Penulis : Krisna Aditya
“Gubernur konten” demikian julukan yang disematkan Kang Dedi Mulyadi (KDM) dari Gubernur Kalimantan Timur Rudy Mas’ud saat menghadiri rapat antar gubernur bersama Komisi II DPR di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Pada era digital kini, kepemimpinan tidak sekedar hadir di balik meja kantor atau memberikan instruksi, informasi dengan konferensi yang kaku.
Masyarakat kini menghendaki kehadiran pemimpinnya secara langsung, tidak cukup hanya secara fisik, tetapi juga hadir secara digital.
Melalui konten-kontennya KDM berkomunikasi menyapa menyampaikan pesan, dan terjun langsung membangun kedekatan emasional dengan rakyat jawa barat (jabar) dan sekitarnya secara simpatik. Inilah komunikasi publik yang coba dibangun dan diterapkan oleh beberapa pejabat, termasuk KDM.
Fenomena tersebut muncul karena Kang Dedi Mulyadi (KDM) sangat aktif membuat dan membagikan konten sosial kemanusiaan melalui media sosialnya, seperti YouTube, TikTok dan Instagram. Bukan hanya konten namun strategi untuk menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan melalui cerita kehidupan nyata rakyat yang mengena.
H. Dedi Mulyadi (KDM) lahir di Kampung Sukadaya, Desa Sukasari, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.
Sebelumnya, Dedi menjabat sebagai Bupati Purwakarta selama dua periode berturut-turut dari 2008 sampai 2018. Kiprahnya menjadi bupati bermula setelah dirinya terpilih pada Pilkada 2008 dengan menjadikan Dudung Bachtiar Supardi sebagai wakilnya dipemerintahan.
Gaya Komunikasi KDM
KDM dikenal memiliki gaya komunikasi yang humanis, naratif, dan begitu membumi. Ia sering mengunggah video saat berinteraksi langsung dengan rakyat kecil—mulai dari tukang becak, anak yatim, hingga pedagang kaki lima. Gaya komunikasinya mengandung nilai-nilai empati, budaya lokal, kontroversi dan kritik sosial yang dibungkus dalam narasi kehidupan sehari-hari.
Dalam perspektif komunikasi humanistik, KDM menunjukkan bahwa komunikasi adalah alat membangun hubungan dan kemanusiaan. Ia hadir sebagai figur pemimpin yang tidak berjarak dengan rakyat, serta aktif mendengar dan merespons kebutuhan mereka secara langsung.
KDM mempraktikkan apa yang disebut sebagai politik konten—strategi membangun citra dan kepercayaan politik melalui narasi digital. Ia tidak hanya menyampaikan gagasan, tetapi juga menunjukkan aksi langsung yang terekam dan tersebar di platform media sosialnya.
Gaya ini sejalan dengan konstruksi sosial (Berger & Luckmann), di mana komunikasi menjadi sarana membentuk realitas bersama. Melalui kontennya, KDM membentuk persepsi publik tentang kepemimpinan yang sederhana, peduli, dan dekat dengan akar masalah sosial.
Selain itu, jika dianalisis melalui teori komunikasi (Goffman), KDM memainkan peran sebagai “bapak rakyat” yang tampil di panggung sosial melalui media digital. Ia mengenakan pakaian adat, berbicara dengan bahasa lokal, dan menghadirkan citra pemimpin tradisional yang relevan di era modern.
Gaya komunikasi KDM mencerminkan perpaduan antara ketegasan dan empati. Ia mampu bertindak tegas terhadap pelanggaran atau ketidakadilan, namun caranya tetap menghargai martabat manusia. Ia tidak mempermalukan, tetapi mengedukasi. Ia tidak mencaci, tetapi merangkul dan membimbing.
KDM adalah contoh nyata penerapan teori media baru, di mana komunikasi bersifat interaktif, partisipatif, dan tidak terpusat. Lewat YouTube, TikTok, WhatsApp dan Instagram, ia membangun dialog langsung dengan masyarakat, tanpa perantara media atau birokrasi. Gaya ini menjadikannya pemimpin yang “hadir” setiap hari dalam kehidupan digital warganya.
