“SIMPAY” adalah lema dalam Bahasa Sunda yang artinya simpul, tali, atau ikatan. Simpay mengandung arti ikatan kuat yang menyatukan semua yang terserak. Anda barangkali pernah mendengar lirik lagu “sapu nyéré pegat simpay”. Artinya adalah sapu lidi yang lepas ikatannya sehingga tercerai berailah masing-masing lidi. Tanpa ikatan maka persatuan akan hilang dan semua potensi menguap begitu saja.
Ternyata filosofi yang diadopsi dari kultur “karuhun” Sunda yang mengutamakan kolaborasi, sinergi, dan musyawarah itu menjadi dasar pemikiran dan tujuan yang melatarbelakangi pembangunan dan pengembangan salah satu objek wisata yang berlokasi di Desa Ciapus, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung.
Destinasi wisata tersebut adalah Simpay Kimfa. Nama ini mengandung arti Ikata Kimfa. “Kimfa adalah kependekan dari gabungan nama kami sekeluarga. Kunaefi, suami saya, kemudian Isti Mulfinana (anak), Saya sendiri Mulyaningsih (istri), serta Nifa Ratna Multiyana (anak),” ungkap pemilik dan pendiri Vila Simpay Kimfa, Prof Dr Hj Mulyaningsih, MSi
Perempuan ramah ini ternyata juga adalah Guru Besar Ilmu Administrasi pada Program Pascasarjana Universitas Garut. “Ya, suami saya yang akrab dipanggil Kang Efi adalah pensiunan PNS, beliau sangat mendukung agar kami sekeluarga tidak pernah berhenti menuntut ilmu. Alhamdulillah, anak-anak juga memiliki bekal pendidikan yang mumpuni. Anak kami juga ada yang menjadi dokter dan membuka klinik di depan Villa Simpay Kimfa Ini,” ucapnya.
Sejak awal berniat dan membangun objek wisata tersebut, ia menegaskan keberadaannya harus memberi manfaat nyata kepada seluruh keluarga besar juga kepada para tetangga sekitar dan masyarakat yang menjadi warga Ciapus, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung tersebut.
Karyawan-karyawan di Simpay Kimfa juga berasal dari keluarga pendiri, mulai dari pekerja kebersihan, satpam, sampai pelayan. Pengelolaan sehari-hari juga diserahkan kepada manajer yang ditunjuk dari kelurga sendiri yakni Gugum Setianughraha.
“Dalam hal penyediaan makanan juga tambahan akomodasi kami juga melibatkan penduduk sekitar villa. Semua penganan tradisional yang kami sajikan sebetulnya yang menyediakan adalah masyarakat sekitar. Konsep pemberdayaan sosial menjadi pemikiran sejak awal sehingga villa ini terasakan manfaatnya oleh semua,” ujar Mulyaningsih.
Hal ini juga tercermin dari tiket masuk yang terbilang sangat murah yakni Rp 10.000 di hari biasa dan Rp 15.000 pada saat weekend. “Harga tersebut untuk menikmati wisata “all in” termasuk kolam renang yang juga sudah tersedia. Kecuali makanan bisa bawa sendiri atau memesan sebelumnya kepada kami. Biasanya jam kunjungan penuh adalah pada akhir pekan,” kata Gugum Setianugraha yang terbilang masih keponakan Prof Mulyaningsih.
Tema edukasi
Akses ke lokasi ini juga cukup mudah dilalui dari Kota Bandung, jalan raya juga sudah beraspal. Lokasinya strategis yaitu di Jalan Ciapus, Banjaran, Kabupaten Bandung yang langsung terkoneksi dengan Jalan Raya Bandung-Banjaran.
Objek wisata selfie ini mengusung tema edukasi dan banyak spot fotoyang sudah terupload di media sosial. Sebelum dibuka untuk umum, tempat tersebut merupakan villa keluarga. Karena sudah dilengkapi banyak spot foto akhirnya tempat tersebut dibuka untuk umum.
Spot selfie yang ada di obyek wisata ini di antaranya, taman bunga, tembok kerajaan, gazeboo, pepohonan, persawahan, juga dilengkapi dengan kamar cottage bagi tamu yang berkenan menginap. Spot favorit di obyek wisata ini ialah menara ikan. Menara berwarna putih dan memiliki banyak anak tangga itu berdiri di tengah lahan pesawahan. Di atas menara itulah, para wisatawan bebas berfoto selfie dengan pemandangan gunung yang mengelilingi wilayah Banjaran.
Juga terdapat kolam renang anak yang dapat dinikmati di tengah kesegaran hawa pedesaan.
“Wisata edukasi ini sangat penting bagi anak-anak karena mereka bisa mengetahui dan belajar membajak sawah, bermain dengan hewan ternak seperti ayam, bebek dan kelinci,” ucapnya. ***