Oleh Widodo Asmowiyoto*
MUMPUNG masih bulan Agustus. Bendera Merah Putih masih berkibar di depan rumah. Ya, rumah seluruh rakyat Indonesia. Juga berkibar di depan kantor-kantor pemerintah, pusat maupun daerah. Bahkan bendera itu masih berkibar di lokasi-lokasi yang sulit bagi warga kebanyakan: di puncak bukit, di dalam laut, dan entah di mana lagi.
Semua itu menunjukkan bahwa demi memperingati dan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-77 Proklamasi Kemerdekaan RI, Bendera Merah Putih mesti dikibarkan dengan penuh semangat dan di lokasi yang strategis, unik, dan terhormat di mana-mana.
Kemerdekaan itu telah diraih dengan susah payah oleh generasi pendahulu. Generasi pejuang itu ada yang hidup pada abad-abad lampau yang jauh dari tanggal 17 Agustus 1945. Mereka merelakan nyawa dan harta-benda untuk melawan penjajah asing, terutama Belanda dan Jepang. Para pejuang kemerdekaan yang kemudian sebagian mengisi Taman Makam Pahlawan itu tidak sempat merasakan alam kemerdekaan negeri ini.
Kini, setelah 77 tahun merdeka, sebagian besar rakyat Indonesia adalah yang lahir setelah 17 Agustus 1945. Sebagian adalah baby boomer yang lahir di sekitar tahun kemerdekaan Indonesia diproklamasikan hingga tahun 1964. Mereka sekarang rata-rata sudah lanjut usia, sebaya dengan usia kemerdekaan republik ini. Sedangkan sebagian besar lainnya adalah generasi muda yang mungkin umurnya 40-an atau 50-an tahun. Sebagian lagi adalah generasi milenial yang lahir jauh setelah 17 Agustus 1945.
Tugas generasi muda penerus itu adalah mengisi kemerdekaan ini dengan langkah dan kiprah yang positif. Bukan langkah dan kiprah yang negatif, apalagi yang meninggalkan kerusakan masif. Tindak korupsi, baik yang nilainya kecil maupun besar apalagi “kelas jumbo” adalah merusak. Pelaku peredaran narkoba baik yang volumenya kecil maupun besar adalah menimbulkan kerusakan masyarakat. Perjudian di darat maupun via online adalah langkah menuju kerusakan bermasyarakat dan bernegara.
Bagi aparatur negara, pegawai pemerintah, para penegak hukum, sudah sewajarnya mereka tidak melakukan langkah-langkah negatif itu. Sekali ada yang melakukannya mereka bisa disebut sebagai oknum pengkhianat kemerdekaan. Lebih menyedihkan lagi kalau oknum itu jumlahnya relatif banyak, menjadi para oknum. Akan lebih memprihatinkan dan membahayakan masa depan negara kalau para oknum itu mampu membuat rekayasa perkeliruan yang pada gilirannya dipercaya dan dijadikan pedoman oleh masyarakat.
Kasus pelanggaran hukum –berupa pembunuhan berencana anak buah, Brigadir J– yang dimotori oleh Irjen (Pol) FS (eks Kadiv Propam Polri) pada pertengahan Juli 2022 dan masih terus bergema hingga akhir Agustus 2022 ini, jelas dapat dikategorikan “cara mengisi kemerdekaan yang salah atau keliru besar”.
Tragedi itu nyaris merobohkan kepercayaan rakyat kepada lembaga Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kalau saja Presiden Joko Widodo tidak menegaskan perlunya diungkap secara tuntas. Alhamdulillah –dan untungnya– Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera bertindak tegas seperti diinstruksikan oleh Presiden. Ketegasan Kapolri itu pun masih saja ada yang menaggapi tentang perlunya Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga dinonaktifkan.
Anugerah dan amanah
Dalam upaya mengisi kemerdekaan dengan langkah dan kiprah positif itu, layak kita simak materi pengajian yang disampaikan oleh KH Drs. Asep Rohiddin, MAg. Dia sengaja menyajikan materi kajiannya, Kamis malam 18 Agustus 2022, sesuai tema yang disodorkan oleh DKM Nurul Falah Kompleks Sukamenak Indah, Sayati, Kabupaten Bandung. Tema yang dipilih untuk memperingati HUT Ke-77 Proklamasi Kemerdekaan RI itu adalah “Hakikat Kemerdekaan dalam Islam”.
