MEMAKNAI toleransi beragama tidak cukup dengan pemahaman di atas teks. Menjalankan praktik toleransi beragama juga tidak memadai jika berhenti di panggung belaka, Jakatarub hadir untuk mengindahkan toleransi dan kerukunan antarmasyarakat dengan pemahaman yang mendalam terhadap keyakinan masing-masing dan berfokus pada gerakan budaya dan peningkatan kesadaran masyarakat secara langsung.
“Jakatarub merupakan sebuah komunitas yang didukung oleh individu, delegasi lembaga, perwakilan keagamaan serta mitra yang berupaya memahami keyakinan masing-masing. Tujuannya menghilangkan prasangka dan menciptakan perdamaian dan keharmonisan dalam masyarakat,” ucap Nita salah satu pengurus Jakatarub sebuah organisasi lintas agama di Kantor Sinode GKP Jalan Raden Dewi Sartika Kota Bandung.
Jakatarub sendiri berangkat dari keresahan yang terjadi di Indonesia pada era reformasi. Masyarakat menyadari perlunya forum dialog dan kolaborasi untuk mengatasi kekacauan tersebut. Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA) menyelenggarakan sebuah lokakarya yang kemudian secara resmi pada tanggal 30 Juni 2001 mendenominasikan sebuah jaringan baru dengan nama Jaringan Kerja Antar Umat Beragama disingkat Jakatarub.
Menurut Nita, terdapat tokoh agama dan budayawan nasional, serta pemuda dari berbagai latar belakang mengelola Jakatarub. “Kita tergabung dari berbagai macam latar belakang, muslim, kristen, hindu, budha, konghucu, bahai, penghayat, bahkan ada dari teman-teman non-believer,” tutur Nita. Adanya gabungan dari berbagai sudut dan latar belakang tersebut harapannya mampu lebih memahami dan mempraktikkan konsep toleransi dalam keseharian.
Jakatarub, penggerak promosi toleransi dan perdamaian di Kota Bandung yang didukung oleh Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian Nawangwulan ini seiring berjalanya waktu tidak hanya mengenai toleransi bergama namun juga merangkul keresahan lain yang terjadi di masyarakat, “Sebenarnya tujuan dari komunitas ini tidak hanya tentang lintas iman tetapi juga kesetaraan gender, pluralisme dan hal-hal yang sebenarnya kita sering lihat tetapi kurang kepedulianya, gitu.” tutur Nita pada Jumat, (29/4/2024) di Sekretariat Komunitas Jakatarub, Jalan Raden Dewi Sartika, Pungkur, Kota Bandung, Jawa Barat.
Melawan Cyber Bullying
Selama bertahun-tahun Jakatarub berdiri, organisasi ini menerima banyak tantangan yang harus dihadapinya. Berawal dari, Clara menceritakan bahwa apapun yang kita lakukan, pasti ada yang tidak setuju dengan aktivitas tersebut, lebih spesifiknya mengenai keagamaan.
“Tidak semua orang tentu saja setuju dengan apa yang kita lakukan, mungkin ada yang merasa pembahasan mengenai agama tabu dan sensitive” ujar Clara, anggota Jakatarub.
Tantangan tersebut hanyalah awalan untuk Jakatarub, tetapi ada tantangan lain yang harus mereka lalui, yaitu tuduhan-tuduhan terhadap Jakatarub di sosial media terutama saat membuat konten mengenai agama minoritas atau penghayat serta kesetaraan gender. Clara menceritakan bahwa masyarakat mengira bahwa Jakatarub adalah organisasi yang berkonsep sinkretisme atau mencampurkan agama, sampai Jakatarub dituduh minoritas yang melakukan playing victim.
“Ada juga yang mengira kami konsepnya sinkretisme yang mencampuradukkan agama. Tak jarang di komentar konten kami yang membahas agama minoritas ada yang nyeletuk ‘minoritas playing victim tuh’ padahal kita menyuarakan isu-isu yang memang nyata” ujar Clara.
