orang hutannya, tapi cepat disadari hal itu bakal langsung dianggap fiktif. Akhirnya Sang Tokoh minta diperbolehkan masuk dan memeriksa kandang orang hutan.
Walaupun merasa aneh dengan kengototan tamunya, petugas pengelola binatang mengizinkan Sang Tokoh ke kandang orang hutan dan memeriksanya apakah benar ada orang hutan yang besar sebagaimana di maksud Sang Tokoh. “Tapi harus didampingi dan dikawal petugas kami. Juga harus hati-hati!” kata petugas pengelola kebon binatang.
Masuklah Sang Tokoh bersama petugas kebon binatang ke dalam kandang orang hutan. Dia tidak berani bertanya kepada penghuni kandang itu, karena khawatir kemanpuannya berbiccara dengan hewa terungkap. Sang Tokoh hanya dengan teliti memeriksa kandang orang hutan. Setiap sudut diperiksa. Tak hanya sekali, tapi berulanh-ulang. Hasilnya: nihil. Tak ada orang hutan besar yang dimaksud!
Kalau demikian, Samg Tokoh berpikir, kemana gerangan orang hutan besar yang telah memberitahu rahasia berbicara khusus dengan binatang? Atau lebih tajam lagi pertanyaanya: benarkah orang hutan itu memang ada? Tapi kalau tidak ada, faktanya dia datang ke kebon binatang. Dia dipanggil orang hutan besar. Dia bicara dengan orang hutan besar. Lantas orang hutan besar itu membuka rahasia cara dan syarat berkominikasi khusus satu jenis hewan. Penuturan orang hutan besar valid. Terbukti benar. Jadi, pasti memang orang hutan besar tersebut benar ada. Tidak mungkin tidak ada.
Sebaliknya kalau memang ada, pastilah sudah ditemukan. Para orang hutan sendiri mengaku tak ada orang hutan besar seperti yang dimaksud Sang Tokoh. Mereka binatang jujur yang tak mungkin berbohong. Berarti memang tidak ada.
Apalagi di data pengelolaa kebon binatang juga membuktikan orang hutan besar seperti itu tak ada. Ini memperkuat kenyataan memang tak ada orang hutan besae yang pernah dijumpai dan bertemu dengan Sang Tokoh.
Terakhir Sang Tokoh sudah memeriksa sendiri kandang tempat Sang Tokoh dengan orang hutan itu. Jelas tak ada disana. Dari sini secara logika pastilah orang hutan besar tersebut tak ada. Tidak mungkin ada.
Jadi? Sang Tokoh mengambil kesimpulan, orang hutan besar itu telah dikirim Sang Pencipta Langit dan Bumi berserta isinya khusus untuk menerangkan kepada Sang Tokoh bagaimana cara berbicara khaus kepada satu jenis hewan tertentu saja. Setelah itu dia ditarik kembali oleh Penciptanya.
Bagi Sang Tokoh apapun yang dikehendaki Allah, dengan cara Allah, pasti terjadi. Tiada seorang pun dapat menghalangi.****
(Bersambung)