KOTA BANDUNG (TUGUBANDUNG.ID) – Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM-ITB) mendatangkan pekaku industri otomotif nasional di acara bedah buku berjudul “Transfer Teknologi untuk Inovasi: dari Riset ke Industri”. Acara yang dibuka oleh Prof. Pulung Nurprasetio selaku plt Wakil Dekan Sumber Daya SBM-ITB ini menghadirkan narasumber penting yaitu Ir. Ibnu Susilo yang merupakan Founder & CEO FIN Komodo dan juga Joko Sarwono, PhD. yang merupakan Ketua Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK) ITB.
FIN (Formula Indonesia) Komodo merupakan perusahaan otomotif lokal berlokasi di Kota Cimahi Jawa Barat yang memproduksi mobil off-road. Ibnu Susilo mengungkapkan bahwa ide pengembangan FIN Komodo dilatarbelakangi oleh ide untuk menghubungkan desa melalui pengembangan kendaraan yang setangguh jeep dan senyaman sedan. Dari sinilah, Ibnu bertekad mengembangkan mobil yang sepenuhnya dikembangkan oleh engineer Indonesia yang dinamai FIN Komodo. FIN merupakan akronim dari Formula Indonesia dan Komodo diambil dari hewan yang hanya ada di Indonesia.
Di awal pengembangan, Ibnu mengungkapkan bahwa di masa awal, susah untuk mendapatkan pembiayaan dari Bank di mana pada saat itu ditolak. Beruntungnya Ia mendapatkan projek yang bisa membantu pendanaan awal.
“Untuk mendanai awal pengembangan purwarupa, saya mengerkakan projek pengembangan bagian pesawat di Malaysia. Modal itulah yang membantu di masa-masa awal pengembangan FIN Komodo,” ungkap Ibnu.
Ibnu mengatakan bahwa hal penting dalam pengembangan industri adalah komponen brainware yang terletak di manusianya. Makanya di awal, Ibnu melalui FIN membina sampai puluhan UKM guna dapat menyuplai pengembangan FIN komodo sampai tahapan produksi. Saat ini perusahaan ini sudah berusia 17 tahun di mana mobil yang dikembangkan sudah memasuki generasi kelima sejak 2005 pertama kali dikembangkan.
“Pengembangan industri berbasis teknologi terletak pada orangnya atau brainware-nya,” tambah Ibnu.
Joko Sarwono, PhD. menceritakan tentang bagaimana tantangan pengembangan riset dan inovasi di kampus dengan mengambil best practice dari Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK). Ia adalah Ketua Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK) ITB. Ia mengungkapkan bahwa LPIK menerapkan 3 kefokusan yaitu riset inovasi yang diukur dari tingkat kematangan teknologi (Technology Readiness Level-TRL), pengembangan kewirausahaan, dan kantor transfer teknologi (Technology Transfer Office-TTO). Selanjutnya Joko mengutarakan hambattan inovasi di Perguruan Tinggi yaitu di sisi terlalu fokus pada kuantitas dan regulasi yang tidak mendukung.
“Hambatan inovasi di Perguruan Tinggi salah satu diakibatkan karena ukuran inovasi masih terbatas pada KPI (Key Performance Index) di kuantitas. Selain itu juga di regulasi yang belum berpihak. Sebagai contoh ITB telah kembangkan mobil listrik sejak 2010 namun sampai saat ini belum bisa dikatakan behasil karena dukungan seperti regulasi belum cukup,” ungkap Joko.
Gambaran FIN Komodo dan LPIK ITB seperti yang diungkapkan dua narasumber di atas merupakan bagian dari isi buku berjudul “Transfer Teknologi untuk Inovasi: dari Riset ke Industri”. Buku ini ditulis oleh peneliti dari Management of Technology Laboratory (MoT Lab) SBM-ITB yaitu Dr.rer.pol. Eko Agus Prasetio, Uruqul Nadhif Dzakiy, MT, dan Dedy Sushandoyo, PhD. (Pun) ***