Refleksi Hari Keterbukaan Informasi, Mendorong Transparansi demi Demokrasi yang Sehat

OLEH Erwin Kustiman

Komisioner Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat 2024-2028

SETIAP tanggal 30 April, Indonesia memperingati Hari Keterbukaan Informasi Nasional (Hakin). Penetapan tanggal ini bukan tanpa alasan. Ia memiliki kaitan erat dengan tonggak penting dalam perjalanan bangsa menuju pemerintahan yang transparan dan partisipatif, yaitu saat disahkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) pada tanggal 30 April 2008. Meskipun, UU ini baru dinyatakan berlaku dua tahun kemudian pada 1 Mei 2010.

Momentum ini juga bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi harus menjadi refleksi mendalam tentang seberapa jauh prinsip transparansi dan akuntabilitas telah menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

Terlabih, dalam era digital dan informasi yang serba cepat, keterbukaan informasi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan utama untuk memperkuat demokrasi dan memperkuat kepercayaan publik.

Hak Publik

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menegaskan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh informasi dari badan publik. Prinsip dasarnya sederhana namun sangat mendasar: rakyat berhak tahu. Pemerintah, lembaga publik, dan institusi lain yang menerima dana dari APBN/APBD memiliki kewajiban untuk membuka informasi yang relevan dan tidak dikecualikan kepada masyarakat.

Namun, dalam praktiknya, hak atas informasi ini kerap terhambat oleh berbagai alasan: birokrasi yang rumit, rendahnya literasi informasi masyarakat, hingga kecenderungan beberapa pihak untuk menutup-nutupi data yang seharusnya terbuka.

Peringatan Hari Keterbukaan Informasi seharusnya menjadi waktu untuk mengukur komitmen semua pihak, terutama lembaga publik, dalam mengimplementasikan keterbukaan informasi. Sudahkah website institusi pemerintah menyediakan informasi yang aktual dan mudah diakses? Apakah pejabat publik responsif terhadap permintaan informasi? Sudahkah masyarakat tahu cara mengakses hak informasinya?

Komisi Informasi Pusat mencatat adanya peningkatan permohonan informasi setiap tahunnya. Namun, meningkatnya permintaan juga menjadi cerminan bahwa banyak informasi belum disediakan secara proaktif oleh badan publik. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip keterbukaan masih belum sepenuhnya menjadi budaya.

Inti Demokrasi

Demokrasi yang sehat mensyaratkan adanya akses informasi yang terbuka dan merata. Tanpa informasi yang transparan, masyarakat tidak bisa melakukan kontrol terhadap kebijakan publik. Tanpa informasi yang jelas, partisipasi publik menjadi semu, dan celah untuk korupsi semakin terbuka lebar.

Dengan keterbukaan informasi, masyarakat bisa lebih aktif mengawal anggaran, program pembangunan, dan kebijakan publik. Jurnalis dapat bekerja dengan data yang kredibel. Aktivis bisa mengadvokasi kebijakan dengan lebih tepat sasaran. Bahkan pelajar dan mahasiswa bisa mengakses informasi untuk bahan riset dan pendidikan.

Keterbukaan informasi tidak bisa hanya bergantung pada niat baik badan publik. Masyarakat harus menjadi bagian dari pengawalan keterbukaan itu sendiri. Edukasi publik tentang hak atas informasi perlu diperluas. Literasi digital dan literasi informasi harus ditingkatkan. Masyarakat harus berani mengajukan permohonan informasi, mempertanyakan data yang tidak jelas, dan memanfaatkan mekanisme keberatan jika informasinya tidak diberikan.

Penutup

Hari Keterbukaan Informasi adalah momen untuk mengingatkan bahwa transparansi adalah fondasi demokrasi yang kokoh. Dalam era yang semakin digital, akses informasi harus menjadi semakin mudah, cepat, dan akurat. Mari jadikan keterbukaan bukan hanya sebagai kewajiban formal, tetapi sebagai budaya dalam penyelenggaraan negara yang bersih, adil, dan berpihak pada rakyat.***

 

Komentar