KABUPATEN TASIKMALAYA, (TUGU BANDUNG.ID).- Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah. Selain memiliki kekayaan tambang. Indonesia juga memiliki banyak bukit yang mampu mendatangkan penghasilan bagi para pengelola dan petani seperti halnya petani Kopi di tiga desa di wilayah Kabupaten Tasikmalaya.
Seiring dengan banyaknya pelaku usaha kedai dan cafe, berbanding lurus dengan tingginya kebutuhan komoditas kopi saat ini. Bahkan kopi lokal di sebuah kedai harganya cukup bersaing dengan kopi-kopi dari daerah lain juga dari negara-negara penghasil kopi.
Ketua Kelompok Tani Mekar Harapan salah satu kelompok tani binaan PT Pertamina PGE Area Karaha, Enjang Ali Asalam mengaku berkiprah menjadi petani budidaya dan pengusaha kopi sejak tahun 2000. Sejak itu ia pun mengaku sebagai perintis gerai gerai dan kedai kedai kopi di daerahnya.
Enjang mengaku, dari hasil budidaya dan bisnis kopi per satu kali panen atau per satu kali musim sudah mampu mendatangkan penghasilan secara meluas sekitar Rp500 juta
“Saya bersama kelompok mulai mendapat keuntungan dari hasil budidaya kopi dari mulai tanam berjarak 3 tahun dengan mendapat keuntungan sekitar Rp500 juta,” kata Enjang.
Dia juga menyebut Kelompok Tani Mekar Harapan Desa Dirgahayu Kecamatan Kadipaten membawahi 3 desa. Mulai Desa Kadipaten, Desa Dirgahayu dan Desa Buniasih dengan garapan seluas 200 hektar. Dimana lahan garapan tersebut 75 persen lahan milik Perhutani dan 25 persen lahan rakyat.
“Dari 200 hektar lahan garapan, kita tanami berbagai jenis pohon kopi salah satunya pohon Kopi Arabika variatas Ateng super, Lini es, Sigalarutang, dan Yelow katerro. Namun lebih dominan kita dengan variatas Ateng Super, sesuai dengan kondisi alam tanah yang mengandung abu,” katanya.
Ia mengungkapkan, kualitas kopi yang ditanamnya itu diatas ketinggian atau di lahan dataran tinggi rata-rata diatas sekitar 1000 MDPL. Dari 200 hektar pohon kopi terdiri dari 7 kelompok petani penggarap. Namun yang sudah menghasilkan dan dapat di panen seluas 100 hektar, dan masih ada penambahan 100 hektar.
“Dari tanam 200 hektar, 100 hektar per satu kali musim, dan dari tiga kali panen sudah mampu menghasilkan 35 sampai 50 ton ceri,” kata, Enjang sembari melakukan pemeliharaan pohon kopi.
Ia juga menyebut, usia pohon kopi yang sudah ditanam dan tumbuh variatif mulai 3-5-12 tahun, dengan jumlah pohon per hektar sebanyak 1500 pohon. Yang tumbuh di bawah naungan sekitar 40 persen pohon keras Suren dan pohon nangka dapat menghasilkan kualitas dan kuantitas yang cukup baik.
“Dari empat jenis yang terbaik adalah Arabika variatas Ateng super, kalau lini es tidak tahan panas, ketika musim kemarau daunya rontok sehingga menghambat pada panen raya,” ujarnnya.
Kendala lain yang dapat merugikan petani ada ulat pohon, namun tidak banyak dari 100 pohon paling 2 pohon yang jelek terkena hama ulat.
“Kalau serapan hasil panen kita distribusikan sekala besar, kita eksportir gabah ke Eropa per tahun gabah kalau di persentasekan 20-25 ton. Sedangkan 35 persen kopi karaha kita pasok ke 500 kedai kopi di Jawa Barat,” ujarnnya.
Untuk melihat kualitas kopi, kata Enjang, secara rutin dilakukan uji penelitian di Pusat Penelitian dan Kakal (Puslitkoka) Jember, Jawa Timur. “Dan produksi kopi kita mendapat nilai sekor 85,36,” pungkasnya. (ERW).***