Nita menanggapi cerita dari Clara Jakatarub juga menyamaratakan gender dalam hal aktivitas atau jabatan. Nita menjelaskan bahwa, dengan adanya konten-konten Jakatarub, mengedukasikan masyarakat bahwa tidak hanya laki-laki yang mempunyai kepemimpinan, tetapi perempuan pun juga bisa.
“Kesetaraan gender kan berarti enggak harus laki-laki dong yang mimpin, siapapun bisa menjadi pemimpim. Konten-konten kita untuk edukasi masyarakat terutama konten mengenai kesetaraan gender. Di sini setiap individu dapat bebas,” ujar Nita, anggota Jakatarub.
Nita juga bercerita bahwa ada tuduhan yang mungkin selalu diingat oleh Jakatarub dan masyarakat yaitu dianggap bawahab dengan organisasi Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB).
“Kami juga kita sering dipanggil FKUB swasta,” ujar Nita dengan tertawa.
Nita dan Clara pun juga terkejut, pada saat Jakatarub di miripkan dengan FKUB, tetapi mereka mengakui memang ada kemiripan tetapi Jakatarub tidak berafiliasi dalam hal apapun, dari segi politik atau pemeritah.
“Sebenarnya hampir mirip karena beririsan sama FKUB, tetapi bedanya Jakatarub tidak berafiliasi apapun entah mau politik atau bersama pemerintah,” ujar Nita.
Walapun Jakatarub dan FKUB mempunyai kemiripan, tetapi Jakatarub mempunyai perbedaan yang mungkin bertolak belakang dengan FKUB, yaitu Jakatarub menerima orang-orang penghayat kepercayaan.
“Jakatarub itu FKUB swasta, lah? Gimana cerita? Orang kita aja menerima orang penghayat kepercayaan aja masuk gitu lah, FKUB enggak ada,” ujar Nita kebingungan.
Dari tantangan yang sudah dihadapi oleh Jakatarub, ternyata mereka membuahi hasil yang menakjubkan yaitu, mereka mendapati berbagai tawaran untuk berkolaborasi denga Jakatarub, tidak hanya dari Kota Bandung, tetapi dari luar kota juga.
“Justru semakin dibully semakin banyak mitra-mitra yang ingin berkolaborasi dengan kita gitu, tidak hanya di ruang lingkup Bandung mitra-mitranya, tetapi juga dari luar kota,” ujar Nita.
Berawal Dialog Antarteman
Melihat masih banyaknya terjadi kasus-kasus terkait kerusuhan antar umat beragama maupun kelompok kelompok tertentu di Indonesia. Terutama info yang didapat dari Yayasan Denny JA mencatat selama 14 tahun setelah masa reformasi setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Dari jumlah kasus tersebut sebanyak 65 persen berlatar belakang agama. Tentunya Jaka Tarub sendiri memiliki harapan untuk Indonesia agar dapat meminimalisir kejadian tersebut.
Clara berharap agar perhatian tidak hanya terfokus pada masyarakat yang lebih mampu, tetapi juga memperhatikan mereka yang memiliki akses terbatas, sehingga tercipta ruang dialog dan interaksi yang lebih inklusif
“Semoga kita semua lebih terbuka dalam mendengarkan satu sama lain, untuk saling memahami, dan juga bersama-sama untuk menciptakan lingkungan yang inklusif di sekitar kita” kata Clara.
Nita hanya menginginkan bahwa pemerintah dapat membuat kebijakan yang lebih kuat agar toleransi dapat terjadi dengan sepenuhnya. Terutama agama-agama lokal yang seringkali dianggap sebelah mata oleh masyarakat.
“Harapannya kepada pemerintah untuk tidak hanya membuat undang-undang, tetapi juga secara langsung memperhatikan kondisi di lapangan, termasuk masyarakat yang paling terpinggirkan” kata Nita. ***
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pasundan yang mengikuti perkuliahan Media dan Agama (Reisya Zahra Zakia, Sifa Aini Alfiyyah, Jacklyn Monique, Immanuel Cristmas Bangun, Sholahudin Adlani, dan Winardi Khalyana Ikhlasul Aji ) melakukan peliputan jurnalistik beberapa waktu lalu. Feature ini adalah salah satu karya yang dihasilkan mereka.*