Menu

Mode Gelap

Feature · 15 Feb 2023 21:27 WIB ·

Pengalaman Memburu Waktu Naik Betor, Angkutan Bermotor Khas Kota Medan

 SETIAWAN (27 tahun), pengemudi betor, sedang menembus kemacetan di jalanan Kota Medan. (Foto: Widodo A.).* Perbesar

SETIAWAN (27 tahun), pengemudi betor, sedang menembus kemacetan di jalanan Kota Medan. (Foto: Widodo A.).*

HARI itu, Kamis siang sekitar pukul 10.45 WIB tanggal 9 Februari 2023, merupakan saat mendebarkan bagi banyak orang yang berurusan dengan mepetnya jadwal waktu masing-masing. Padahal, upacara puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Gedung Serba Guna Pemprov Sumut, Jalan Williem Iskandar, Kota Medan, sudah selesai. Presiden Joko Widodo dan rombongan bahkan sudah meninggalkan tempat upacara.

Di jalanan –hingga beberapa kilometer—di sekitar Gedung Serba Guna tersebut macet total. Sebetulnya fenomena sering terjadinya kemacetan di kota ini sudah merupakan kejadian sehari-hari. Tapi hari itu sungguh luar biasa. “Ini dampak dari kunjungan Presiden Jokowi dengan pengawalan ketat. Begitu juga para pejabat tinggi lainnya,” ujar seorang pengemudi angkutan umum.

Saya sendiri, yang merupakan anggota rombongan tamu HPN yang akan  melanjutkan perjalanan ke Danau Toba, harusnya relatif santai. Sebab, menurut rencana, panitia sudah menyiapkan lima bus di sekitar Gedung Serba Guna itu dan baru akan berangkat pukul 12.00 WIB. Jadi ada sisa waktu untuk menunggu keberangkatan ke Danau Toba sekitar satu jam.

Tapi saya lupa membawa perbekalan untuk nginap semalam di Danau Toba. Saya pun bergegas kembali ke tempat penginapan di Hotel Grand Mercure di Jalan Sutomo, Kota Medan. Jika naik taksi online lama perjalanan sekitar 20 menit. Tapi dalam suasana macet di mana-mana pastilah tidak nyampe alias molor dari target waktu. Belum lagi nanti kembalinya ke lokasi berkumpulnya bus di Gedung Serba Guna tersebut.

Pilih naik betor

Dalam ketegangan memburu waktu, keputusan harus segera diambil. Maka saya pun pilih naik betor, singkatan dari becak bermotor (perpaduan becak dan sepeda motor), angkutan umum khas dan ikonik Kota Medan. Tanpa tawar menawar, tarif Rp 20.000,00 sesuai permintaan abang pengemudi betor pun saya sanggupi. Dengan kelincahannya, sang pengemudi betor, Setiawan (27 tahun), segera memacu betornya di tengah kemacetan di mana-mana.

BETOR (Becak bermotor) sedang melintas di Jalan Williem Iskandar, Kota Medan. (Foto: Widodo A.).*

Setiawan yang masih bujangan ini mengaku juga sebagai montir sepeda motor. Dia bilang dirinya merupakan keturunan orang Jawa (Pujakesuma-Putra Jawa Keturunan Sumatra). “Orangtua saya asal Kediri, Jawa Tengah,” ujarnya tanpa merasa bersalah bahwa daerah Kediri itu sebenarnya masuk Provinsi Jawa Timur.

Harap maklum, anak-anak Pujakesuma sekarang ini adalah keturunan kesekian dari nenek moyangnya yang dulu datang ke Sumatra pada zaman penjajahan Belanda. Mereka umumnya tidak paham benar lokasi daerah atau kota-kota di Pulau Jawa saat ini.

Berbincang sambil memburu waktu sungguh dapat mengurangi ketegangan. Setiba di tempat tujuan, saya pun membayar ongkos sambil berbisik ke Setiawan. “Tunggu sebentar, maksimal sepuluh menit, saya mau ambil tas jinjing, nanti kita kembali ke Gedung Serba Guna”. Setiawan pun setuju.

Setiba di Gedung Serba Guna pun saya segera membayar lagi ongkos ke Setiawan dan kami berpisah. Tapi lima bus yang dijanjikan panitia tidak ada. Saya segera membuka WA Group Panitia HPN. Ternyata ada pengumuman yang menyatakan untuk keberangkatan ke Danau Toba, lima bus telah disiapkan di jalan di samping Hotel Grand Mercure, alias batal dari Gedung Serba Guna di Jalan Williem Iskandar No. 9 itu.