Julukan “Gubernur Konten” mencerminkan pengakuan publik terhadap peran komunikatifnya yang kuat di dunia maya. Ia tidak sekadar viral, tetapi juga konsisten membangun pesan moral, budaya, dan kepemimpinan berbasis nilai-nilai lokal.
Kang Dedi Mulyadi adalah simbol transformasi komunikasi politik di era digital. Julukan “Gubernur Konten” mencerminkan kinerjanya dalam memanfaatkan media sosial sebagai sarana alat kepemimpinan yang interaktif dan empatik.
Dengan pendekatan yang humanis, naratif, dan berbasis budaya, KDM berhasil membangun kedekatan emosional dengan rakyat serta membentuk citra pemimpin yang relevan dengan zaman. Ia menunjukkan bahwa dalam dunia yang serba digital, kepemimpinan tidak lagi hanya tentang jabatan, tetapi juga tentang keterhubungan dan kehadiran nyata melalui konten.
Komunikasi Dua Arah
Dalam perspektif komunikasi publik, komunikasi dua arah merupakan prinsip penting dalam kepemimpinan modern, terutama di era digital dan keterbukaan informasi seperti saat ini. Seorang pemimpin yang baik tidak hanya menyampaikan kebijakan, tetapi juga mampu mendengarkan dan merespons suara masyarakat. Dalam konteks kepemimpinan daerah, sosok Dedi Mulyadi—yang dikenal luas karena pendekatan humanis dan komunikatifnya—menjadi contoh nyata penerapan komunikasi dua arah yang mana pesan yang disampaikan KDM tidak hanya diterima, tetapi juga memicu respons, refleksi, dan diskusi aktif dari publik.
Sebagai Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi membawa semangat kepemimpinan yang membumi. Ia tidak membatasi diri di balik meja birokrasi, melainkan aktif turun langsung ke lapangan. Melalui media sosial maupun kunjungan fisik, Dedi menjalin komunikasi intensif dengan warga, terutama dari kalangan bawah. Ia tidak hanya berbicara, tetapi juga mendengarkan secara aktif apa yang menjadi keluhan, harapan, dan kebutuhan rakyatnya.
Komunikasi dua arah yang diterapkan Dedi Mulyadi memperlihatkan beberapa karakteristik penting. Pertama, empati, yakni kemampuan memahami perasaan dan kondisi rakyat kecil. Kedua, transparansi, karena ia menyampaikan kebijakan dan tindakannya secara terbuka. Ketiga, respon cepat, yang terlihat dalam bagaimana ia segera mengambil tindakan saat menerima laporan atau keluhan dari masyarakat.
Dalam banyak kesempatan, seperti peninjauan langsung ke desa-desa, pasar tradisional, atau saat berdialog dengan wali kota bandung terkait masalah sampah dan merangkul anak jalanan, Dedi Mulyadi memperlihatkan gaya komunikasi yang setara. Ia tidak memosisikan diri sebagai pejabat tinggi yang sulit dijangkau, tetapi sebagai pelayan masyarakat. Gaya bicara yang santai, bercampur dengan bahasa Sunda, justru memperkuat ikatan emosional antara pemimpin dan rakyat.
Dari sudut pandang teori komunikasi, apa yang dilakukan Dedi Mulyadi dapat dikaitkan dengan model komunikasi interaksional, di mana feedback atau umpan balik dari komunikan (masyarakat) sangat menentukan arah komunikasi. Ia menempatkan masyarakat bukan hanya sebagai penerima informasi, tetapi sebagai mitra dialog dalam proses pembangunan daerah.
Secara keseluruhan, Dedi Mulyadi menunjukkan bahwa komunikasi dua arah bukan sekadar strategi politik, melainkan bagian dari nilai kepemimpinan yang etis dan inklusif. Jika praktik ini terus dikembangkan secara konsisten, maka akan terbentuk tata kelola pemerintahan yang responsif, akuntabel, dan dipercaya oleh masyarakat.
Meskipun pendekatan KDM menarik dukungan masyarakat, tetapi perlu dibarengi dengan perencanaan yang matang dan partisipasi publik. KDM Gubernur konten di era digital hadir ditengah masyarakat yang penuh kebisingan dan riuh seperti suara bobotoh yang sedang berlaga di stadion nyaring dan autentik.***
Dosen Fakultas Sastra dan Sosial, Prodi Ilkom Universitas Kebangsaan RI
Komentar