Pengantar:
Sebagaimana pada tiap bulan ramadan sebelumnya, Wina Armada Sukardi (WASA), wartawan senior, sastrawan dan advokat, senantiasa menghadirkan karya tulisnya. Demikian pula pada bulan puasa tahun ini. Jika pada tahun-tahun sebelumnya Wina Armada menampilkan tulisan Sketsa Seputar Salat Subuh dan kisah-kisah human interes, pada tahun ini, dalam bentuk novelet (novel pendek) religi bersambung setiap hari. Judulnya “Sang Tokoh.” Setiap hari karyanya dalam bentuk novelet ini akan hadir menemani kita berpuasa.
Pada intinya karya ini ingin melukiskan Kekuasan dan Kasih Allah yang luar biasa besar, di wujud kehidupan dan penghidupan nyata yang sering sulit diprediksi. Wina Armada Sukardi selain wartawan senior dan advokat juga sastrawan. Kini dia antara lain duduk di Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadyah.
Semua kelemahan datangnya pastilah dari penulisnya, sedang seluruh kebenaran hanyalah milik Allah. Selamat menikmati.***
Oleh Wina Armada Sukardi
I. Berangkat Salat Subuh
HARI masih subuh. Bulan sudah mulai bersembunyi. Udara teramat segar. Angin yang bertiup sepoi menambah sejuk suasana.
Sang tokoh, begitu saja kita menyebutnya, berjalan perlahan menuju pintu pagar rumahnya. Tinggi pagar sekitar dua meteren. Dia membuka kunci pintu pagar, meletakan kunci di bagian dalam rumah agak jauh dari pintu pagar, dan menutupnya kembali. Pagar sengaja tak dikunci lagi. Pengalamannya membuktikan meski pintu pagar tak terkunci, asal ditutup rapat, tak pernah terjadi pencurian.
Sang tokoh memakai busana koko serba putih. Penutup kepalanya juga putih. Cuma selendang yang dikenakannya berwarna campuran merah, kuning, biru dan hijau, kontras dengan bajunya. Pemuda bujangan ini berjalan perlahan menuju mesjid yang terletak tak jauh dari rumahnya, tetapi lokasinya setelah pertigaan, sehingga tidak langsung nampak dari rumahnya.
Setiap hari, setiap subuh, jika ada di rumah, Sang Tokoh hampir pasti salat subuh berjemaah di mesjid. Dia selalu menyambut salat subuh berjemaah di mesjid dengan perasaan meluap. Riang. Baginya salat subuh di mesjid adalah sebuah kesempatan yang diberikan oleh Pencipta Langit dan Bumi untuk melapor dan minta petunjuk sebelum memulai kehidupan dan penghidup.
Bagi Sang Tokoh salat subuh berjemaah di mesjid selain ritual penyerahan diri tunduk dan patuh kepada Allah, juga merupakan sarana mendapatkan kekuatan lahir batin. Itulah sebabnya Sang Tokoh setiap salat subuh berjemaah di mesjid dia terus bertambah semangat, semangat dan semangat. Baginya salat subuh berjemaah di mesjid bagaikan lebih dari segalanya. Sungguh dia merasa rugi jika tak salat subuh berjemaah di mesjid.
Subuh hari itu pun raut wajah Sang Tokoh, berseri. Wajahnya memantulkan kebahagian. Dari wajahnya terpancar pula ketulusan, kepasrahan sekaligus kepercayaan diri yang tinggi. Wajah seorang umat muslim yang hampir sempurna.
Kendati begitu, tak dapat disembunyikan, wajah Sang Tokoh juga masih menyiratkan keletihan. Maklumlah tadi malam Sang Tokoh membaca kembali beberapa buku yang pernah dibacanya. Cuma yang dibaca bagian-bagian buku yang telah diberi garis bawah olehnya. Memang setiap membaca buku Sang Tokoh memberi garis bawah pada bagian-bagian yang dinilainya penting. Ini untuk memudahkan dirinya mengingat sekaligus mempermudah jika memerlukan kembali sebagai referensi. Oleh sebab itu buku-buku yang dibacanya kembali tadi dapat dilakulan dengan cepat. Hanya karena Sang Tokoh membaca beberapa buku sekaligus, akhirnya selesai sampai malam.
Buku-buku yang baru dibacanya diletakan kembali di perpustalaan pribadinya yang tertata rapi. Setiap kumpulan jenis buku diberinya tanda. Ada buku hukum, politik, agama, komunikasi, sastera, budaya dan sebagainya. Hampir semua ragam buku ada di perpustakaannya. Semalam dia hanya membaca ulang beberapa buku saja, tapi memakan banyak waktu malamnya.