Tanpa pikir panjang saya mencari betor lagi. Kali ini dapat becak motor yang dikemudikan Pak Ngadiman, seorang kakek berusia 66 tahun. Ongkosnya juga Rp 20.000,00. Bapak empat anak dan kakek beberapa cucu itu juga keturunan Jawa. Tapi dia mengaku sudah tidak tahu asal daerah nenek moyangnya di Pulau Jawa.

NGADIMAN (66 tahun), pengemudi bentor, di tengah padatnya arus lalu lintas Kota Medan. (Foto: Widodo A.).*

Nasib Ngadiman yang berasal dari daerah Langkat, Sumut itu relatif lebih baik dari Setiawan. Karena betor yang dikemudikan Ngadiman itu milik sendiri, sedangkan Setiawan masih menyewa. Karena merasa sudah lansia, Ngadiman hanya kerja setengah hari dengan membawa pulang uang kadang Rp 70.000,00 dan kadang Rp 100.000,00.

Sedangkan Setiawan bekerja dari pagi sampai petang. Dia harus bayar sewa betor Rp 30.000,00. Dia berusaha agar saat pulang dapat membawa hasil bersih minimal Rp 50.000,00. Syukur jika bisa lebih.

Dibentuk becak wisata

Sekalipun betor tetap eksis sebagai angkutan umum dan khas Kota Medan, keberadaannya mulai tersaingi ojek online. Namun, Pemerintah Kota Medan setempat berusaha agar keberadaan betor tetap lestari. Untuk itu Pemkot Medan (di sana disebut Pemko Medan) mendukung wacana dibentuk becak wisata di Kota Medan dan itu sudah direncanakan.

“Namun, perencanaan dimaksud membutuhkan strategi kuat agar tidak sia-sia. Cuma bagaimana bentuknya belum bisa saya jawab sekarang karena belum siap renacananya. Sabar dulu ya,” ujar Wakil Wali Kota Medan, Akhyar Nasution, baru-baru ini. (medantourism.pemkomedan.go.id)

Akhyar mengungkapkan Pemkot Medan berencana membuat regulasi pemberdayaan betor. “Kota Medan merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki moda transportasi khas. Betor ini harus kita pertahankan,” tegasnya.

Pengamat ekonomi, Zulkarnain Siregar, mengatakan daya Tarik betor terletak pada moda transportasi itu sendiri. “Tinggal mencari cara bagaimana menambah nilai jual yang ada di betor tersebut, baik dari segi tampilan kendaraannya maupun si penarik betor. Si Penarik betor harus mampu membaca persepsi konsumen,” ujar Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Medan (Unimed) itu.

Menurut Zulkarnain, wisatawan merupakan pangsa pasar terbesar bagi penarik betor. Untuk itu, penarik betor harus mampu membuat penumpangnya nyaman dan aman. “Itulah ciri khas Medan. Sama seperti ke Pematang Siantar. Setiap kali ke sana, pasti kita ingin naik becak BSA-nya. Begitu juga di Medan. Bagaimana caranya setiap orang yang ke Medan kepingin naik becak Medan, sehingga muncul persepsi: tidak lengkap ke Medan kalau tidak naik betor,” pungkasnya. (Widodo Asmowiyoto, TuguBandung.id)***

Artikel ini telah dibaca 275 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

PIK-R  Bukit Gado-Gado, Lumbung Literasi Digital dan Teladan Generasui Muda Indonesia

27 November 2024 - 17:56 WIB

Bisnis Employee Benefit Generali Indonesia Semakin Meningkat  

22 November 2024 - 08:53 WIB

Kang Rahmat Toleng: Pengawal Ketahanan Pangan Jawa Barat dari Tanah “Lumbung Padi” Karawang, Kini Menakhodai Komisi 1 DPRD Jabar

18 November 2024 - 11:06 WIB

Srikandi Gerindra di Komisi IV DPRD Jawa Barat; Prasetyawati Berjuang untuk Keadilan dan Kesejahteraan Masyarakat

18 November 2024 - 10:45 WIB

Teddy Rusmawan: Politisi PKS yang Menginspirasi

18 November 2024 - 10:33 WIB

Dr. H. Buky Wibawa Karya Guna, S.Pd, M.Si: Sosok Budayawan di Pucuk Pimpinan Parlemen Jawa Barat

12 November 2024 - 18:42 WIB

Trending di Feature