Menapaki Jejak Sejarah “Tjipetir” yang Mendunia

SEBANYAK 62 peserta perjalanan geotrek dari Kota Bandung menuju Sukabumi, Sabtu 4 November 2023,  yang diinisiasi oleh T Bachtiar, seorang dosen, peneliti, penulis, serta ahli geografi, begitu menikmati dan menyelami kisah di balik “napak tilas kebumian” tersebut.

TITI Bachtiar (kanan) berfoto bersama dua peserta geotrek.*

Ya, Titi Bachtiar — nama lengkap sang pakar geografi tersebut —  kerap mendefinisikan geotrek sebagai “pada dasarnya adalah perjalanan untuk menyapa berbagai gejala kebumian, menyapa mahluk hidup,menyapa manusia dan budayanya.” (T. Bahctiar, 2009).

Dari 62 peserta itu paling tua berusia 73 tahun serta yang termuda 3,5 tahun. Mereka berasal dari berbagai kalangan, ibu rumah tangga, pengusaha, dosen, guru, dan lain-lain. Di antaranya ada yang sudah 9 tahun tekun mengikuti setiap kegiatan geotrek yang digelar T Bahctiar dan tim.

EL, peserta geotrek termuda, 3,5 tahun.*

Perjalanan menuju Sukabumi dimulai dari SMAN 3 Kota Bandung Jalan Belitung pukul 07.30 WIB menggunakan bus hingga Stasiun Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Tiba di Cipatat sekira pukul 08.00. Perjalanan diteruskan dengan kereta api dari Cipatat menuju Sukabumi. Pukul 10.45 rombongan tiba di Stasiun Kota Sukabumi.

Setelah beristirahat untuk salat dan makan di sebuah rumah makan. Rombongan selanjutnya menuju lokasi “wisata sejarah dan kebumian” sekira pukul 13.30 WIB. Tujuan tersebut adalah bangunan tua di areal perkebunan milik PTPN VIII Sukamaju Sukabumi yang masih berdiri kokoh, mski cat putihnya tampak kusam.

Siapa sangka, di situlah karet kualitas dunia diproduksi seabad lalu. Produknya berupa blok-blok sebesar tablet bertuliskan ‘Tjipetir’ pernah jadi misteri dan viral setelah tercecer di pantai-pantai Eropa.

Bangunan yang temboknya bertuliskan ‘Tjipetir’ itu berjarak 1,5 km permukiman terdekat, Desa Cipetir, Kecamatan Cikidang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Inilah pabrik penghasil Gutta-percha.

BANGUNAN tua di areal perkebunan milik PTPN VIII Sukamaju Sukabumi masih berdiri kokoh, meski cat putihnya tampak kusam.
Siapa sangka, di situlah karet kualitas dunia diproduksi seabad lalu. *

Gutta-percha adalah pohon dari genus Palaquium dalam keluarga Sapotaceae. Nama tersebut juga mengacu pada lateks termoplastik yang kaku, inert secara alami , tangguh, nonkonduktif secara elektrik , dan termoplastik yang berasal dari pohon, khususnya dari Palaquium gutta ; itu adalah polimer isoprena yang membentuk elastomer seperti karet .

GURU-Guru SMAN 22 Kota Bandung juga ikut dalam rombongan Geotrek Tjipetir.*

Kata “gutta-percha” berasal dari nama tanaman dalam bahasa Melayu: getah diterjemahkan sebagai ” lateks ” dan percha ( perca ) berarti “bekas” atau “kain”.

Dalam pandangan Titi Bachtir, membahas gutta percha dari Cipetir ini tidak sekedar membahas tumbuhan Palaquium oblongifolium, yang oleh masyarakat disebut karet oblong. “Akan tetapi juga terkait keinginan manusia untuk berkomunikasi antarbenua, dengan dipasangnya kabel bawahlaut melintasi samudra,” ungkap Bachtiar.

DAUN getah perca yang diolah beberapa tahap hingga menjadi karet.*

Awal abad ke-19

Berbeda dengan cara pengambilan getah perca yang dilakukan oleh masyarakat Dayak di Kalimantan, di pabrik Tjipetir, getah perca diambil dari daunnya. Setelah daunnya digilas dan diproses panjang, menghasilkan getah perca, atau gutta percha, bahan untuk pelapis terbaik kabel bawah laut pada awal abad ke-19 sampai awal abad ke-20.

Kemajuan industri di Inggris Raya telah memicu irihati lawan-lawannya, sehingga getah perca yang diimpor oleh Inggris dari Hindia Belanda, terkait dengan Perang Dunia ke-1 (1914-1918). Inilah yang menjadi alasan mengapa Jerman menenggelamkan kapal berbendera Jepang sebelum kapal laut yang berisi gutta percha itu sampai di pelabuhan di Inggris Raya.

“Untuk menggilas daun karet oblong itu diimporlah roda batu granit dari Inggris, yang masing-masing beratnya 4 ton, garis tengahnya 2 m, ketebalannya 50 cm. Ada 9 pasang batu penggilas daun karet oblong yang dikapalkan dari Inggris ke Tanjungpriok, lalu diangkut dengan kereta api sampai di Stasiun Cibadak, Sukabumi, setelah melewati Bogor,” tutur Bachtiar.

UNTUK  menggilas daun karet oblong itu diimporlah roda batu granit dari Inggris, yang masing-masing beratnya 4 ton, garis tengahnya 2 m, ketebalannya 50 cm.*

Ia melanjutkan, rel kereta api ini selesai dibangun sampai Stasiun Sukabumi, dan dibuka pada tanggal 21 Maret 1882. Batu granit yang keras dan kasar itulah yang menjadi alasan mengapa batu granit abu-abu yang ditambang di Rubislaw Quarry, Inggris Raya, yang dijadikan batu penggilas daun getah perca di Cipetir.

Pada tahun 2012, di pantai-pantai di Negara-negara Eropa, seperti pantai di Inggris, Belanda, dll, lempengan gutta percha yang berbentuk seperti talenan kayu, banyak terdampar di sana. Lempengan itu bertuliskan “TJIPETIR”. Setelah dipetakan lokasi penemuannya, dilacaklah darì berbagai dokumen, akhirnya menemui jawaban, bahwa lempengan itu adalah lempengan gutta percha dari kapal yang karam.

Setelah seabad lamanya berada di dasar laut, kemudian lemprngan itu muncul kembali di permukaan laut, lalu terbawa arus hingga di pantai.

LEMPENGAN karet bertuliskan “Tjipetir” yang sempat jadi misteri dan viral.*

“Dari pinggiran Sukabumi ternyata telah dihasilkan produk yang mendunia di awal abad ke-19. Perjalanan geotrek ini membuka wawasan kita bahwa negeri ini memiliki kaitan erat dengan sejarah global meski saat itu belum bernama Indonesia karena dalam kolonialisme Belanda. Sumber daya alam negara kita telah menjadi daya tarik dunia sejak lama. Generasi saat ini harus menyadari betapa besar potensi bangsa ini untuk sejajar dengan kekuatan negara lainnya di dunia,” ungkap salah seorang peserta, Dian Hendaryati Widiartini, karyawati sebuah perusahaan media (Erwin Kustiman)***

 

 

 

 

Komentar