Oleh Widodo Asmowiyoto*
TANGGAL 5 Juni 2022 ini kita kembali memperingati Hari Lingkungan Hidup (HLH) Sedunia. Berbeda dengan tibanya hari besar atau hari bersejarah lainnya, kita sebagai warga bumi harus rela untuk tidak “merayakannya”. Sebaliknya dan sebaiknya, HLH ini kita “peringati” dengan berkonotasi “peringatan” atau “warning”. Kita harus sadar dan ikhlas untuk “diperingatkan” agar umat manusia ini tidak seenak perut dalam memperlakukan bumi sebagai tempat tinggal dan lingkungan hidupnya.
Kali ini, peringatan HLH Sedunia bertema “Only One Earth” (Sustainably in Harmony with Nature). Khusus untuk negara kita, Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memutuskan untuk menggunakan tema “Satu Bumi untuk Masa Depan”. (ppid.menlhk.go.id, 1/6/2022)
Peringatan HLH Sedunia tahun ini merupakan perayaan Konferensi Stockholm tahun 1972. Sekali lagi, penggunaan kata perayaan itu sebaiknya diberi konotasi agar umat manusia mengingat-ingat hasil konferensi tingkat dunia pertama yang membahas isu lingkungan itu. Konferensi Stockholm telah meletakkan dasar pengaturan global mengenai perlindungan lingkungan.
Sebagai pengingat, konferensi yang berlangsung tanggal 5-16 Juni 1972 di Kota Stockholm, Swedia itu menghasilkan Deklarasi Stockholm yang berisi 26 poin utama mengenai isu lingkungan hidup dan pembangunan. Yaitu, 1. Hak Asasi Manusia (HAM) harus ditegaskan, segala bentuk apharteid dan penjajahan harus dihapuskan, 2. Sumber Daya Alam (SDA) harus dijaga, 3. Kapasitas bumi untuk menghasilkan sumber daya yang dapat diperbarui harus dilestarikan, 4. Satwa liar harus dijaga, 5. Sumber daya yang tidak dapat diperbarui harus dibagi dan tidak dihabiskan, dan 6. Polusi yang timbul tidak boleh melebihi kapasitas untuk membersihkan secara alami.
Lalu, 7. Pencemaran laut yang merusak harus dicegah, 8. Pembangunan dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan, 9. Negara-negara berkembang membutuhkan bantuan, 10. Negara-negara berkembang memerlukan harga ekspor yang wajar untuk mengelola lingkungan, 11. Kebijakan lingkungan tidak boleh menghambat pembangunan, 12. Negara-negara berkembang memerlukan uang untuk meningkatkan pelestarian lingkungan, 13. Perlu perencanaan pembangunan berkelanjutan, dan 14. Perencanaan rasional harus menyelesaikan konflik antara lingkungan dan pembangunan.
Kemudian, 15. Pemukiman penduduk harus direncanakan untuk menghilangkan masalah lingkungan, 16. Pemerintah harus merencanakan kebijakan kependudukan yang sesuai, 17. Lembaga nasional harus merencanakan pengembangan sumber daya alam negara, 18. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus digunakan untuk mengembangkan lingkungan, 19. Pendidikan lingkungan sangat penting, 20. Penelitian lingkungan harus didukung, terutama di negara berkembang, 21. Negara boleh memanfaatkan sumber daya yang ada, tetapi tidak boleh membahayakan orang lain, 22. Kompensasi diperlukan jika ada negara yang membahayakan, 23. Tiap negara harus menetapkan standar masing-masing, 24. Harus ada kerja sama dalam isu internasional, 25. Organisasi internasional harus membantu memperbaiki lingkungan, dan 26. Senjata pemusnah massal harus dihilangkan.
Deklarasi Stockholm ini –yang terasa masih sangat relevan meskipun sudah berusia 50 tahun– juga disebut sebagai Deklarasi PBB (Persatuan Bangsa Bangsa). Deklarasi tentang lingkungan hidup ini sangat penting untuk merawat lingkungan dan pembangunan di tiap negara di dunia. Persiapan konferensi itu dilakukan sejak tahun 1968 atas usulan Swedia. (Zakky, zonareferensi.com, 27/3/2018)
Lingkungan hidup dan permasalahannya
Jika hasil Deklarasi Stockholm yang telah berusia setengah abad masih sangat relevan, maka juga layak dikutip di sini identifikasi permasalahan lingkungan hidup yang ditulis H.A. Ramzi Tadjoeddin, M.P.A dalam buku berjudul Permasalahan Abad XXI: Sebuah Agenda yang disunting oleh Said Tuhuleley dan diberi kata pengantar oleh Dr. H. Amien Rais. Buku yang memuat banyak tulisan para pakar itu diterbitkan oleh SIPRESS 1993 atau menjelang datangnya Abad XXI.