Hanya dengan tekad besar dan semangat luar biasa, Sang Tokoh tetap dapat melangkah ke mesjid dengan hati riang. Penuh semangat. Penuh Pengharapan. Keimanan yang memenuhi jiwanya membuat Sang Tokoh tak mengenal arang lintang untuk salat subuh berjemaah di mesjid.
Seperti setiap subuh sebelumnya, dia menikmati benar berjalan menuju salat subuh berjemaah di mesjid. Masih terlihat membayang kabut tipis putih di jalanan seputar sana.
Kesegaran dan kesejukan udara membuat Sang Tokoh di subuh itu berjalan dengan nyaman. Dia kelihatan tenang mensyukuri masih diberi kesempatan salat subuh berjemaah di mesjid.
Sesaat setelah melewati pertigaan jalan antara rumahnya dan mesjid, Sang Tokoh merasakan desiran angin yang lebih cepat mendekat kepada tubuhnya. Bukan desiran angin biasa. Rupanya tanpa disadari desiran angin itu datang dari sebuah mobil yang dengan cepat menuju dan langsung menabraknya. Mobil melaju cukup cepat dan tidak memperhitungkan di subuh itu setelah pertigaan jalan bakal ada orang yang sedang berjalan kaki. Walhasil, Sang Tokoh, tanpa bisa dihindari, tertabrak. Terpental ke kiri depan arah mobil. Seketika Sang Tokoh tak sadarkan diri sama sekali.
Pengemudi mobil, seorang dengan pakian serba hitam, tak begitu jelas lelaki atau wanita, membuka kaca mobilnya. Mungkin lantaran masih ada kabut, wajah tak begitu jelas, tapi nampak aneh. Dari kejauhan agak seram. Rambutnya acak-acakan. Setelah menengok kanan kiri, dan melihat tak ada seorang pun orang, dia tancap gas. Kabur.
Tak ada yang mengetahui Sang Tokoh terkapar di pinggir jalan lantaran ditabrak. Tubuh Sang Tokoh pun tak bergerak sama sekali.
Barulah setelah salat subuh berjemah di mesjid selesai dan bubar, satu dua orang jemaah mesjid menemukan Sang Tokoh tergeletak tanpa daya. Dengan cepat kabar itu menyebar ke jemaah lainnya. Sang Tokoh segera ditolong. Dibawa ke rumah sakit terdekat dengan ambulan milik mesjid yang memang sedia setiap saat pengangkut jenazah atau orang sakit parah. Keluarga Sang Tokoh segera diberitahu.
Pagi bersamaan dengan terbitnya mentari masyarakat di sekitar mesjid barulah ramai membincangkanya. Mereka berkumpul di sekitar tempat peristiwa. Umumnya mereka mengenal Sang Tokoh. Berseliweran kabar, spekulasi, dan diskusi bagaimana peristiwa subuh itu terjadi. Ada mengusulkan sebelum pertigaan dibuat “polisi tidur” dan tanda peringatan.
Sementara tubuh Sang Tokoh sudah ada di ruang gawat darurat rumah sakit atau UGD yang tersedia di setiap rumah sakit. Biasanya terletak di bagian depan rumah sakit.
Jam buka dan operasional UGD 24 jam. Tiap hari. Tiap bulan. Tiap tahun. Tak ada hari libur, walaupun petugasnya bisa saja berkurang.
Sang Tokoh dibawa ke ruangan ini lantaran memang di UGD inilah semua pasien yang masuk diberikan pertolongan pertama.
Tenaga medis yang bertugas di UGD biasanya hanyalah dokter umum, bahkan dokter yang baru lulus. Mereka bakal mengobservasi pasien dan mengambil tindakan darurat, termasuk jika sangat diperlukan melaksanakan operasi.
Bebeberap dokter muda memeriksa Sang Tokoh dengan seksama. Para dokter muda yang menangani Sang Tokoh itu, setelah memeriksa, tidak dapat memberi keputusan apapun. Tubuh Sang Tokoh hanya lecet disana sini sedikit, tapi Sang Tokoh sendiri sama sekaki tidak sadarkan diri. Nafasnya jelas masih ada, walaupun grafiknya masih turun naik. Perlu dokter spesialis yang memeriksa dan menentukan apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh Sang Tokoh. Itu pun tak cukup satu dokter spesialis. Harus beberapa dokter spesialis.
