Menu

Mode Gelap

Diskursus · 14 Sep 2022 22:51 WIB ·

Kasus Sambo dan Kebutuhan Reformasi di Tubuh Polri

 Ilustrasi, petugas polisi melindungi diri mereka dengan tameng ketika aksi unjuk rasa menentang UU Omnibus di Jakarta, pada 13 Oktober 2020 silam. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan via VOA).* Perbesar

Ilustrasi, petugas polisi melindungi diri mereka dengan tameng ketika aksi unjuk rasa menentang UU Omnibus di Jakarta, pada 13 Oktober 2020 silam. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan via VOA).*

Oleh Widodo Asmowiyoto*

KASUS polisi tembak polisi yang berawal 8 Juli 2022 lalu kini masih bergulir. Sekalipun sudah berlangsung dua bulan, dapat dipastikan kasus tindak kejahatan yang melibatkan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, Irjen Pol. Ferdy Sambo ini masih akan terus berjalan. Karena pada gilirannya nanti akan berlangsung persidangan di kantor pengadilan. Di sana akan terungkap motif yang sesungguhnya mengapa Irjen Ferdy Sambo tega menghabisi ajudannya, Brigadir Josua.

Widodo Asmowiyoto.*

Karena kasus ini tergolong sangat besar dan langka, maka wajar jika rakyat ikut aktif terus menyimaknya dari hari ke hari. Apalagi Presiden Joko Widodo sendiri sejak awal sudah berkali-kali menginstruksikan kepada Kepala Polri, Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo, agar mengusut tuntas tragedi ini. Tujuan utamanya tentu saja jangan sampai kepercayaan masyarakat kepada institusi Polri terus menurun bahkan hancur.

Menindaklanjuti instruksi Presiden itu, Kapolri lalu membentuk tim khusus dan juga melibatkan lembaga berwenang yang terkait. Para pengacara juga terlibat untuk mendampingi pihak-pihak yang sedang tersangkut kasus ini, baik pihak keluarga korban maupun pihak tersangka pelaku kejahatan berencana ini. Wajar jika kemudian adu pendapat serta argumentasi bermunculan dari para pengacara, pakar hukum pidana, ahli psikologi, dan lembaga terkait (Polri, Komnas HAM, Kompolnas, Komnas Perempuan, DPR, Police Watch).

Dari institusi Polri, akhirnya terungkap bahwa ternyata sejumlah polisi tersangkut dalam skenario kasus pembunuhan berencana yang dibuat oleh Ferdy Sambo. Mereka masuk kategori kasus obstruction of justice atau menghalang-halangi proses hukum sehingga harus kehilangan jabatannya. Sedangkan orang-orang dekat Sambo yang kini juga sudah berstatus tersangka adalah istrinya sendiri, Putri Candrawathi, dan ajudan atau sopir yakni Bharada Richard Aliezer atau Bharada E, Bripka Ricky, dan Kuat Ma’ruf.

Kalau saja Presiden tidak tegas memerintahkan untuk mengungkap tuntas kasus ini, boleh jadi skenario rekayasa yang disusun Ferdy Sambo akan tetap berlangsung aman-aman saja. Di hadapan Kapolri sendiri Sambo sempat berkelit atau mengaku tidak melakukan penembakan terhadap Josua.

Kebutuhan reformasi Polri

Menyusul hebohnya kasus besar polisi tembak polisi versi Ferdy Sambo ini, banyak bermunculan pendapat dan analisis yang mengulas dan mengemukakan solusi agar peristiwa memprihatinkan ini tidak terulang lagi. Masyarakat luas terutama yang kurang paham lika-liku hukum sangat berminat mengikuti perkembangan kasus ini.

Di tengah keriuhan pendapat dan analisis tersebut, layak disimak pemikiran kalangan petinggi Polri yang sudah purnawirawan. Salah satunya adalah mantan Kapolda Sumsel periode 27 Januari 2009-17 Oktober 2009, Irjen Pol. (Purn) Drs. Sisno Adiwinoto, MM. Setelah pensiun, Sisno menjadi pemerhati ilmu kepolisian dan menjadi Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Indonesia (ISPPI).

Dalam tulisannya yang disiarkan LKBN Antara (m.antaranews.com), Jumat, 26 Agustus 2022 lalu, Sisno Adiwinoto mengemukakan perlunya Polri melakukan tiga belas kiat reformarsi kultural bagi jajarannya. Diakuinya bahwa tragedi Sambo cukup memorak-porandakan citra dan kepercayaan publik kepada Polri. Apalagi ditambah dengan adanya elemen masyarakat yang bukannya membantu memulihkan citra Polri, tetapi malah mendompleng dengan menghujat Polri dan menangguk di “air keruh” serta memanfaatkan situasi untuk mencari panggung demi kepentingan citra politik praktis mereka.

Meskipun begitu, menurut Sisno Adiwinoto, Polri tidak boleh panik karena tragedi Sambo ini. Sebaliknya, malah tragedi ini harus dijadikan momentum pintu masuk bagi Polri untuk membenahi aspek reformasi kultural Polri, terutama pembangunan moral, disiplin dan perilaku Polri untuk kembali meningkatkan citranya di mata masyarakat.

Menurut mantan petinggi Polri itu, sesungguhnya kalau memang menghendaki terwujudnya polisi dan masyarakat yang baik dan disiplin, itu relatif mudah dilakukan. Caranya dengan menghadirkan sebanyak mungkin polisi di lapangan. Langkah itu setidaknya dapat ditempuh melalui 13 kiat.

