Oleh Widodo Asmowiyoto*
PENDIRI dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya, Mochtar Lubis, bukan saja merupakan editor teladan bagi pers Indonesia, tetapi juga sebagai figur internasional. Almarhum tidak mengenal kompromi dengan penguasa atau pemerintah yang dianggap melanggar prinsip nilai yang dianutnya.
“Saya salut atas sikap Mochtar Lubis. Hal itu tidak saja perlu buat Indonesia tetapi juga Australia,” kata Prof. Dr. David T. Hill, Pakar Kajian Media Indonesia, Murdoch University, Australia, saat berbicara pada webinar “Peringatan 100 Tahun Mochtar Lubis: Kekuasaan dan Sastra”, Rabu sore (27/4/2022).
![](https://tugubandung.id/wp-content/uploads/2022/04/widodo.jpg)
WIDODO Asmowiyoto.*
Acara via zoom dengan moderator Lestantya R. Baskoro ini diikuti hampir 200 peserta termasuk dari Timor Leste. Lestantya adalah wartawan senior dan Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS). Peringatan 100 tahun ini agak mundur dari tanggal kelahiran Mochtar Lubis yakni 7 Maret 1922. Mochtar Lubis yang meninggal dunia di Jakarta 2 Juli 2004 itu merupakan salah satu dari 50 Pahlawan Kebebasan Pers Dunia dari International Press Intitute.
Pada webinar yang diselenggarakan LPDS itu, David T. Hill mengulas topik “Mochtar Lubis dan Pers Indonesia”. Sedangkan dua pembicara lainnya adalah Ignatius Haryanto, Peneliti Media dan Dosen Universitas Multimedia Nusantara, dan Prof. Dr. Romo Mudji Sutrisno, Budayawan dan Dosen STF Driyarkara). Hadir juga cucu “kesayangan” Mochtar Lubis, Maya Lubis.
Ignatius Haryanto yang membahas topik “Harian Indonesia Raya di Rezim Orde Lama dan Orde Baru”, mengusulkan agar Dewan Pers mendedikasikan salah satu ruangan kantornya dijadikan museum kecil bagi trio tokoh wartawan Indonesia yakni BM Diah, Rosihan Anwar, dan Mochtar Lubis. “Karya-karya Mochtar Lubis perlu diterbitkan secara utuh,” katanya.
Prof. Dr. Mudji Sutrisno yang mengulas topik “Realitas Sosial dalam Novel-novel Mochtar Lubis”, menilai enam sifat manusia Indonesia sebagaimana pernah dikemukakan Mochtar Lubis hingga kini masih relevan. “Seluruh ide, obsesi, dan cinta Mochtar Lubis sebagai wartawan ternyata sebelumnya sudah disampaikannya dalam bahasa sastra oleh almarhum,” ungkap Romo Mudji Sutrisno.
Enam sifat manusia Indonesia dimaksud ialah hipokrit (munafik) yang melahirkan sikap asal bapak senang (ABS), enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal yang bisa menjadi pangkal penyebab korupsi, percaya takhayul, punya kemampuan artistik, dan berwatak lemah sehingga jika yang bersangkutan menjadi pemimpin mudah melemparkan tanggung jawab kepada bawahannya.
Harus punya integritas
Kedekatan Maya Lubis –sebagai cucu kesayangan—menyebabkan dia memanggil Mochtar Lubis bukan sebagai kakek tapi tetapi “Bapak”. “Hingga saat ini saya tidak menemukan sosok seperti Bapak. Susah deh mencari sosok seperti kakek saya itu,” ungkapnya.
Maya masih terngiang dengan pesan Mochtar Lubis yang disebutnya seorang humanis itu, “Kita harus punya integritas, mengatakan kebenaran dan jangan mengulangi hal-hal yang tidak benar. Hidup jangan selalu melihat ke atas, tetapi melihat ke bawah dan harus selalu bersyukur. Kita harus jujur”.
Maya mengaku menemukan surat-surat cinta yang ditulis Mochtar Lubis kepada (calon) istrinya atau neneknya Maya. Hal ini dapat dibukukan dan bisa untuk mengisi museum kecil tiga tokoh wartawan –termasuk Mochtar Lubis– yang diusulkan Ignatius Haryanto di Dewan Pers tadi. Kalangan peserta webinar juga setuju surat-surat cinta Mochtar Lubis tersebut dibukukan.
Rival tetapi tetap bersahabat
Melihat dari umur, Mochtar Lubis sebaya dengan Rosihan Anwar yang juga seorang sebagai “Begawan Pers Indonesia”. Dalam hal menyikapi pemerintah, menurut Ignatius Haryanto, keduanya mempunyai cara pandang yang berbeda.
David T. Hill setuju dengan pernyataan Ignatius Haryanto bahwa hubungan Mochtar Lubis dengan Rosihan Anwar adalah sebuah hubungan rivalitas. Secara pribadi mereka bersahabat –dan belakangan juga tetap bersahabat– tetapi secara profesi kewartawanan atau pengelolaan surat kabar mereka bersaing. Mochtar Lubis selalu bersikap keras sedangkan Rosihan Anwar dalam hal-hal tertentu mau berkompromi.
Mudji Sutrisno mengatakan, kalau kita mau menuju masa depan Indonesia, selain perlu membuat museum bagi ketiga tokoh wartawan tersebut, juga yang terpenting adalah menerbitkan buku-buku karya mereka.
Mengenang kembali sosok Mochtar Lubis dan koran Indonesia Raya, Ignatius Haryanto mengungkapkan bahwa baik di era Soekarno (Orde Lama) maupun Soeharto (Orde Baru) Indonesia Raya sering melontarkan kritik tajam atas ketidakberesan pemerintah. Dalam konteks politik, Mochtar Lubis lebih condong atau dekat kepada Sjahrir atau Mohammad Hatta daripada ke Soekarno. Indonesia Raya juga tidak sungkan untuk mengkritik penyelewengan di zaman Orde Baru. Koran itu juga menaruh simpati kepada mahasiswa yang mengkritisi pemerintah.
Ignatius Haryanto mengemukakan pertanyaan diplomatis, “Apakah realistis membayangkan ada orang seperti Mochtar Lubis dalam situasi Indonesia seperti saat ini? Juga apakah realistis membayangkan ada koran Indonesia Raya seperti situasi Indonesia saat ini?”***
*Penulis Dewan Redaksi TuguBandung.id