Menurut mubaligh yang cukup dikenal di Bandung Raya bahkan Jawa Barat itu, ada tiga hal atau hakikat yang mesti dipahami tentang kemerdekaan bangsa Indonesia. Pertama, kemerdekaan adalah anugerah/nikmat dari Allah Swt. Kedua, kemerdekaan adalah hasil perjuangan para pahlawan. Ketiga, kemerdekaan adalah amanah dari Allah Swt.
Kemerdekaan negara Indonesia semata-mata adalah anugerah atau nikmat yang sangat besar dari Allah Swt. Sehebat apa pun perjuangan para pahlawan merebut bangsa ini dari penjajah, tanpa ridlo dari Allah mustahil akan berhasil.
Apalagi kalau kita membaca sejarah perjuangan bangsa Indonesia, akan lebih jelas lagi. Dulu para pejuang kita melawan penjajah Belanda dan Jepang hanya bermodalkan bambu yang ujungnya diruncingkan (bambu runcing), sementara musuh menggunakan persenjataan yang canggih dan lengkap.
“Suatu hal yang mustahil dapat mengalahkan mereka, kalau bukan atas rahmat, ridlo Allah Swt,” ujar Asep Rohiddin sambil mengutip surat An-Nashru ayat 1-3. “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”
Kemerdekaan adalah hasil perjuangan para pahlawan. Maksudnya kemerdekaan selain anugerah dari Allah juga tidak lepas dari jerih payah para pejuang, para syuhada yang telah mengurbankan tenaga, harta bahkan nyawanya dengan niat semata-mata ingin meraih ridlo Allah.
Seperti dijelaskan dalam Quran Surat Ar-Ro’du ayat 11, bahwa Allah Swt tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu mau berupaya atau mengusahakan nasibnya dengan benar.
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan belakangnya, mereka menjaga atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Kemerdekaan adalah amanah dari Allah Swt. Maksudnya bahwa kemerdekaan ini adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Swt. Karena itu pandai-pandailah mengisi alam kemerdekaan dengan: meluruskan akidah; meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah kepada Allah; menggunakan semua potensi untuk mengabdi kepada Allah.
Dai yang juga biasa live on-air di Radio dan TV DM Streaming itu mengutip Quran Surat Al-A’rof ayat 96, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Kemudian dikutip pula QS Ibrahim ayat 7, “(Dan ingatlah pula ketika Rabb kalian mempermaklumkan), sesungguhnya jika kalian bersyukur akan nikmat-Ku dengan menjalankan katauhidan dan ketaatan (pasti Kami menambah nikmat kalian) dan jika kalian mengingkari nikmat-Ku itu dengan berlaku kekafiran dan kedurhakaan niscaya Aku akan menurunkan azab kepada kalian. Sesungguhnya azab-Ku sangat keras.”
Maksudnya, sekali lagi, bahwa kemerdekaan ini adalah amanah yang harus dapat dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Swt. Karena itu pandai-pandailah mengisi alam kemerdekaan ini dengan: meluruskan akidah; meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah kepada Allah; dan gunakan semua potensi untuk mengabdi kepada Allah Swt.
Rakyat Indonesia yang hari-hari ini sudah berusia lanjut sudah sewajarnya sering mengingat kematian, bukan sebaliknya malah melakukan dan menebar keburukan. Usia lanjut pada hakikatnya bukan hanya yang sudah tua renta atau lansia, melainkan mereka yang kini umurnya –dalam tinjauan Islam– sudah menginjak 40-an tahun.
Rasul Muhammad Saw pernah bersabda bahwa orang cerdas adalah orang yang sering mengingat mati. Artinya, dengan sering atau memperbanyak mengingat mati, seharusnya manusia memperbanyak amal saleh untuk bekal menghadapi kehidupan setelah mati di dunia ini. ***
* Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id