Pertama, kita perlu mengubah kebiasaan polisi lebih banyak di kantor menjadi polisi yang peduli dan mengabdi di lapangan. Dengan demikian polisi berbaur dalam kehidupan dan penghidupan di lapangan, sehingga polisi paham benar problematik yang terjadi di masyarakat berikut cara mengatasinya.

Kedua, perlu diciptakan kesadaran bahwa tangan dan peluit polisi adalah hukum bagi masyarakat. Ini akan membuat masyarakat menurut kepada polisi untuk berbalik arah bagi yang melawan arus. Dalam hal ini Polri harus mengerahkan sebanyak mungkin polisi dari satuan lalu lintas dan Sabhara. Kehadiran polisi sebanyak mungkin di lapangan membuat masyarakat berpikir panjang untuk melawan perintah polisi.

Ketiga, sejak awal sudah perlu ada budaya polisi biasakan langsung menegur masyarakat yang melanggar aturan, tetapi tindakan itu harus dilakukan dengan simpatik, tanpa langsung menilang. Jika sudah ditempuh proses persuasif barulah dilakukan tindakan yuridis formal, seperti menilang dan sebagainya.

Keempat, agar dapat berbaur dengan masyarakat, polisi langsung terjun bertugas sehari-hari di tengah dan bersama masyarakat. Perlu kembali memakai pakaian dinas harian (PDH), tidak harus pakaian dinas lapangan (PDL). Hal ini tidak akan menghilangkan kewibawaan polisi, malah justru akan membuat polisi akrab dengan masyarakat, dan bersmaan itu disegani dan dihormati oleh masyarakat.

Kelima, tempatkan perwira mengawasi setiap tempat yang rawan kemacetan, pelanggaran dan kejahatan jalanan dengan mengawasi anggota yang bertugas. Polisi harus menjadi sumber problem solving dan bukan justru pembuat masalah. Polisi harus otomatis hadir dalam permasalahan masyarakat. Dalam perkembangan zaman yang semakin kompleks, problem yang hadir juga pasti semakin banyak dan rumit. Apa pun problem yang muncul di masyarakat, polisi harus hadir dan mampu melakukan pemecahan.

Keenam, buat anggota bekerja dengan sistem bergantian delapan jam. Bagaimanapun, polisi tetap manusia. Stamina dan kejiwaan mereka, walaupun harus kuat dibandingkan rata-rata masyarakat, namun tetap memiliki keterbatasan sebagai manusia. Pembatasan jam kerja di suatu tempat akan membuat polisi senantiasa bugar, tetap cermat, sigap dan terutama dapat terus peka terhadap lingkungannya. Hanya dalam keadaan luar biasa saja pembatasan waktu tugas itu dapat dikecualikan.

Ketujuh, perlu diatur kewajiban mendatangi dan mengolah tempat kejadian perkara (TKP) dengan ukuran waktu tertentu. Harus ada standar waktu kehadiran polisi di TKP. Lebih cepat polisi hadir di TKP lebih baik.

Kedelapan, anggota yang bertugas sebagai staf yang bisa diganti pegawai negeri sipil (PNS) diatur lagi, manfaatkan sebanyak mungkin polisi bekerja operasional dan bukan staf.

Kesembilan, perlu penataan kembali soal aturan yang jelas tentang ajudan dan pengemudi. Dewasa ini masih banyak pemborosan anggota untuk tugas ini dan cenderung berlebihan. Walhasil muncul feodalisme sangat kuat.

Kesepuluh, perlu ditunjukkan secara nyata menghilangkan gaya hidup hedonis di lingkungan Polri. Gaya hidup polisi yang hedonis selain akan menimbulkan antipasti dari masyarakat, kemungkinan besar juga akan dimanfaatkan para pihak yang ingin merusak polisi serta memberikan gratifikasi dengan tentu saja meminta imbalan privilege atau keistimewaan-keistimewaan dari kasus yang dilakukannya yang bermuara dirasakan adanya ketidakadilan di masyarakat.

Kesebelas, polisi yang melakukan korupsi, antara lain pengadaan, anggaran, memainkan perkara, supaya langsung diproses dan dipecat.

Keduabelas, seyogianya Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri) hanya berisi para pemikir setingkat ajun komisaris besar polisi (AKBP) ke atas dan PNS. Sebaliknya yang perlu diperkuat adalah di polres dan polsek.

Ketigabelas, perlu ditinjau ulang nomor rahasia kendaraan. Bukan rahasia lagi dewasa ini banyak sekali nomor kendaraan khusus atau rahasia yang disalahgunakan.

Menurut Sisno Adiwinoto, tentu masih banyak lagi yang bisa dilakukan segera, seperti yang mungkin sudah tertuang dalam konsep “Polisi Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparasi Berkeadilan)”. Ini sebagai bukti keseriusan Polri dalam mereformasi secara kultural dan hasilnya bisa langsung dapat dirasakan oleh masyarakat. ***

*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id

Artikel ini telah dibaca 94 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Mandatori Seputar Pansus Haji 2024

16 Juli 2024 - 18:00 WIB

Sekjen PA GMNI Abdy Yuhana Sebut Konsepsi Bernegara Oase Bagi Indonesia Raya

1 Juni 2024 - 09:34 WIB

Prabowo Presiden: Selamat Datang Orde Baru & Selamat Tinggal Reformasi!

6 Mei 2024 - 08:18 WIB

Senyum, Kunci Efektivitas Komunikasi Nabi Muhammad SAW

25 April 2024 - 23:43 WIB

PERLUKAH TEMPO MEMINTA MAAF?

26 Maret 2024 - 21:14 WIB

Mengkaji Ulang Pilpres dan Pilkada oleh Legislatif

16 Februari 2024 - 20:04 WIB

Trending di Diskursus