“Kami belum dapat menyimpulkan apapun,” kata seorang dokter perempuan muda yang keluar dari ruang gawat darurat khusus untuk menjelaskan kepada keluarga Sang Tokoh yang menunggu di luar. “Kami harus menunggu beberapa doktern spesialis menanganinya!” tambahnya.
Dokter perempuan yang rambutnya diikat ke belakang dan memakai kacamata dengan lembut tapi mengandung kejelasan, menuturkan, Sang Tokoh akan dipindahkan ke ruangan IGD.
Sebenarnya dari aspek manajemen rumah sakit, IGD atawa Instalasi gawat darurat mempunyai fungsi yang hampir sama dengan UGD. Sama-sama bukua 24 jam. Cuma peralatan IGD lebih lengkap. Dokternya pun sudah dokter spesialis.
Keluarga, dan kerabat yang datang menunggu cuma memgangguk-angguk saja tanpa dapat berbuat lain. Mereka berali menunggu dari depan ruang UGD ke depan ruang IGD.
Persoalannya, para dokter sposialis itu sebagian besar sedang sibuk. Hanya dua orang spesialis yang sedang menangani pasien lain yang sudah ada disana.
Sebagian dokter spesialis lain sudah ada janji dengan pasien masing-masing yang sulit ditinggalkan. Maklumlah janji pasien itu sudah ada yang seminggu atau dua minggu sebelumnya.
Barulah siang hari ba’da sholat lohor, para dokter spisialis berdatangan satu persatu. Mereka langsung masuk IGD. Mereka kembali melakukan pemeriksaan dari awal dengan teliti. Tak ada cidera atau luka yang berarti. Tak ada tulang yang retak, apalagi sampai patah. Tak ada luka yang perlu dijahit. Hanya ada sedikit memar di beberapa bagian tubuh. Seakan tidak terjadi apapun. Persoalannya, pasien, Sang Tokoh, tetap tidak sadar. Matanya terpejam rapat. Tidak dapat mendengar sama sekali. Wajahnya pucat. Tubuhnya kalau digerakan lunglai.
Di luar itu, nafasnya jelas masih berhembus. Otaknya juga masih dapat bekerja, meski terbatas. Berarti terang benderang Sang Tokoh masih hidup. Walaupun diberi alat bantu nafas, sejatinya nafas Sang Tokoh masih terus mengalir.
Terjadilah diskusi ilmiah yang seru antara para dokter ahli itu. Ada yang berpendapat, kemungkinan dada Sang Tokoh terbentur mobil waktu tubrukan, sehingga menekan jantung dan mengakibatkan jantungnya mengalami gangguan.
Seorang dokter lainnya menduga, terjadi cidera otak yang menyebabkan pasien tidak sadarkan diri. Kendari begitu, tak ada kesimpulan yang dapat diambil oleh para dokter spesialis berpengalaman itu. Mereka memutuskan untuk memeriksa lebih lengkap dan lebih lanjut keadaan Sang Tokoh, mulai dari pemeriksaan seluruh unsur darah di laboratorum sampai akan dicek dengan peralatan pemindai modern seluruh bagian tubuh.
Selain diambil darahnya, tubuh Sang Tokoh juga dibawa memakai “tempat tidur jalan” alias brankar yang didorong suster ke tempat-tempat alat pemeriksaan. Dokter ingin memastikan apa yang sebenarnya terjadi, dan dari sana menentukan diagnosis serta tindakan apa yang seharusnya dilakukan. Rupanya mereka belerja dengan sangat teliti.
Beberapa hari kemudian hasil seluruh pemeriksaan dari alat kesehatan cangih pun selesai. Lengkap. Tak ada yang kurang. Dari dokumen hasil data ini dokter sudah dapat menentukan apa yang dialami tubuh Sang Tokoh.
Alangkah terkejutnya para dokter itu. Setelah diteleti sampai detail, hasil pemeriksaan memperlihat tidak ada satu kelainan pun pada diri Sang Tokoh. Semuanya berfungsi dengan baik. Dari mulai otak, jantung, paru-paru, kondisi darah, tulang belulang, syaraf sampai organ-organ dalam, semuanya berfungsi dengan baik, bahkan lebih baik dari rata-rata kesehatan manusia normal. Hanya sejak awal mata tidak terbuka. Kuping tidak dapat mendengar dan mulut tidak dapat bicara.
Grafik nafas Sang Tokoh cuma sedikit turun naik. Ini pertanda jantungnya relatif baik. Beberapa dokter geleng-geleng kepada memperoleh hasil itu.
Para dokter itu masih bingung apa yang terjadi secara medis pada diri Sang Tokoh.***
(Bersambung)