Menurut Ramzi Tadjoeddin, gejala yang sekarang sedang melanda dunia dan umat manusia dalam kaitannya dengan masalah lingkungan adalah: Pertama karena kegiatan manusia, baik itu untuk membangun maupun karena dilanda oleh kehidupan yang sulit (miskin), alam sekitar menjadi terkuras. Akibatnya adalah menurunnya secara drastis daya dukung sumber-sumber alam yang seharusnya membuat kehidupan menjadi lebih layak dan dunia menjadi tempat yang baik.
Misalnya saja, 1/4 dari penduduk dunia menyerap 2/3 dari sumber daya yang tersedia, sedangkan separuh dari mereka itu bertahan untuk hidupnya dengan cara merusak sumber-sumber kehidupan yang justru seharusnya membantu kehidupan itu sendiri. Akibatnya adalah: kapasitas alam dengan segala sumber dayanya untuk menunjang kehidupan manusia menurun secara drastis, justru pada saat pertambahan jumlah penduduk semakin meningkat drastis.
Kedua, keadaan ini di Indonesia juga menunjukkan gejala yang nyata. Kendatipun tidak persis sama, tetapi kecenderungannya terlihat sejalan dengan perkembangan yang sedang berjalan saat ini di belahan dunia lain. Misalnya saja:
- Kerusakan hutan, yang bisa berdampak adanya proses siltasi sebagai akibat penebangan hutan dan apa yang dinamakan “poor land management”. Selain itu jumlah hutan cenderung menurun saat ini.
- Berkurangnya persediaan air, maupun terganggunya sumber-sumber air sebagai akibat dari terganggunya alam sekitar karena cepatnya penebangan hutan yang dilakukan tidak diimbangi dengan cepatnya penanaman kembali. Akibatnya terjadi proses pemiskinan dari kesuburan tanah itu sendiri (land erosion).
- Terancam punahnya berbagai jenis binatang yang terganggu oleh karena terganggunya alam sekitar.
- Terancamnya berbagai jenis tanaman yang sesungguhnya dapat mendorong dan membantu kehidupan manusia secara lebih baik apabila biodiversitas bisa tetap dipelihara untuk masa yang akan datang.
- Terganggunya dan hancurnya genetika tanaman dari berbagai jenis karena kurangnya perhatian terhadap kegunaan dari berbagai jenis tanaman tersebut pada saat ini. Termasuk di dalamnya adalah sulitnya mencari bibit beras yang dulu dikenal lezat tetapi hasilnya kurang banyak.
- Tidak kurang penting adalah pemanasan yang terasa di berbagai daerah. Sedangkan daerah Puncak saja sudah jauh lebih panas dari 20 tahun yang lampau.
- Erosi tanah semakin banyak membutuhkan pupuk karena rusaknya tanah, sedangkan pupuk itu sendiri mempunyai dampak yang cukup luas pula terutama apabila pemakaiannya tanpa memperhatikan alam sekitarnya.
- Keadaan yang sama terjadi di lautan, yang terasa bagi nelayan semakin sulit, karena harus berlayar jauh dari pantai. Sedangkan di tepi pantai pun sulit karena terjadi polusi di tepian yang semakin lama semakin lebar dan luas. Jadi terjadi apa yang dinamakan polusi air (water and sea pollution).
- Tidak kalah pentingnya adalah polusi udara yang membuat kehidupan menjadi semakin penat karena banyaknya carbon dioksida. Banyak lagi masalah yang tentunya tidak semua dapat dituliskan di sini. Tetapi semua membuat kita menjadi lebih prihatin. Oleh karena itu tindakan yang diambil tidak cukup hanya dengan waspada, tetapi seharusnya sudah dimulai pengambilan tindakan yang cukup drastis apabila kita tidak mau keadaan semakin merosot lagi dari yang sekarang ini.
Kalau pada 1972 –saat Konferensi Stockholm—penduduk Indonesia baru berjumlah 121 juta jiwa, maka pada 2022 ini sudah menjadi lebih kurang 275 juta jiwa atau dua kali lipat lebih. Dengan luas daratan yang masih relatif sama, masuk akal jika problem kehidupan semakin bertambah dan rumit.
Dalam konteks Provinsi Jawa Barat, masih relevan pesan Gubernur Ridwan Kamil saat peringatan HLH Sedunia 2021 lalu (jabarprov.go.id, 5/6/2021). Gubernur mengajak para kepala daerah kota dan kabupaten serta masyarakat untuk sama-sama menjaga alam. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui menanam pohon dan memilah sampah.
“Saya mengajak semua pihak untuk terus menjaga bumi, rumah kita bersama ini. Kalau kita menjaga bumi, maka bumi akan menjaga kita,” kata Kang Emil saat itu memotivasi kita semua.***
*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id