Prof. Dr. H. Suwatno, M.Si.
Dosen Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis
Universitas Pendidikan Indonesia
SEJAK Donald Trump menjabat kembali sebagai Presiden Amerika Serikat, dunia dikejutkan dengan kebijakan ekonomi yang mengguncang fondasi perdagangan internasional. Salah satu kebijakan paling kontroversialnya hari ini adalah kebijakan tarif impor yang diberlakukan secara luas kepada hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia.
Produk-produk asal Indonesia, dari tekstil, sepatu, karet, elaktronik hingga produk-produk hasil perikanan, dikenai tarif yang melonjak hingga 32 persen. Ini bukan sekadar angka, tetapi sebuah gempa dahsyat terhadap semangat perdagangan bebas yang selama ini diperjuangkan oleh komunitas internasional. Lembaga-lembaga multilateral seperti WTO, APEC, hingga ASEAN selama puluhan tahun membangun arsitektur perdagangan global yang inklusif dan adil. Namun, dalam satu tarikan pena, Trump menghancurkan sebagian dari bangunan itu dengan kebijakan yang berbau proteksionisme ekonomi gaya lama.
Tentu kebijakan egoistik ini memicu gelombang kritik dari berbagai penjuru dunia. Para ekonom terkemuka dunia menilai kebijakan tersebut sebagai bentuk proteksionisme ekstrem yang kontraproduktif di tengah era globalisasi. Paul Krugman, peraih Nobel Ekonomi 2008, bahkan menyebut kebijakan Trump tersebut terlalu obsesif. Ia menekankan bahwa tarif tinggi bukanlah tanda kekuatan ekonomi yang mapan dan percaya diri, melainkan cerminan dari rasa takut dan ketidakpastian dalam menghadapi daya saing global yang semakin kompetitif.
Dalam dunia yang saling terhubung seperti sekarang, kebijakan proteksionis tidak lagi relevan dan berpotensi menjadi bumerang. Di masa lalu, mungkin negara-negara bisa berlindung di balik tarif dan kuota. Namun kini, ketika produksi, distribusi, dan konsumsi telah menjadi bagian dari rantai nilai global, penarikan diri dari skema perdagangan yang saling menguntungkan justru akan memperlemah daya tahan ekonomi suatu negara. Alih-alih melindungi industri dalam negeri, kebijakan semacam ini dapat memicu inflasi, menurunkan daya beli, dan mengganggu stabilitas pasokan barang strategis.
Hari ini, kita hidup dalam era keterhubungan total. Dunia bukan lagi seperti kumpulan kapal yang berlayar sendiri-sendiri. Seperti ilustrasikan oleh Kishore Mahbubani, mantan diplomat Singapura, bahwa saat ini semua negara seumpama berada dalam satu “kapal besar”. Semua negara, tanpa terkecuali, harus sama-sama saling menjaga keamanan dan keselamatan bahtera tersebut. Ketika satu negara besar seperti Amerika Serikat (yang menyumbang sekitar 26% dari PDB dunia) memainkan haluan secara sepihak, maka riaknya akan terasa hingga ke dapur ekonomi negara-negara berkembang. Kebijakan tarif Trump berdampak pada tingginya harga barang, menurunnya permintaan ekspor, hingga terganggunya stabilitas pasar global.
Respons Indonesia
Di tengah kepanikan global dan upaya proaktif puluhan negara untuk bernegosiasi langsung dengan Gedung Putih, respons Indonesia tampak berjalan lambat. Ketika lebih dari 50 negara telah mengambil langkah strategis untuk melindungi kepentingan dagangnya, Indonesia terkesan lambat dalam mengambil langkah konkret untuk meyakinkan pelaku pasar dan masyarakat bahwa pemerintah benar-benar serius dalam menghadapi dampak kebijakan Trump.
Negara tetangga kita seperti Vietnam bahkan menunjukkan diplomasi yang lebih gesit. Sekjen Partai Komunis Vietnam, To Lam, langsung menghubungi Trump. Mereka menawarkan solusi dengan menurunkan tarif atas produk AS dan berkomitmen membeli produk-produk strategis dari Amerika. Sebuah contoh negosiasi cerdas dan berani dari sebuah negara yang baru “kemarin sore” bangkit.
Sementara itu, pemerintah Indonesia terlihat agak gamang. Bisa jadi karena terlalu tersibukkan oleh urusan domestik yang menyita energi. Padahal, dampaknya bakal sangat nyata bagi para eksportir Indonesia, yang sebagian diantaranya merupakan perusahaan padat karya. Sikap dan respon yang lambat juga mengirimkan pesan yang buruk kepada dunia: bahwa Indonesia belum cukup tanggap dalam menghadapi turbulensi ekonomi global.
Investor, baik lokal maupun asing, membaca lebih dari sekadar angka-angka dalam laporan keuangan. Mereka membaca arah kebijakan, menyimak pernyataan pejabat negara, dan menilai respons strategis terhadap isu internasional. Dalam lanskap ekonomi global, persepsi adalah kekuatan besar. Ketika negara lain bereaksi cepat sementara kita menunjukkan sebaliknya, persepsi yang muncul adalah ketidaksiapan, dan ini bakal memengaruhi aliran investasi secara signifikan.
Pemerintah Indonesia perlu belajar dari momentum ini. Diplomasi ekonomi tidak bisa dijalankan secara biasa-biasa saja, melainkan menuntut kelincahan, kejelian membaca situasi, serta keberanian untuk mengambil inisiatif.
Lebih dari itu, publik dalam negeri juga layak mendapat penjelasan yang transparan. Apa yang telah dan sedang dilakukan pemerintah untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional? Bagaimana strategi Indonesia ke depan untuk menavigasi tantangan perdagangan global yang kian kompleks?
Harus Antisipatif
Sejarah telah membuktikan bahwa proteksionisme ekstrem akan membawa ekonomi dunia pada spiral konflik dagang. Bukan tidak mungkin, negara-negara yang merasa dirugikan oleh tarif Amerika akan membalas dengan tarif tandingan, dan dari situ lahir perang dagang berkepanjangan yang mengganggu tatanan global. Dalam situasi seperti ini, Indonesia harus memilih jalan cerdas dengan membangun koalisi diplomasi ekonomi bersama negara-negara mitra strategis, sekaligus memperkuat posisi tawar dalam forum multilateral.
Kini, dunia membutuhkan lebih banyak pemimpin yang berani berdiplomasi daripada yang gemar berpidato berapi-api di dalam negeri sendiri. Dalam “kapal besar” ini, kita tidak bisa hanya menjadi penumpang pasif yang berharap angin berpihak. Kita harus memiliki strategi antisipatif agar selalu siap menghadapi setiap dinamika ekonomi global yang mungkin terjadi. Jika tidak, kita hanya akan menjadi korban dari gelombang besar yang tidak kita ciptakan namun tidak terhindarkan. ***
Komentar